Angel meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Dia menunduk dan jemarinya mulai menyentuh perut. Iya sih, dia memang sering memakai dress yang agak bervolume di bagian bawah atau bertingkat untuk menutupi gundukan itu. Dia juga melonggarkan ikatan celemek. Akan tetapi, perut wanita hamil memang mungkin akan tetap terlihat.

"Lalu chocolate blitzen itu?"

Martha mengedikkan bahu. Menunjuk perut Angel hingga membuatnya bergidik ketika ujung jarinya sampai di permukaan celemek. "Chocolate blitzen itu hanya ujian. Aku hanya ingin menetapkan hatimu untuk melindungi anak itu. Aku ingin menumbuhkan naluri keibuan dalam dirimu."

"Aku tidak tahu itu, sungguh."

"Aku lega saat melihatmu mengusap bayimu dengan sayang di gudang saat kamu berasalan ingin mengambil tepung."

Angel terdiam, ternyata segala gerak-geriknya yang dipikirnya tidak akan ketahuan itu ternyata sudah diketahui. Dirinya sudah tertangkap basah tanpa sadar.

"Martha."

"Ya?"

"Soal perlombaan itu, bagaimana kalau aku—"

"Tidak. Kamu tetap harus masuk dalam kompetisi itu."

"Tapi, aku—"

"Hamil?"

Angel mengangguk. "Iya."

"Hamil bukan alasan. Tidak ada aturan wanita hamil tidak boleh ikut kompetisi. Lagi pula, kalau kamu memang menginginkan anak itu maka proses kehamilan dan menjadi ibu bukan hal yang memalukan, Angel."

"Aku akan memikirkannya." Angel mengakhiri pembicaraan. Martha tidak akan mendengarkan semua alasannya juga. Apalagi dia memang berniat menggugurkan bayi itu jadi nasehat Martha tidak berpengaruh untuknya. Namun, dia hanya tidak ingin kompetisi dan menghabiskan waktu dengan berdiam di rumah saja.

"Aku hanya ingin membuka pintu baru untukmu, gadisku. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi soal anak itu terserah padamu, Angel. Tapi, untuk perlombaan ini, kamu tidak boleh mundur. Aku percaya padamu." Mata monolid itu melengkung saat pemiliknya tersenyum.

Dia bergerak mendekati Angel lalu mengusap perut Angel yang membulat hingga membuatnya berjingkat sesaat. Tetapi, pada akhirnya dia memilih menyerah dan membiarkan Martha melakukan apa pun yang diinginkan. "Aku mohon Elliot kecil, bantulah mamamu kali ini."

Angel berjengit mendengar nama Elliot kecil yang dilontarkan oleh Martha. Dia hanya bisa pasrah, bayi itu memang anak Elliot. Dia tidak bisa memungkiri fakta itu.

"Iya." Angel menelan ludah, dia menunduk dalam karena sedang menahan rasa ingin menangis.

"Meskipun tidak bersama Elliot, tapi aku hanya ingin kamu bahagia, Angel." Senyuman tersungging di bibir wanita itu. "Aku serius soal ini."

"Terima kasih." Angel memaksakan bibirnya untuk menarik senyum.

Bahagia? Hah, itu kalimat yang terlalu mudah diucapkan, tetapi sulit sekali dijangkau. Entah kata bahagia itu berasal dari galaksi mana hingga jaraknya sejauh itu. Atau mungkin itu dulunya kode alien hingga tidak sembarang manusia bisa merasakannya.

Kejadian demi kejadian membayang di benaknya. Senyuman pria itu, manik birunya yang tajam hingga rambut pirang yang lebih mirip rambut jagung. Dada yang bidang dan punggung yang tegap. Angel menatap jemarinya, genggaman tangan Elliot masih terasa di sana. Meskipun, seminggu ini berlalu begitu saja. Kerinduan ternyata tetaplah ada. Menusuk benak dan hatinya begitu dalam. Menancap di sana dan menolak pergi. Dia hanya tidak ingin mengakui perasaan itu.

Bayangan indah itu mulai berkabut. Berganti pekat malam dengan bau alkohol menusuk. Dengusan penuh nafsu mengipasi wajah. Angel meremas celemek, perutnya melilit jika mengingat kejadian itu. Peristiwa yang cukup buruk hingga bayangan indah sosok Elliot dan perlakuan manisnya bahkan tidak mampu menutupinya. Kenangan kelabu yang menyakitkan untuk diingat.

Angel mengusap perutnya yang menyembul dari balik celemek. Anak orang jahat itu kini tumbuh sehat dengan tidak tahu diri di dalam tubuhnya. Kebenciannya mulai muncul. Tidak mungkin dia mencintai dan menerima orang yang membuatnya mengalami kejadian mengerikan itu. Martha tahu apa yang menimpanya, tetapi tidak bertanya apa yang terjadi. Martha hanya memberi saran setelah semuanya sedikit mereda. Martha benar, selama ini dia menunda. Sedangkan, janin itu tidak bisa ditunda lagi. Kalau dibiarkan maka janin ini akan semakin membesar dari minggu ke minggu lalu kesempatan untuk membuangnya akan hilang begitu saja. Namun, apakah dia bisa membunuh darah dagingnya sendiri?

Angel menggeleng sembari menghapuskan pikiran apa pun yang akan melintas di benaknya tanpa izin. Dia kemudian meraih ponsel, menghidupkan benda itu lalu mengetikan pesan singkat. Untuk Elliot, dan mungkin ini yang terakhir. Ini saat untuk mengakhiri. Dia mendesah sesaat lalu melanjutkan untuk menaruh potongan marshmallow di atas kue.

Better Than Almost AnythingWhere stories live. Discover now