Chocolate House

839 117 5
                                    


Angel memutar bola mata. Beberapa kali menatap layar ponsel pintar dan menengok buku yang terbuka yang terbuka di dekatnya. Sementara itu, jari-jemarinya masih sibuk memegang kemasan makanan itu. Membolak-balik kemasan itu berulang kali untuk membaca petunjuk. Dia menunduk, melengkungkan punggungnya yang mulai pegal. Ujung jarinya memencet lem cokelat itu untuk merekatkan beberapa potong wafer. Angel benar-bebar berkonsentrasi penuh untuk membuat potongan wafer itu bisa berdiri di atas papan.

Kali ini dia beralih pada potongan cokelat yang telah dipotong dengan ujung meruncing di salah satu sisinya. Dia kemudian menempelkannya pada dua buah tembok wafer yang berdiri berseberangan. Langsung mengembuskan napas lega kala tembok rumah cokelat itu berhasil berdiri. Selanjutnya dia membuka kemasan lain dan memasangkan dua bar cokelat menjadikannya genteng. Angel memutar leher ke kiri dan ke kanan sebelum jemarinya mulai memasang empat buah persegi cokelat mungil menjadi cerobong asap. Dia meletakkan benda itu dengan hati-hati di atas genteng cokelat.

Pekerjaannya belum selesai, dia sekarang mulai mengaduk cokelat cair di mangkok. Angel menahan napas ketika menempatkan butiran permen di atas genteng. Warna-warna permen itu membuat rumah cokelat itu tampak manis karena tidak hanya melulu didominasi oleh warna gelap. Matanya tidak berkedip saat memasang manik-manik beraneka warna di bagian depan rumah dan pintu. Menekuk jemarinya yang pegal hingga menimbulkan bunyi. Senyuman mengembang di wajahnya. Rumah cokelat itu kini telah berdiri. Angel menancapkan delapan buah rice choco menyerupai bentuk taman di depan rumah. Senyumannya mengembang. Selesai.

"Apa itu?" Suara Sophie membuat Angel nyaris memekik. Kedatangan wanita itu membuat senyumannya langsung mengkerut seketika.

"Bukan apa-apa?"

"Chocolate house!" Sophie mencibir. "Kamu manis juga, ya."

Angel melipat bibir, enggan untuk menyahut sindiran yang ditujukan padanya. Dia tahu kalau sahutannya akan memicu pertengkaran lain yang lebih besar. Ibunya memang menyebalkan dan dia sendiri tidak punya cukup banyak kesabaran untuk menghadapinya. Jadi, satu-satunya cara menghindari masalah. Untuk itu, Angel buru-buru memasukkan rumah cokelat itu ke dalam kardus. Setelah selesai mengepak kue itu, dia langsung berdiri.

"Menghindar?" tanya Sophie begitu Angel mendekati gantungan pakaian.

"Ada masalah?" sahutnya sembari memakai mantel dan melilitkan syal ke leher.

"Selalu seperti ini, apa aku tidak pernah mengajarimu sopan santun?"

"Aku lupa Ibu mengajariku atau tidak," ucap Angel dingin.

Angel benar-benar kehilangan minat untuk melanjutkan perdebatan, apalagi sejak kejadian dua malam lalu. Ingatan dua malam kembali membayang, saat Sophie bahkan tidak mengacuhkannya ketika tubuhnya nyaris terjungkal menabrak aspal. Untungnya ada Elliot yang datang tepat waktu dan menolongnya. Hanya saja, dia tidak harus mengatakan semua itu pada Sophie. Sampai mati pun dia tidak akan melakukannya karena dirinya akan tampak seperti sedang meminta belas kasihan.

Bibir Sophie melengkung membentuk seringai, sepertinya provokasi yang dilancarkannya barusan tidak berhasil membuat wanita ini marah. "Semoga saja putrimu di masa depan akan melakukan hal yang sama dengan sikapku sekarang, hingga kamu akan tahu rasanya sakitnya menjadi Ibu."

Angel menggertakkan gigi, meremas jemarinya. Dia menatap tajam ke arah Sophie. "Di masa depan, aku tidak akan mengabaikan putriku seperti Ibu yang mengabaikanku."

"Apa kamu bilang?" Sophie tersedak kopi yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. "Hei!"

Suara pintu depan yang terbanting keras menjadi penanda akhir pertengkaran itu. Kalaupun belum berakhir, Angel enggan melanjutkan. Pertengkaran itu terjadi setiap pagi. setiap waktu dan seperti biasa, bukan hal yang baru. Angel mengepalkan tangan, berusaha menahan air mata yang merayu untuk tumpah. Mereka memang mirip gumpalan dua bola pijar yang saling berbenturan. Hingga saat bersama, bukan hanya hangat tercipta tapi hawa panas dan percikan api amarah. Namun, dia tidak keberatan dengan hal ini karena dia sama sekali tidak punya keinginan untuk mengalah pada Shopie.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang