Shortbread Cookies (1)

1.1K 118 0
                                    

Elliot meremas gagang kemudi, sementara matanya nanar menatap jalanan. Rambutnya kusut, tetapi dia memilih mengabaikan semua itu. Pikirannya penuh dan rasanya dia ingin mati saja karena mimpi mengerikan itu terus saja datang. Dia juga sudah berulang kali mengunjungi psikiater, menjalani semua terapi dan semuanya normal. Namun, mimpi itu terus saja mengunjunginya setiap malam. Lalu, mimpi itu seperti naik level, semakin lama makin menyeramkan. Dia bukan pria penakut, hanya saja kegelisahan itu terus membuatnya terganggu.

Ketika mobilnya melewati deretan toko bunga di pinggir jalan, Elliot baru ingat kalau memerlukan bunga hari ini. Dia melambatkan laju kendaraannya dan memarkirnya di depan salah satu ruko. Ketika hendak berjalan masuk ke dalam, matanya langsung tertuju pada deretan bunga mawar merah di pot depan, mungkin ibunya akan suka dengan bunga-bunga ini. Dia tersentak ketika tubuhnya yang terantuk sesuatu. Hanya selang sedetik, bunyi pecahan terdengar memecah ruangan.

Elliot nyaris mengumpat. Namun, saat melihat orang yang menabraknya adalah seorang wanita maka dia berusaha sangat keras untuk menahan kalimat kasar yang hendak terlontar dari mulutnya. Apalagi ketika wanita itu bukannya memberinya tatapan kesal, tetapi malah tersenyum padanya. Elliot sendiri terlalu bingung untuk mengatur ekspresi. Otot wajahnya juga mendadak jadi kaku hanya untuk mengulas sebuah senyuman. Dia ikut menunduk menatap lantai lalu memandang kembali wajah wanita itu.

Wanita itu berpenampilan ala gipsi dengan rok merah panjang bertingkat, bandana warna senada juga mengikat kepalanya sekarang menepuk tangannya. Wanita yang baru saja ditabraknya itu buru-buru membungkuk untuk mengambil bunga krisan kuning yang tercecer di tanah setelah Elliot menabraknya. Terdorong rasa bersalah, Elliot ikut membantu. Matanya bersitatap sesaat dengan mata hijau wanita itu.

"Maafkan saya." Elliot mencoba bersikap sopan.

"Kamu yang membawa kematian dengan kedua tanganmu," kata wanita itu tiba-tiba.

Elliot tersentak. Kematian? Dari mana wanita ini tahu?

"A—pa maksud Anda?" kilah Elliot berbohong, meski suaranya yang bergetar membuatnya benar-benar terlihat gagal untuk menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.

"Walaupun kamu berusaha untuk menyembunyikan semua dosa masa lalumu, aku yakin sekarang dosa-dosa itu tengah berteriak di dalam mimpimu."

Elliot terdiam, jemarinya yang tengah memungut batang krisan mulai gemetar. Gelenyar ketakutan tiba-tiba saja datang. Bagaimana wanita ini bisa tahu? Peramalkah?

"Sama seperti kamu membuat bunga ini layu atau mungkin mati dengan tanganmu," katanya lagi sambil menata bunga di permukaan lantai. "Kamu membawa kematian."

"Maafkan saya, saya akan menggantinya." Elliot mencoba untuk meminta maaf.

"Itu tidak perlu."

"Tidak, ini salah saya," potongnya cepat. Kali ini dia meraup pecahan pot bunga memakai tangannya. Hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Ah, tidak, dia hanya berhenti melakukannya belasan tahun belakangan. Dia berhenti sejak mulai merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi daripada orang lain.

"Penjaga toko sudah datang. Berdirilah!" Wanita gipsi itu juga beranjak berdiri tepat ketika penjaga toko tergopoh-gopoh datang.

Elliot mendongak. Ketika penjaga toko yang masih belia itu kini membawa pengki dan sapu di tangannya, siap untuk membersihkan semua kekacauan yang Elliot timbulkan. Dia tampak tersenyum ramah dan sepertinya tidak marah.

"Aku akan bayar kerusakannya."

"Tidak perlu, Sir. Kami punya banyak pot bunga." Pemuda itu tersenyum lagi hingga deretan gigi putihnya terlihat.

"Baiklah. Bisakah kamu membantuku untuk memilih bunga?"

"Tentu."

Elliot menatap wanita yang tadi bertabrakan dengannya. Orang itu kini telah berbalik dari kasir dengan pot bunga baru di tangan. Krisan kuningnya berayun cerah di dekat dadanya. Dia menghentikan langkah wanita itu dan bermaksud untuk meminta maaf lagi.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang