Ptichie Moloko

787 106 9
                                    


Angel menata kue di etalase toko pagi ini. Sesekali dia menoleh ke arah pintu depan yang terbuka. Mendesah kecewa untuk kesekian kalinya kala bukan pria itu yang datang. Sudah enam pelanggan datang berkunjung sejak Kiandra dibuka, tetapi Elliot bukan salah satunya. Padahal biasanya pria datang terlalu pagi untuk mengganggunya. Dia tidak menginginkan gangguan dari Elliot seperti biasanya, tetapi entah mengapa dia berharap pada pelanggan ketujuh pria itu akan masuk.

Dua belas menit kemudian, harapannya pada pelanggan ketujuh lenyap sudah. Kali ini wanita paruh baya yang berisik datang dengan sederet pesanan. Angel hanya bisa menarik napas kecewa. Memangnya apa yang diharapkannya?

Benar kata Shakespeare, berharap itu selalu menyakitkan. Romeo dan Juliet juga tersakiti dalam pengharapan. Pada akhirnya, bukan saja perbedaan yang memisahkan bahkan maut yang turun tangan sendiri memisahkan mereka. Itulah kenapa lebih baik tidak berharap apa pun akan berubah dalam hidupnya. Katanya berharap pada manusia adalah sebuah tindakan bodoh yang penuh kesia-siaan.

"Hitungan ketujuh itu keberuntungan, kedelapan adalah keabadian, lalu setelahnya kesialan dan omong kosong. Dan aku—"

Gumamannya terputus ketika suara lonceng bergetar dan pintu Kiandra terbuka lebar. Angel mendongak dan menemukan sosok yang ditunggunya sejak pagi. Elliot kini berjalan masuk dengan senyuman yang menenun bibirnya seperti biasa. Melihat senyuman itu, Angel mengusap tengkuk. Entah dia lega atau takut sekarang karena Elliot muncul sebagai pelanggan kedelapan. Tepat setelah dia menyebutkan namanya dan mengatakan kalau delapan adalah keabadian. Hal ini hanya kebetulan, tidak ada yang namanya keajaiban. Benar, pasti begitu.

"Selamat pagi!" sapa Elliot sembari memamerkan senyuman yang lebih lebar hingga barisan giginya terlihat cukup jelas.

"Pa—pagi, Sir—eh—"

"Elliot." Pria itu mengoreksi.

"Hmmm, ya. Elliot. Anda mau memesan apa?"

"Pesanan, ya?"

"Benar, pesanan," kata Angel yang masih gagal meredakan kegugupan.

Untung saja Elliot menunduk dan tidak memperhatikan tingkahnya. Pria itu sibuk menyisir deretan kue di dalam etalase dengan matanya. Setelahnya, Elliot menunjuk sepotong kue dengan irisan marshmallow tebal berbalut cokelat.

"Ptichie Moloko?" Angel mengerutkan kening. Selera Elliot ini semakin hari semakin aneh saja, dia seolah ingin mencoba semua kue di Kiandra.

"Dua potong dan dua gelas susu cokelat hangat."

"Baik."

"Dan—" Ada nada geli dalam suaranya. Agak menyebalkan karena Elliot sepertinya sengaj memotong kalimatnya hingga terkesan menggantung.

Angel kini meneguk ludah sembari menatap Elliot lekat-lekat. "Dan, apalagi?"

"Seorang malaikat Kiandra untuk pagi ini."

Dia bilang malaikat Kiandra. Maksudnya itu dirinya, kan?

Astaga. Angel nyaris tersedak ludahnya sendiri. Sementara itu, suara Martha yang terkikik di belakang pantri terdengar sangat jelas. Adakah jenis rayuan yang lebih murahan daripada ini? Memalukan sekali.

Meski begitu, debaran jantungnya menanjak naik. Angel hanya bisa berdeham pelan dan mencoba menyembunyikan pipinya yang memanas. Tubuh sialannya yang bereaksi sedemikian heboh hanya karena sepotong rayuan, benar-benar menyedihkan.

"Aku tunggu di sana ya, Angel."

Angel mengangguk kaku dan mengiyakan dengan terbata-bata. Dia bahkan masih mematung sampai beberapa menit setelah Elliot bergerak ke mejanya yang biasa. Matanya tidak mau lepas dari punggung pria itu. Angel buru-buru mengerjap dan menggeleng.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang