Devil Cake (1)

Mulai dari awal
                                    

"Kamu terlambat, Angel!" seru Martha.

"Maaf, Martha. Aku agak kurang enak badan." Angel mencoba memintal senyuman di bibirnya.

"Iya, kamu pucat sekali. Kalau tidak sehat jangan dipaksakan!"

"Tidak apa. Aku akan menaruh barangku dulu."

"Tentu."

"By the way, tumben pakai dress. Kamu jadi tambah cantik, Angel!"

"Ah, iya." Angel menarik ujung mantelnya berusaha menutupi perutnya.

Selain karena pakaian ini yang dibawakan Sophie, dia tidak bisa lagi memakai celana jeans sekarang. Celana itu hanya akan memperjelas gundukan di perutnya dan akan semakin menegaskan gejala kehamilan kecuali orang rabun yang mengira perutnya membesar akibat busung lapar. Lagi pula jeans-nya banyak yang tidak muat lagi dan memakainya membuatnya sesak napas.

"Segeralah bersiap!"

Angel mengangguk lalu berjalan masuk ke dalam. Menaruh tas dan mantel di dalam almari dan menarik celemek. Dia memakai celemek itu di depan tubuhnya, sengaja melonggarkannya dan tidak mengikat di bagian perut seperti sebelumnya. Dengan postur tubuh kurusnya, perut hamilnya memang sangat terlihat. Dia sendiri juga heran, baru sembilan minggu tetapi perutnya sudah sangat hamil seperti sudah memasuki usia kandungan belasan minggu.

Angel menutup pintu lemari lalu berjalan keluar. Segera memposisikan diri di depan pantri. Saat dia menata kue dan cookies yang baru matang di meja, ponsel yang tersimpan di saku apron-nya bergetar pelan. Dia menarik benda itu. Menyipitkan mata sesaat saat melihat dari siapa pesan itu dikirim. Pesan dari Elliot.

Kita perlu bicara.

Angel mendengkus kasar setelah membaca pesan singkat yang baru saja masuk. Membanting ponsel dan kembali menekuni potongan demi potongan marshmallow yang digunakan untuk topping kue ulang tahun pesanan pelanggan. Ini sudah pesan kesekian ratus setelah hampir tiga hari dia benar-benar mematikan ponsel. Menolak ajakan pria itu saat dia datang ke Kiandra, berpura-pura sibuk intinya.

Aku menunggu jawabanmu, Angel.

Pesan demi pesan singkat itu masuk tanpa henti. Angel mengetuk layar ponsel dan mematikan benda terkutuk itu. Menahan rasa ingin membanting benda itu hingga hancur berkeping-keping.

"Kalian masih belum saling bicara?" Martha yang sedari tadi sibuk di gudang kini berdiri di samping gadis itu.

"Entahlah." Gadis itu hanya mengedikkan bahu.

"Kalian harusnya saling bertemu dan bicara. Ini bukan wewenangku untuk mencampuri urusan kalian. Elliot itu tipe yang menyenangkan. Setidaknya itu yang aku lihat." Martha berucap pelan sementara jemarinya sibuk memotong kue menjadi bagian-bagian lebih kecil.

"Kamu tidak tahu apa yang terjadi."

"Memang. Tapi, menurutku menyelesaikan masalah secepatnya lebih baik daripada terus menunda. Untuk apa kamu menyimpan api di kolong ranjang, kalau toh itu akan membakarmu juga pada akhirnya. Sementara kamu menunda, kamu hanya akan merasakan panas yang membakar bahkan di dalam tidurmu." Martha menghela napas setelah mengucapkan sederet kalimat bijak.

"Aku tahu," sahut Angel lirih.

"Kasihan anak kalian."

Kelopak matanya melebar mendengar kata-kata Martha barusan. Angel juga berani bersumpah kalau jantungnya mungkin melewatkan satu atau dua kali detakan. Sudut bibirnya berkedut pelan. "Sejak kapan?"

"Sejak kamu muntah-muntah setiap pagi, kamu juga selalu terlihat lemas dan mengantuk. Aku sendiri pernah hamil, Ngel. Makanya aku tahu. Kamu yang tomboi tiba-tiba sering memakai dress. Perutmu juga tidak bisa menipu. Aku tidak tahu sudah jalan berapa minggu, tapi perutmu benar-benar mulai membuncit sekarang dan akan semakin membesar hingga percuma saja kamu tutupi pakai celemek."

Better Than Almost AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang