Devil Cake (1)

706 61 0
                                    


Angel menyentuh perutnya. Bekas luka itu masih di sana. masih menyisakan perih. Pisau itu hanya menggores kulit dan sedikit daging di dalamnya. Sialnya pisau itu bahkan hanya mengenai bagian samping perutnya, bukan bagian depan seperti yang direncanakan. Entah malaikat mana yang ikut campur tangan kemarin hingga tusukannya itu kurang akurat, kurang bertenaga dan hasilnya meleset total. Padahal dia ingin membunuh bayi di dalam perutnya. Tidak masalah kalau dirinya harus ikut mati juga.

Lalu di sinilah dirinya sekarang. Terbaring di salah satu ranjang dokter kandungan. Menatap muak pada perut gendut yang terpapar setelah dress longgarnya agak dinaikkan ke atas. Sementara gel bening itu masih lengket di permukaan perut degan ujung pemindai yang masih bermain lincah di sana. Dia tidak tahu kapan Sophie membawanya ke tempat ini karena sejak dia menusuk perutnya, dia tidak ingat apa-apa lagi.

"Sembilan minggu dan beberapa hari lagi akan masuk minggu kesepuluh. Untunglah janinnya sehat dan baik-baik saja." Dokter wanita itu memutar alat pemindai ultrasound itu di atas gel terang yang perut Angel.

Angel melirik ke layar monitor. Janin itu tampak mungil. Dokter menjelaskan dalam usia kehamilannya yang sekarang mulai terbentuk jaringan yang lebih spesifik seperti hidung, bibir, kelopak mata, lengan, kaki, tulang serta katup-katup jantungnya. Dengan kata lain jantungnya mulai berdetak, bayi itu telah hidup.

"Untunglah, Angel!" Sophie mengusap kepala Angel hingga gadis itu membuang muka. Membiarkan alat pemindai yang terasa dingin itu memutar-mutar di atas perutnya.

Bayi itu baik-baik saja sudah cukup menjadi berita buruk. Dia masih tumbuh dengan sehat. Mungkin benar kata orang sesuatu yang tidak diharapkan malah akan bertahan lebih kuat daripada yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Bayi terkutuk itu bahkan tidak sadar diri kalau dia sama sekali tidak diinginkan. Mungkin dia akan mencoba cara lain, terjun dari anak tangga rumah sakit atau sengaja menabrakkan diri ke mobil yang melaju di jalanan. Kalau sampai semua itu sudah dilakukan dan janin ini tidak mati juga maka dia mengeluarkannya secara paksa dari perutnya. Angel berjingkat saat ponselnya berbunyi. Lamunannya buyar. Nama Martha tertera di layar. Dia bangkit duduk setelah mengernyit sekali.

"Aku harus kerja," katanya sambil mengusap cairan gel dengan tisu. Menarik celana dalamnya ke atas hingga menutupi perutnya sambil menurunkan ujung dress-nya. "Aku sudah terlambat."

"Tapi, kamu masih sakit dan kondisi bayimu."

"Sejak kapan Ibu begitu peduli padaku juga bayiku?" tukasnya sambil menarik mantel dan memakainya.

"Kalau itu keinginan Anda, bukan masalah. Tapi, jangan lupa minum vitamin dan bubuhkan antibiotik di bekas luka goresannya agar tidak infeksi!" Dokter wanita itu menyela.

"Tentu. Terima kasih, Dok." Angel menjabat tangan dokter wanita lalu tersenyum.

"Semoga bayinya sehat sampai persalinan."

Angel hanya tersenyum tipis mendengar kata persalinan. Masih berminggu-minggu untuk menunggu persalinan dan masih ada sekitar empat minggu terakhir periode untuk membuang bayi itu. Bukankah membuang lebih cepat itu lebih baik jadi dia tidak harus enunggu bayi itu lahir.

Angel dan Sophie berpisah di depan rumah sakit setelah wanita itu memaksanya naik taksi. Entah kerasukan malaikat yang mana hingga wanita itu begitu berubah pagi ini. Dia hanya menoleh sekilas saat taksi itu mulai berjalan meninggalkan Sophie di depan rumah sakit. Wajah wanita itu hampir terlihat sedih. Aneh sekali.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, taksi berhenti tepat di depan Kiandra. Angel menarik napas pelan, membayar ongkos dan bergerak turun. Dia merapatkan mantelnya saat masuk ke dalam toko.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang