Better Than Almost Anything (2)

183 28 0
                                    


Angel menelan ludah. Menatap mata hijau Sophie, berharap menemukan kejujuran di sana. Mata itu tidak berpura-pura seperti biasa. Gadis itu meremas ujung gaun yang membalut pahanya. "Untuk apa Ibu bertanya hal seperti ini, biasanya juga enggak peduli."

Angel masih berusaha untuk mencari kejujuran atau motif apa yang kini tengah dijalankan Sophie. Sekian lama hidup dengan wanita yang mengaku sebagai ibu kandungnya itu, dia terlalu mengenalnya. Sophie tidak pernah peduli pada siapa pun selain dirinya sendiri.

"Apakah anak di dalam perutmu itu anak calon suamimu?" tanyanya lagi seolah tidak peduli dengan pertanyaan yang meluncur dari bibir Angel.

"Jawab dulu pertanyaanku!"

"Apakah seorang Ibu harus menjelaskan dulu kalau ingin bertanya pada anaknya?" Sophie mengangkat salah satu alisnya.

"Apa Ibu pernah bertanya sebelumnya? Bahkan saat aku mengalami masa terberatku, Ibu bahkan pura-pura tidak tahu." Angel mulai berargumen. Rasanya sebal sekali melihat sikap sok peduli wanita itu. Kalau peduli kenapa tidak sejak dulu? Kenapa baru sekarang? Dulu ke mana saja?

"Sekarang aku tanya, apa yang kau rasakan saat anak itu tumbuh di dalam rahimmu? Tidak nyaman? Tubuhmu tidak enak?"

"Jangan alihkan pembicaraan!"

"Aku tidak sedang mengalihkan pembicaraan, Angel. Jawab saja dan aku akan memberikanmu jawaban yang kamu inginkan." Mata Sophie menatap tajam gadis itu.

Angel menyentuh permukaan perutnya yang mengencang di balik gaun. Menelan ludah lalu mengangguk setuju. Selama hampir dua bulan bayi itu di dalam rahimnya, rasa tidak nyaman mulai terasa tidak enak. Mual dan muntah setiap pagi hingga menimbulkan kepahitan di dalam mulut. Nafsu makan yang terus menurun, lelah dan letih berkepanjangan. Punggungnya juga selalu pegal. Kakinya juga mulai membengkak dan dia sulit tidur setiap malam. Namun, dia memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak meladeni pertanyaan yang dilontarkan oleh Sophie.

"Aku juga merasakan itu saat mengandung dirimu dan bertaruh nyawa saat melahirkanmu ke dunia. Sekarang apakah Ibu tidak boleh bertanya pada seorang anak yang kulahirkan ke dunia dengan susah payah?"

"Aku tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia sama seperti bayi ini. Kalau semua itu hanya untuk memaksaku menjawab pertanyaanmu, kurasa itu tidak adil." Angel masih belum bisa menerima pengakuan Sophie. Bibirnya masih tergelitik untuk meluncurkan kalimat-kalimat pedas.

"Oke, anggap aku tidak adil di sini. Aku yang menginginkanmu lahir ke dunia, Angel. Karena cintaku tumbuh semakin besar seiring kamu yang terus bergerak di dalam perutku. Kamu bukan kesalahan seperti perkiraanmu selama ini. Kamu ada karena cinta dan aku melahirkanmu juga karena cinta."

"Cinta?" tawanya mulai pecah. "Kamu mengucapkan kata cinta sekarang, tidak salah? Apa Ibu pernah mencintaiku?"

"Ya, mencintaimu," tukas Sophie tanpa keraguan.

"Aku yakin Ibu bahkan pernah berpikir untuk membuangku dulu," tudingnya sinis saat tawanya mereda.

"Pernah. Sama sepertimu. Tapi, aku memilihmu."

"Kalau semua yang Ibu katakan itu pernah, kenapa Ibu bahkan tidak pernah mengatakan siapa ayahku?"

"Karena dia sudah meninggal."

"Itu pasti bohong."

Meninggal? Yang benar saja? Ini rasanya konyol sekali mendengarnya setelah sekian lama. Kenapa tidak dari dulu mengatakannya kalau pria itu memang sudah meninggal? Toh, dia tidak akan bisa mencari tahu. Apalagi orang yang sudah tiada tidak akan pernah bicara.

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang