"Jangan... hiks ku mohon jangan hiks lakukan apapun hiks kepada ibuku"

Tuan Pradiwijaya tersenyum mengejek dan melepaskan secara kasar jambakan pada rambut Nabila. Ia melangkah pergi dari rumah besar itu meninggalkan seorang gadis yang sedang menangis tersedu-sedu di lantai.

Nabila terbangun dari duduknya dan langsung melenggang pergi menuju sekolah. Ia tidak mungkin tetap di sana dan bertingkah seperti orang lemah. Karena ia sudah berjanji akan menjadi kuat untuk ibunya.

Tuhan... Bantu aku

Sal ijinin gue sama bu iren, gue lagi di uks

Setelah mengirim pesan kepada Salsha, Nabila kembali berkutat dengan pikirannya. Ia dengan berat hati harus menyetujui ajakan sang papa.

Ia menelungkupkan wajahnya sembari memeluk lutut di ranjang yang terdapat di ruangan paling ujung di uks. Ia hanya ingin menangis. Itu saja. Ia tidak akan menangis histeris seperti gadis yang baru putus cinta.

Ia hanya ingin menangisi hidupnya yang tidak seindah katanya. Ia rindu kehangatan keluarganya. Ia rindu pelukan kedua orang tuanya. Ia masih berharap.

"Ternyata lo bisa nangis juga"

Nabila mendongakkan kepala melihat siapa yang sedang mengganggu kegiatannya itu.

Khalil tersenyum kecil sembari memberikan saputangannya dan sebotol air mineral. Ada rasa penasaran bersarang dihatinya, tentang mengapa rivalnya itu menangis.

Oh ingatkan Khalil. Ia melakukan ini atas dasar sesama musuh? Entahlah, tapi ia yakin tidak mempunyai perasaan apapun terhadap gadis itu.

"Makasih" suara serak itu. Bukan suara yang ingin Khalil dengar dari gadisnya ah maksudku musuhnya. Gadis itu terlihat sangat menyedihkan dengan hidung merah dan mata yang menyiratkan kekosongan.

Boleh peluk nggak? Tangan gue kok gatel ya?

Khalil merasa geli sendiri dengan pemikirannya dan segera menggelengkan kepala. Dan yang lebih menggelikan lagi ia sekarang merengkuh gadis itu dalam pelukan hangatnya.

Nabila terkejut dengan tingkah spontan Khalil. Ia mencoba melepaskan pelukannya, tetapi langsung dieratkan oleh Khalil.

"Menangislah"

Satu kata. Satu kata yang meruntuhkan ego Nabila untuk tidak menangis, ia langsung menenggelamkan wajahnya kedalam dada bidang Khalil dan menangis sepuasnya tanpa suara.

Setelah dirasa Nabila sudah tenang, Khalil mulai mengendurkan pelukannya. Ia menangkup wajah penuh air mata itu. Menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipi itu.

Tapi fokusnya tertuju pada cap tangan di pipi sebelah kanan Nabila. Saat ia menyentuhnya, Nabila sedikit meringis bertanda bekas tamparan itu masih sakit.

Ada rasa tak terima dalam diri Khalil. Atas dasar pertemanan tentunya. Tapi apakah mereka berteman? Pikirkan itu nanti.

"Siapa yang melakukan ini?"

"Bukan urusan lo"

Khalil menghela napas. Ia tak mau memulai pertengkaran di suasana melankolis ini. Ia segera menuju ranjang disebelah ranjang Nabila dan mulai merebahkan dirinya.

"Nggak masuk?" Nabila bertanya sembari membuka tutup botol dan mulai meminumnya.

"Jamkos"

Suasana kembali hening. Tidak ada yang ingin memulai percakapan. Kecanggungan terjadi tanpa perlu dicegah. Bagaimana pun status mereka disini adalah musuh ah lebih baik disebut rival.

Apalagi setelah moment pelukan itu. Nabila tak dapat menahan senyumnya. Dan entah mengapa detakan jantungnya tidak dapat dikontrol. Sementara Khalil walaupun tidur, ia berusaha untuk menetralkan detakan jantungnya.

"Hhmm... makasih ya. Saputangan lo nanti gue balikin dan soal pelukan... m-maaf bikin baju lo basah"

"Sans ae lah. Palingan juga nanti kering sendiri"

"PELUKAN?!"

Suara nyaring dari balik tirai menyadarkan Nabila dan Khalil bahwa ada yang menguping pembicaraan mereka. Saat tirai terbuka terlihatlah sepasang anak adam dan hawa yang sedang menunjukkan cengirannya.

"SALSHA? KEVAN? Lo berdua ngapain di sini?"

"Hehehe maaf bil"

Salsha memasang V sign dan tersenyum bodoh sembari merasa was-was agar sahabatnya itu tidak marah. Sementara Kevan menggaruk tengkuknya dan menghindari tatapan mengintimidasi dari Khalil.

"Lo udah ada temen kan? Gua sama Kevan balik dulu"

"Yaudah makasih"

"Oh ya. Jangan nangis lagi. Lo jelek kalau nangis"

Khalil langsung menarik lengan Kevan. Sedangkan Kevan melambaikan tangannya dengan senyum bodoh tentunya. Sementara Nabila, ia sudah tidak bisa menahan senyumnya.

Salsha ingin meledek Nabila sebelum atensinya beralih ke pipi kanan sahabatnya itu. Bekas tamparan, Salsha yakin itu bekas tamparan. Tapi apa mungkin Khalil yang melakukannya? Sepertinya tidak.

"Bil pipi lo"

"Biasa dari bokap"

Salsha mengangguk mengerti. Kenapa ia tidak ingat dengan lelaki itu?

"Gue ambilin es dulu. Biar bekasnya ngilang"

Nabila hanya bergumam mengiyakan perkataan Salsha. Ia pun memilih berbaring dan mengistirahatkan kepalanya karena ia merasa sangat pusing.

Aku kambek masa? Betewe hepi holidey semua. Ini cerita udah dianggurin 5 bulan loh

Jangan lupa vomments biar up nya lebih cepet :"

Zabilae

[FINISHED]Kapten Basket vs Vlogger CantikWhere stories live. Discover now