Sparkling Strawberry (2)

234 29 0
                                    


Angel menggerakkan kaki dengan gelisah. Keringat mulai bermunculan di keningnya. Matanya menatap ke depan. Sesekali menatap ke bawah. Kadang melirik ke kiri dan kanan di mana wanita-wanita berperut gendut duduk di sampingnya. Mereka tidak sendirian, seorang pria tampak duduk tidak jauh dari sisi wanita-wanita itu. Pasti para suami yang tengah mengantarkan istri mereka. Gadis itu menarik napas pelan. Mungkin Elliot akan bersikap jauh lebih manis daripada pria-pria ini jika dia ada di sini. Tapi, pria itu tidak akan pernah ada di sini bersamanya. Elliot tidak akan pernah menyetujui keputusannya untuk melakukan aborsi. Pria itu pasti akan sekuat tenaga melindungi bayinya.

Keplanya lebih sering tertunduk menatap perutnya yang tersembunyi di balik gaun itu. Apa yang akan dilakukan pria itu jika tahu dirinya ada di sini sekarang?

Ah, Elliot. Pria itu.

Matanya kini beralih untuk menatap minuman kemerahan bergelembung di bagian atas. Jemarinya meremas minuman yang terbuat dari campuran lemon dan strawberry itu. Minuman yang seharusnya menyatu, membentuk satu kesatuan tetap saja terpisah meski di dalam gelas yang sama. Warna kuning lemon tetap berada di dasar gelas sementara warna merah sari strawberry mengambang di atas. Busa-busa terbentuk di permukaan.

Sejak pemerkosaan malam itu, dia membeci stroberi. Buah itu selalu membuatnya mual dan muntah. Jadi, dia sengaja membeli sparkling strawberry bukan untuk meminumnya, tetapi sebagai pengingat betapa buruknya malam itu. Jadi, dia tidakan ragu untuk melakukan aborsi, toh semua ini demi hidupnya.

Ya, minuman ini mirip dirinya dan Elliot. Sama seperti dirinya dan Elliot, sama-sama masam hanya saja mereka tidak bisa bersama. Kebersamaan mereka hanya membentuk busa dan gelembung. Tampak indah dan nyata, tetapi tidak berguna. Cinta yang ringan dan bisa pecah kapan saja.

Nama minuman ini memang sparkling, memang tampak berkilauan seperti hubungannya dengan Elliot sebelumnya yang dulu tampak berkilauan. Akan tetapi, setelah sekian lama, semua itu hanya busa untuknya. Tidak pernah ada, tertinggalkan dan menguap sendirian hingga habis tak bersisa.

Kini dia beralih untuk memandangi pada kartu di tangannya. Membacanya berulang kali, hingga tulisan itu terasa menusuk mata. Setelah itu, jemarinya mengusap perut yang mulai membulat. Napasnya tertahan kala ujung jemarinya merasakan kedut pelan. Dia hidup dan mulai bergerak lebih aktif sekarang. Terutama sejak pagi, janin di perutnya rasanya terus bergerak-gerak. Perutnya juga kram beberapa kali hari ini. Mungkin anak itu gelisah sekarang. Bisa juga takut karena sebentar lagi akan tiada.

Angel menghela napas berat ketika memikirkan kematian janin di dalam perutnya. Sejak kedatangan Becca serta pembicaraan dengan Sophie beberapa hari lalu, Angel selalu meragukan keputusannya. Mungkin keputusan ini adalah yang terbaik bagi semuanya. Untuk Elliot dan untuk dirinya sendiri. Dia harus melanjutkan hidup dan janin ini hanya akan jadi penghalang.

"Panggilan untuk Miss Adams!"

Angel menoleh ke arah datangnya suara. Dia berdiri dengan susah payah. Tetap menunduk untuk melawan beberapa pasang mata yang menatap. Langkah kakinya bergerak pelan, menuntaskan jarak antara ruang tunggu dan pintu. Dia menarik napas berat ketika jemarinya kembali menelusuri perut. Anak mereka masih berada di dalam rahimnya sampai sekarang lalu sebentar lagi tidak akan ada di sana.

Dia menghentikan langkah lalu menoleh sesaat, rasanya ada pria yang berdiri di dekat tangga. Mungkin Elliot, tapi tangga teratas itu kosong. Pintu emergency yang menuju tangga ke bawah juga tertutup rapat. Mungkin hanya bayangannya. Dia menarik napas pelan sekali lagi.

Angel meraih kenop pintu. Kakinya melangkah masuk. Seorang dokter wanita menyambutnya dengan senyuman. Angel duduk di kursi depan meja. Menelan ludah dan mengusap keringat di pelipisnya.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Ya." Angel berucap mantap lalu duduk di depan dokter itu. "Saya ingin melakukan aborsi."

Dokter itu terlihat sedikit kaget, tetapi ekspresinya kembali normal beberapa detik setelahnya. "Kalau begitu kita periksa kandungannya dulu, ya."

"Baik," katanya sembari membasahi tenggorokannya yang kering.

Angel mengikuti petunjuk dokter untuk tidur di atas brankar. Debaran jantungnya menanjak naik ketika dia menyingkapkan gaun yang menutupi perutnya. Dokter kemudian mengoleskan gel di pemukaan transduser dan menempelkannya di permukaan perutnya. Beberapa menit setelahnya, muncul tayangan di layar yang memperlihatkan janin di dalam kandungannya.

Jantungnya berdebar lebih kencang ketika melihat janin itu. Janin itu adalah anaknya dan Elliot. Masih sangat kecil dan rapuh.

"Usia kandungannya hampir sebelas minggu, ya."

Angel yang masih menatap layar mengangguk. "Iya."

"Masih tetap mau digugurkan?"

Satu minggu lagi usia kandungannya akan mencapai dua belas minggu. Kalau sudah memasuki trisemester kedua maka akan sangat beresiko untuk aborsi. Jadi, waktunya sekarang, dia tidak bisa menunda lagi.

Angel meneguk ludah. "Ya."

"Kalau begitu, kita bisa janjian dulu untuk prosesnya."

"Kapan waktu tercepat untuk proses ini?" tanya Angel tanpa menoleh untuk menatap dokter perempuan itu karena matanya masih fokus pada tayangan di layar.

"Maunya cepat?"

"Iya. Mungkin saya terburu-buru, tapi sebentar lagi usia kandungan saya akan makin sulit untuk digugurkan."

"Benar. Jadi, besok bisa. Tapi, Anda bisa mengabari keluarga dulu."

"Baik, Dok."

"Nah, kita sudah selesai."

Angel mengembuskan napas berat kemudian bangun dari posisinya setelah dokter itu menyingkirkan transduser dari perutnya. Kini dia duduk di brankar, tetapi tidak langsung menurunkan gaunnya. Dia mengusap lagi perutnya yang agak membuncit. Mungkin ini kali terakhir dia akan melihat perut buncitnya. Ya, ini terakhir kalinya.

"Kenapa? Ada yang sakit?"

Angel menggeleng. "Tidak, Dok."

"Kalau masih ragu, kita bisa menunda prosesnya. Masih ada beberapa waktu sebelum usia kandungan Anda masuk trisemester kedua."

"Enggak, kita lakukan besok prosesnya," katanya.

"Anda yakin?"

"Iya. Saya akan aborsi besok pagi."

Dia tidak akan mau menunda lagi. Jemarinya kemudian menurunkan gaunnya untuk menutup kembali perutnya. Angel bergerak turun dari brankar mengabaikan perutnya yang mendadak kaku dan sedikit nyeri. Rasa sakit yang menyebalkan ini akan segera hilang, dia hanya perlu bersabar menunggu esok tiba.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang