"Kalau kalian mau bercinta aku persilakan di ruangan tertutup. Jangan nodai mataku." Becca memotong tanpa mengangkat wajahnya.

Angel menghela napas berat. Berpura-pura tidak mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Becca. Bercinta katanya. Mendengar kata itu saja membuatnya jantungya berdebar lebih kencang dan perutnya terasa kaku. Dia mengepalkan jarinya yang tiba-tiba saja gemetar.

"Ini cokelatnya sudah siap." Angel mendorong wadah berisi cokelat putih.

"Aku akan memasukkannya ke microwave." Elliot menarik wadah berisi cokelat putih dan hitam yang selesai dipotong.

Angel hanya mengangguk. Lebih banyak diam saat meratakan kertas minyak di atas nampan. Suasana memang tidak menegangkan. Namun, atmosfer kaku mengambang di udara. Elliot juga lebih memilih berdiri di pojok dapur dan berlama-lama menatap microwave tanpa mengatakan apa pun.

Beberapa menit kemudian, Elliot membawa kembali cokelat yang sudah mencair dan menaruhnya di atas meja. Angel buru-buru mengulurkan jari dan menyentuh wadah. Sensasi terbakar seketika terasa di ujung jarinya.

"Ughhh!" Angel mendesis dan mengangkat jarinya saat panasnya nampan menyengat permukaan jarinya.

"Hati-hati!" Elliot setengah berteriak.

Pria itu menarik tangan Angel. Menaruh telapak tangan gadis itu pada permukaan daun telinganya. Bermaksud untuk meredam hawa panas. Angel mendongak, matanya menatap tanpa berkedip.

"Aku tidak apa-apa." Angel menarik tangannya yang masih dalam genggaman Elliot dengan paksa.

"Serius?"

"Iya."

"Kalau begitu, aku saja yang tuang cokelatnya." Elliot berpindah pada wadah-wadah cokelat yang di meja.

Elliot menuangkan cokelat hitam yang telah mencair di permukaan kertas minyak. Meski begitu, Angel bermaksud membantu dengan buru-buru meraih wadah lain yang masih hangat dan ikut menuangkan cokelat.

"Ini biskuit dan marshmallow-nya." Becca membawa mangkok berisi topping untuk melengkapi S'more bark buatan mereka. Gadis itu lalu bergerak ke dalam kamar saat ponselnya berdering dan meninggalkan mereka berdua di dapur.

"Menurutmu bukankah lebih enak memakan cokelatnya secara langsung." Angel tiba-tiba berbicara sembari meraih kemasan cokelat.

Elliot yang masih sibuk menuangkan cokelat putih di atas permukaan cokelat hitam dan membentuk pola yang melengkung ternyata tidak langsung mendongak untuk menatap Angel. "Agar lebih indah saja, Angel."

"Tapi, tidak ada perubahan rasa berarti selain penampakannya yang bagus." Angel mulai membuka kemasan cokelat batangan yang akan digunakan sebagai salah satu topping.

"Rasa mungkin saja sama, tapi tidak ada salahnya untuk membuat sesuatu yang lain."

"Kenapa?"

"Kenapa, ya?" Elliot kali ini mendongak dan terlihat berpikir. "Mungkin aku hanya ingin menjadi salah satu manusia yang bisa membuat keindahan dalam kesederhanaan."

"Keindahan dalam kesederhanaan?"

"Seperti cinta, Angel. Mencintai itu sederhana tapi indah saat dirasakan dan dipikirkan. Seperti lampu hias pada Pohon Natal. Pohon cemara membosankan pada hari–hari biasa, tapi saat Natal tiba semua pohon cemara bertransformasi menjadi indah. Keangkuhannya hilang saat hiasan menggantung di daunnya dan membuatnya jadi ramah pada hari istimewa itu."

"Tidak pernah ada kata sederhana dalam cinta." sanggah gadis itu.

"Ekspektasi dan keinginan kita sendiri yang membuat cinta itu menjadi tidak sederhana. Pada hakikatnya, mencintai kan hanya seperti senang saat bertemu, jantung berdebar-debar, dan perasaan bahagia. Kurasa jatuh cinta itu hanya reaksi fisik ketika tubuh memberi tanggapan pada meluapnya hormon. Namun, pada prakteknya cinta juga selalu bergandengan erat dengan harapan dan keinginan kita sendiri untuk memiliki, untuk mengubah atau untuk membuat orang lain selalu ada untuk kita. Mungkin bisa dibilang ini itu adalah obsesi yang mengatasnamakan cinta, bukan cinta itu sendiri."

"Bukankah orang yang mencintai selalu ingin agar orang yang dicintai selalu dekat dengan hatinya?"

"Aku rasa tidak sepenuhnya begitu," Elliot tersenyum sementara Angel menatapnya kali ini. "Mencintai membuatku ingin selalu ada untuk orang itu. Tapi, aku tidak memaksanya untuk ada untukku."

"Itu hanya teori."

"Memang. Makanya aku bilang cinta itu pasti beriringan dengan ekspektasi. Saat kita tidak mendapatkan apa yang kita harapkan maka kita akan kecewa. Padahal saat kita jatuh cinta pastilah kita banyak berharap." Elliot menaburkan butiran marshmallow pada permukaan cokelat.

"Anda memang benar. Kekecewaan memang timbul karena banyak berharap." Angel mematahkan biskuit dan menaruhnya di atas permukaan cokelat yang telah meleleh.

"Tapi, sejujurnya aku sudah lama berhenti berharap, Angel." Elliot menimpali.

"Kenapa?"

"Entahlah," sahut Elliot pendek.

"Lalu, apa yang akan Anda lakukan?" tanya Angel karena sepertinya Elliot tidak ingin menjawab lebih jauh lagi.

"Aku lebih ingin melangkah maju tanpa banyak berharap."

Angel mengangkat wajahnya. "Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

"Anda hanya takut berharap? Tanpa alasan?"

"Ya. Tanpa alasan."

Angel mengangkat kepalanya lalu memandang pria yang kini masih sibuk berkutat dengan topping di permukaan nampan. Dia menarik napas berat. Elliot sama seperti dirinya, dia sungguh takut berharap. Harapan jauh lebih banyak melukai daripada menenangkan. Hanya saja, dia punya alasan untuk takut berharap. Sedangkan Elliot agak aneh jika mengatakan kalau takut berharap tanpa alasan.

Pikirannya buyar saat Elliot menarik nampan dari tangannya. Pria itu berjalan menuju lemari es. Menaruhnya nampan cokelat itu di sana. Angel menoleh saat langkah kaki terdengar mendekat.

"Hei, aku bawa ini," Becca menaruh beberapa potongan kue pai di atas meja. "Aku yang belinya tadi," tambahnya.

Angel menatap pai strawberry di meja tanpa berkedip. Bau manis strawberry menusuk hidung. Bau yang menjijikkan dan mendadak dia ingin melenyapkan kue berbau menyengat itu sekarang juga. Kebencian terhadap kue itu tiba-tiba saja timbul, padahal sebelumnya dia tidak pernah membenci pai strawberry sebelum ini. Jemarinya meremas tepian meja. Perutnya mulai bergolak dan rasa mual menyerang. Lantai yang dipijaknya tiba-tiba terasa berputar.

"Kamu tidak apa-apa, Angel?" Becca terdengar khawatir.

Angel menutup mulut dengan tangan saat rasa mual itu semakin menghebat dan sesuatu terdorong melewati tenggorokanya.

"Angel?" Suara Elliot terdengar dari belakang.

Angel mendongak. Tangannya masih menutup mulutnya rapat-rapat. Keringat mulai bermunculan di dahinya.

"Kamu tidak apa-apa?"

Angel membuka tangannya. "Toilet."

Elliot menunjuk salah satu pintu di ujung ruangan. Angel buru-buru berlari. Dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi karena mulutnya sekarang mulai penuh. Jemarinya meraih kenop pintu dan membuka secara serampangan. Berpegangan pada tepian wastafel, dia memuntahkan semua isi perutnya. Meski begitu, rasa mual itu belum mereda. Cairan terus menggelegak keluar dari mulutnya dan menimbulkan batuk pelan. Dia benar-benar membenci buah yang satu itu. Bau buah itu membuatnya mual.

Angel menyalakan keran air saat rasa pahit memenuhi mulut. Jika sudah begitu maka semua isi perutnya telah berhasil di keluarkan. Suara air masih mengucur deras. Dia menatap bayangan wajahnya di cermin. Berantakan dan pucat. Dia menggigit bibir, menahan dorongan perasaan yang segera berubah menjadi isak tangis. Menyesali dirinya yang sudah hancur seperti ini. Waktu kehancuran itu tidak akan lama lagi, mungkinkah dia bisa menggantungkan harapan. Berharap sedikit saja sebelum semuanya terlambat.

Better Than Almost AnythingWhere stories live. Discover now