Menara Lex Talionis

Start from the beginning
                                    

"apa yang kau lakukan disini?!" bisik kesal anak baru itu. "kelas selanjutnya akan dimulai!"

"jangan berisik, Dio." Kesal Egi, dia jauh lebih berisik. "di sini unit perawatan!"

"aku tahu." Anak bernama Dio itu membuat ku prihatin, aku tidak bisa membayangkan hari-harinya yang harus mengurus pemuda berkekuatan api itu. "tapi pelajaran selanjutnya dengan kelas 1-A."

"Apa—" Egi segera bangkit, saat itu juga dia menoleh kearah ku. wajahnya tiba-tiba berkerut namun dia tetap mempertahankan senyuman di wajahnya. "oh, maaf, Pira. Ku rasa aku harus kembali terlebih dahulu."

Aku berusaha untuk tidak mendesah. "ya, silakan."

Segera setelahnya kedua pemuda itu menghilang dari bilik ku. aku kembali bersandar di kepala tempat tidur dan memejamkan mata. Sepertinya aku terlelap sejenak, karena saat membuka mata pergelangan kaki ku sudah kembali seperti semula dan aku kedatangan dua orang tahu tak diundang.

Ryoko yang pertama menyadari jika aku bangun segera mendesak nyaris memeluk ku jika aku tidak memasang tangan di depan tubuh, menyadari penolakkan ku dia mundur dengan wajah berkerut. membuatku menjadi merasa bersalah.

"Bagaimana bisa kau dekat dengannya?" kutatap Alva yang menyulut disampingku, mata birunya berkilauan. "biasanya kau tidak tertarik pada lawan jenis mana pun. Bahkan senior dari Klub Basket harus membuang buket bunganya ke tong sampah belakang sekolah!"

Ku tatap gadis itu datar. "Dia menolongku saat melawan monster itu."

"oh, benarkah?" goda Alva, aku berniat membekukan kepalanya jika saja Ryoko tidak segera menengahi kami.

"jam makan siang sudah berakhir dan kami membawakan makanan mu." Ryoko menyerahkan nampan berisi makan siang, aku menerimanya dengan suka cita. "jam berikutnya seharusnya kelas Alkimia namun karena katanya terjadi suatu insiden jadinya dikosongkan." Ryoko menatap kaki ku. "sepertinya kakimu sudah lebih baik, apakah kau ingin kembali ke kamar?"

Makanan yang dibawa Ryoko sepertinya didapatkannya dari kantin di akademi, ada lebih banyak lauk dan cemilan penutupnya. Makan siang itu kandas dengan cepat tanpa ku sadari, sepertinya terluka dan terlelap membuat tubuh ku jauh lebih lapar. Ku turunkan kaki ku dari kasur, ketika menginjak lantai marmer yang dingin tidak lagi terasa sakit. Ternyata efeknya jauh lebih hebat dari obat-obatan modern.

"tidak perlu," kata ku. "aku mau ke perpustakaan."

"kalau begitu kami akan menemani mu." kata Ryoko, membantu ku berdiri, walau sebenarnya tidak perlu tapi aku tetap membiarkannya.

"maaf kawan, bukannya tidak setia tapi ada tempat menarik yang ingin ku kunjungi." Kata Alva tiba-tiba, yang dihadiahi tatapan tajam dari Ryoko. Gadis itu bergidik sekilas, memasang wajah bersalah. "aku sudah berjanji lebih dulu dengan Dini, Ilyas, dan David!"

"kau punya teman baru?" tanya ku, tidak heran sih melihat sifatnya itu.

Alva menatap ku dengan tatapan senang dan senyum kaku yang menyebalkan. "tentu saja! aku bukannya batu es berjalan!"

Sebelum sempat aku membekukannya Anak setengah Vampir itu berlari cepat keluar bilik, sepertinya kecepatannya bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya. Menyisakan ku dengan Ryoko, akhirnya hanya kami yang pergi ke perpustakaan akademi. Perpustakaan Akademi hanya dibuka selama jam pelajaran berlangsung dan selalu ramai oleh—terutamanya—anak-anak baru. Helaan nafas ku bercampur dengan udara berdebu dan bau dari buku-buku tua, aku sudah menyembunyikan diri di salah satu lorong yang dipenuhi rak-rak buku tinggi. Sorot redup cahaya matahari mengintip dari balik jendela berbingkai tinggi di ujung lorong, menyinari ku seolah aku adalah patung tua yang terlantar.

WIZARD (Broken Butterfly) ENDWhere stories live. Discover now