"Kak, kapan Kakak akan pulang?" tanga Karin akhirnya. Dia sangat ingin tahu kapan pria itu kembali, sebab dia sudah sangat merindukan sosok suaminya itu.

Arka terdengar menghela napas, sepertinya Arka tidak akan pulang dalam waktu dekat. "Aku juga tidak tahu."

"Baiklah, Kak. Lakukan pekerjaanmu itu dengan baik dan kembalilah dengan baik juga."

"Tentu. Tapi Karin, aku hanya akan berkata sekali karena inilah telepon terakhirku dalam seminggu kedepan. Jauhi semua orang yang akan mendekatimu akhir-akhir ini, siapapun itu. Tidak terkecuali orang-orang yang mengaku sebagai teman Kakak."

Karin tertawa pelan, "Iya, Kak. Aku sudah bisa membandingkan antara orang jahat dan orang baik. Jangan memperlakukanku layaknya anak kecil."

"Karin, kamu pasti tahu seberapa khawatirnya aku akan keselamatanmu selama aku tidak bersamamu. Bukan karena aku menganggapmu lemah, hanya saja aku benci pada diriku karena tidak bisa melindungimu."

"Jangan membenci dirimu, Kak. Sebab rasa benci hanya akan menghancurkanmu. Buatlah benci itu jadi rasa cinta dan itu akan menguatkanmu. Percayalah akan kekuatan cinta," ujar Karin. Dia tidak berniat mengorek petunjuk lagi, sebab dia rasa tiga petunjuk itu sudah cukup kuat.

"Sejak kapan seorang Karin mengerti apa itu cinta-cintaan? Hidup bukan seperti drama Korea yang selalu berakhir bahagia itu." Arka tertawa lantang membuat Karin harus menjauhkan gagang telepon dari telinganya. Arka tadi menelpon ke telepon rumah, bukannya ke ponselnya karena mungkin dia takut jika Karin akan melacak keberadaannya. Tetapi bahkan tanpa dilacak, laki-laki itu lebih dulu memberikan jejak.

"Bukankah Kakak yang suka cerewet tentang cinta. Kakak 'kan ngaku love expert. Dan Kak, enggak semua drama Korea berakhir bahagia, contohnya 49 days, Un..."

"Ssst... Ini bukan waktunya bahas drama Korea, oke. Tapi, apakah kamu masih ingat janji kita dulu?"

Karin mengerutkan keningnya bingung, "Janji yang mana? Kayaknya Kakak terlalu sering buat janji sama aku."

"Benarkah?" Arka tertawa lantang membuat Karin lagi-lagi harus menjauhkan gagang telepon dari telinganya, sebelum dia benar-benar tuli. "Tapi, aku pikir itu bukan janjiku. Tapi janjimu."

Karin lagi-lagi mengerutkan kening, "Janjiku?" seperti biasa, dia tidak mengingat hal-hal yang menurutnya tidak penting.

"Aku rasa itu bukanlah janji yang mudha dilupakan," goda Arka.

Karin tersenyum kecil, wajahnya mendadak merah, dia sudah tahu kemana arah pembicaraan mereka sekarang, "Aku pasti akan bilang jika aku siap. Makanya cepat pulang," sindirnya.

Terdengar suara ribut beberapa saat, seperti dua orang saling adu mulut, bahkan bahasa saja dicampur. Dua menit mendengar suara ribut diseberang sana, Karin sudah mendengar enam bahasa yang berbeda yaitu Prancis, Jerman, Inggris, Indonesia, dan du bahasa yang tidak Karin ketahui bahasa apa, sebab di telinganya semua ucapan orang diseberang sudah terdengsr seperti bahasa alien meskipun dia tidak tahu bagaimana bahasa alien itu sebenarnya.

"Hello Mrs. Arka Hardikusuma. Apa kabar?" suara khas orang Inggris tiba-tiba terdengar, bahkan bahasa Indonesia-nya terdengar sangat aneh.

"Yes. Ini siapa?" tanya Karin ramah. Dia sebenarnya yakin jika pria yang  berbicara padanya itu adalah teman Arka. Sebab beberapa kali Arka terdengar memaki pria itu layaknya jika Arka bersama dengan Vico.

Lovely HusbandWhere stories live. Discover now