"Apa yang kau lakukan disini?!" Bentak Karin dengan sisa tenaganya.

Egi tersenyum lembut membuat Karin ingin mencakar wajah sok tidak berdosa di hadapannya. Seandainya tangannya tidak terikat, maka dia sudah melakukannya.

"Kau pembohong! Kau berengsek! Kau munafik! Kau gila!" teriak Karin ketika Egi duduk di sisi ranjang dimana Karin duduk. Laki-laki itu masih saja diam, tidak merespon ucapan Karin sedikitpun. Mata Egi menatap Karin kosong. Seakan tidak bernyawa.

"Apa yang harus kulakukan?" gumam Egi tiba-tiba. Laki-laki itu menunduk dalam, menautkan jemarinya dengan gusar. Helaan napas terdengar jelas dari mulut laki-laki itu.

Sedangkan Karin diam, menunggu penjelasan Egi. Tetapi lelaki itu tidak juga bersuara meskipun Karin sudah bersabar menunggu.

"Apa yang kau lakukan? Apa kau mau membunuhku? Bunuh saja! Aku tidak takut," teriak Karin. Dia bohong dengan ucapannya yang terakhir. Dia takut, sungguh amat takut. Dia takut tidak bisa melihat pria yang sudah mengisi kesehariannya...yang selalu mengalah meskipun dirinya yang salah. Laki-laki yang kini entah dimana.

Tangan besar Egi mengelus lembut wajah mulus Karin. Itu spontan membuat gadis itu memelotot tanda tidak senang dengan perlakuan laki-laki itu. Karin langsung menolehkan wajahnya, dia tidak sudi tubuhnya disentuh oleh orang gila seperti Egi.

Hening. Tidak ada tanda-tanda jika Egi protes. Itu membuat Karin terpaksa menoleh lagi untuk melihat apa yang sebenarnya ingin dilakukan laki-laki itu. Mata Karin bertemu dengan sepasang mata yang terlihat temaram, mata yang menyiratkan kesedihan yang amat mendalam.

Selang beberapa detik, Egi merogoh saku jaket hitam yang dipakainya. Sebuah jarus berukuran sejari kini berada didalam genggaman Egi. Karin refleks takut. Dia sudja tahu apa yang akan dilakukan Egi terhadapnya.

"Apa maumu, Egi?!" bentak Karin.

Egi hanya diam, tidak merespon sedikitpun. Ia beralih ke arah tangan Karin yang terikat di tiang ranjang perak itu, "Maafkan aku, Karin." Egi berucap saat ujung suntik yang dipegang Egi menembus kulit lengannya. Gadis itu mendesis. Dia meronta. Tetapi sayang, cairan bening di suntik itu sudah habis masuk ke saluran pembuluh darahnya. Hanya tinggal menunggu kapan cairan itu bereaksi.

Kesadaran Karin menipis, semua yang ada dipandangannya semakin buram. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, mencoba memfokuskan pandangannya. Tapi semuanya sia-sia, hingga matanya saja sudah enggan untuk berkedip. Semuanya gelap, hanya suara helaan napas dari Egi yang terakhir menjadi penutup tidurnya.

***

Arka mengedar pandangannya, kini dia sedang dibawa oelh suruhan Gria entah kemana. Dia sungguh tidak tahu dimana dia sebenarnya berada, yang dia tahu hanya kini dia berada di salah satu bangunan megah yang Arka yakini milik keluarga Purnawan...hasil dari kekejian keluarga itu.

Langkah mereka terhenti begitu mereka berhadapan dengan pintu berukuran besar yang diukir dengan indahnya. Semuanya itu tentu memerlukan biaya yang besar. Pintu itu perlahan terbuka dan menampakkan sosok yang amat dirindukan Arka tergeletak tidak berdaya diatas ranjang di dalam kamar itu.

Mata Arka memanas, begitu juga dengan emosinya yang sudah sampai di ubun-ubun. Tinggal menunggu kapan akan meledak. Arka meronta, mencoba melepaskan pegangan suruhan Gria pada lengannya. Tidak seperti yang Arka bayangkan, para suruhan itu segera melepaskannya dan menutup pintu besar itu, meninggalkannya sendiri. Arka curiga, tapi ada yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan itu semua.

Karin.

Arka bergegas mendekati gadisnya itu. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Gria, tetapi dia rasa ada yang aneh sehingga Karin bisa tidak berdaya seperti sekarang. Arka menaiki ranjang itu perlahan, seakan takut membangunkan gadis yang terlelap itu. Entah terlelap atau apa, Arka harap gadis itu hanya tertidur.

"Karin..." lirih Arka menguncang pelan tubuh Karin yang tertutupi selimut. Jantung Arka seakan sudah melompat keluar ketika mendapati Karin dengan pakaian seadanya. Gadis itu hanya menggunakan pakaian dalam. Dan saat itu juga, Arka merasa menjadi suami paling bodoh di dunia. Tidak bisa menjaga istri yang selalu setia bersamanya semenjak mereka mengenal.

"Karin..." cicit Arka menarik tubuh pucat istrinya itu kedalam pelukannya. Menyalurkan segala kerinduan yang sudah lama dipendam. Nyaman. Tetapi semuanya sudah terlambat, dia sudah mencelakai Karin.

Suara kenop pintu mengalihkan pandangan Arka yang masih setia memeluk tubuh Karin yang terasa dingin namun masih ada tanda jika perempuan itu masih ada. Arka merada darahnya berdesir, begitu melihat orang yang pasti dalang Karin seperti sekarang sedang berdiri dengan tatapan kaget. Arka menatap Egi penuh kebencian. Kebencian itu semakin besar kala mendapati Egi memegang pakaian yang pernah Arka lihat dikenakan oleh Karin.

Tangan Arka kembali meletakkan tubuh Karin perlahan ke ranjang. Menutupi tubuh dingin gadis itu dengan selimut. Setidaknya gadis itu tidak kedinginan. Arka berjalan mendekati Egi yang masih berdiri di tempat. Tidak bergeming sedikitpun.

Sebuah kepalan akhirnya melayang mengenai wajah datar Egi, hingga laki-laki itu terjungkal ke belakang.

"APA YANG KAU LAKUKAN B****AN?!"

Kini Arka menarik kerah kaos yang digunakan laki-laki itu, meninju wajah laki-laki itu sekali lagi, dan darah segar merembes dari ujung bibirnya. Egi diam, membiarkan Arka melayangkan tinjunya tanpa henti ke tubuhnya. Dia merasa dia pantas menerima itu, akibat dari apa yang dilakukannya kepada orang yang dicintai oleh laki-laki itu.

Arka sudah tidak tahan. Bahkan dia tidak tahu harus berbuat apa lagi, sudah puluhan tinju yang dilayangkannya pada Egi, tetapi laki-laki itu tetap diam, dan itulah yang membuat Arka semakin sesak seakan Egi benar-benar melakukan sesuatu pada Karin.

"KAU BERENGSEK! DIMANA KAU GRIA! KELUARLAH!" teriak Arka setelah melihat Egi sudah terkapar tidak berdaya di sudut kamar. Laki-laki itu penuh darah. Dan Arka-lah penyebabnya. Tetapi Arka sudah tidak takut menjadi penjahat lagi, selama dia belum bisa melenyapkan orang yang akan menganggu masa depannya dengan orang yang disayangnya. Tidak, ini terakhir kalinya Arka akan membiarkan ada orang yang menganggu orang terdekatnya.

Arka merasa matanya berair. Tangannya refleks mengusap matanya. Hingga meninggalkan bercak darah di sekitar matanya akibat darah yang ada ditangannya.
Dia menoleh sekali lagi, memastikan Karin masih tenang berada di dalam hangatnya selimut. Arka meraih pakaian yang sudah tergeletak dilantai, membawanya ke atas ranjang. Memakaikan pakaian yang sudah bernoda darah itu pada tubuh Karin. Tubuh yang masih terasa dingin sama seperti tadi.

"Apa yang bisa kulakukan selain melukaimu, Karin? Yang kulakukan hanya melukaimu, membuatmu dalam masalah, membuatmu menangis...dan aku tidak pernah membuatmu bahagia," suara Arka memelan, sesak di dadanya semakin menjadi-jadi, "jangan benci Kakak Karin, jangan. Akan kupastikan tidak ada yang akan mengganggumu lagi. Kujamin."

Arka memeluk Karin lagi, seolah dia tidak bisa memeluk gadis itu lagi, "Jangan menangis meskipun aku tidak ada."

***

Masih ada yang baca, nggak?

Voment ya💋

Bye-bye💕

Lovely HusbandWhere stories live. Discover now