"Itulah kenapa namamu, Angel," lanjutnya. Masih bermonolog dan sepertinya menikmati ejekan demi ejekan yang dilontarkan.

"Itu Ibu tahu." Angel menjawab ketus. "Seharusnya Ibu sadar diri."

"Kamu benar. Seorang malaikat terlahir dari iblis sepertiku. Bukankah itu ironis?" Matanya menatap malas ke arah anak gadisnya.

"Selera Ibu dalam memilih nama bahkan cukup layak untuk masuk nominasi Guinness world record. Sebagai manusia paling kreatif." Angel menyahut sarkatis.

Wanita itu terkekeh lalu terbatuk akibat asap rokoknya sendiri. "Lagi-lagi kamu benar, Angel."

Angel tidak lagi memedulikan kata-kata ibunya karena pelipisnya masih berdenyut menyakitkan dan rasa mual kembali menyerang. Dia memilih masuk ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya sebelum muntah di ruangan ini. Sebelum masuk, dia melirik sejenak ke arah wanita itu. Angel mendengkus pelan sebelum menutup pintu dengan kasar.

Dia sebenarnya lebih memilih untuk terjun dari jembatan layang terdekat daripada bersama ibunya meski hanya sehari. Dulu dia berpindah ke flat ini agar terpisah dari wanita itu. Akan tetapi, siapa sangka ibunya datang dua bulan setelahnya. Menumpang hidup dan terus-menerus mengobarkan api peperangan. Dia tidak ingin tinggal seatap dengan Sophie. Namun, menilik dari kejadian masa lalu maka sekalipun dia pindah wanita itu akan tetap mengikutinya. Wataknya yang gemar menempel bagai lintah itu membuatnya sulit dilepaskan. Angel menarik napas pelan lalu membasahi rambutnya dengan air.

"Ibu belum pergi?" tanya Angel ketika selesai mandi dan mengusap rambut basahnya dengan handuk.

"Kamu mau aku segera pergi?"

"Terserah."

Angel memilih mengabaikan wanita itu dan menyesal telah mencoba bertanya. Dia kemudian beralih pada sisi lain ruangan untuk mengambil sereal dan susu. Sementara wanita itu masih sibuk dengan rokoknya. Saat Angel sibuk enuangkan cairan kental itu ke dalam mangkok yang telah berisi sereal, Sophie mendekat.

"Ibu bawa kue." Sophie mendorong kotak mungil ke arah Angel.

"Muffins?" Angel menatap cup cake berwarna cokelat dengan permukaan bergelombang itu tanpa selera.

"Pumpkin muffins," kata Sophie sambil meraih satu buah kue dari dalam kotak dan menjejalkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya berlahan. "Kamu mau?"

Angel menggeleng. Menatap bentuk kue yang gelap itu membuatnya hilang selera. Matanya kembali tertunduk menatap butiran sereal berbentuk bintang aneka warna di dalam mangkuknya.

"Kamu tidak suka?"

Angel mengesah malas. "Ibu tahu kalau aku tidak suka labu."

"Masih karena alasan konyol labu itu lambang hallowen?" tanya Sophie lagi. "Ironis juga saat satu benda jika diterapkan pada dua fungsi yang berbeda maka memiliki arti yang jauh sekali."

"Ibu!"

"Ibu sok pintar, aku tahu." Wanita itu menyahut acuh tak acuh.

"Aku tidak bilang begitu, oke. Aku hanya tidak suka labu, membuatku mual."

"Sama sepertiku, membuatmu mual?"

"Ibu." Angel menghela napas. "Bisakah kita berhenti, ini masih pagi." Sungguh dia ingin pertengkaran dan adu mulut tidak penting itu berakhir sesegera mungkin.

Sophie tertawa pelan, "Meski kamu tidak suka labu, akan menyenangkan kalau manusia jadi seperti pumpkin muffins ini, campuran bumbunya tepat, teksturnya lembut dan rasa labunya masih terasa kuat."

Angel beranjak berdiri, menatap wanita itu tajam. "Semua itu tergantung Ibu. Ibu bisa saja menjadi kue semanis apa pun kalau Ibu mau. Tapi, Ibu tidak pernah bersikap lembut, bukan?"

"Ibu tidak berharap menjadi muffins, Angel. Ibu hanya berharap kamu menjadi kue manis yang disukai banyak orang. Itu cukup."

Angel yang semula menaruh mangkok bekas sereal itu di dalam bak cuci piring langsung menoleh ke arah ibunya. "Ibu tahu itu tidak mungkin, kan? Semua ini karena siapa?"

"Maksudmu karena Ibu? Semua salah Ibu begitu, Angel?"

"Cukup, oke. Aku yang salah, semuanya salahku. Aku harus kerja sekarang."

Angel buru-buru menaruh mangkok yang telah bersih ke tatakan meja. Dia lalu kembali ke kamar lalu meraih mantel dan tas punggung sebelum buru-buru bergerak keluar. Dia juga menutup pintu depan dengan keras hingga menimbulkan suara berderak. Tangannya terkepal, dadanya sesak. Sungguh dia ingin melewati pagi dengan tenang layaknya keluarga lain. Bukan saling serang dengan sindiran semacam itu. Namun, ibunya jelas tidak akan menyukai ide perdamaian semacam ini.

Tungkainya melangkah cepat saat menuruni tangga. Namun, dia tidak langsung pergi. Dia Dia berhenti sebentar untuk menatap langit yang mulai biru. Angel mencoba tersenyum dan merentangkan tangan. Mengisap udara segar yang masuk ke hidung dengan sepenuh hati. Menghirup udara pagi membuat rasa mual dan pusing mulai berangsur hilang.

Seteleh selesai melakukan kegiatan anehnya, dia melanjutkan perjalanan. Malu juga dilihat beberapa pejalan kaki yang lewat. Jalanan masih sepi, dia mempercepat langkah. Bos-nya akan membunuhnya kalau dia terlambat sepuluh menit saja.

Jalanan menuju Kiandra masih sepi. Hanya beberapa kios dan pertokoan yang mulai beraktivitas sepagi ini. Angel bergerak cepat, memangkas jarak dengan tempat tujuannya. Kiandra telah kelihatan dan dia hanya perlu beberapa langkah untuk masuk ke dalam. Namun, kakinya terhenti saat melihat sosok yang berdiri di depan kedai. Angel mengamati orang yang kini berdiri di sana. Elliot Evans, pria angkuh, ketus, dan menyebalkan yang kemarin datang sekarang ada di sana. Bukankah dia tahu kalau toko belum mulai beroperasi?

Mungkin Mr. Evans cukup dungu untuk tahu semua ini. Angel mendengkus pelan lalu memilih untuk melanjutkan langkah. Berpura-pura tidak melihat pria bermantel hitam yang kini tampaknya mulai pedekate pada kue di etalase. Kalau Mr. Evans menyapa maka dia hanya perlu mengabaikan. Namun, di luar dugaan. Pria itu juga mendiamkannya dan hanya berdiri mematung di depan toko. Ya, ya, ya, mungkin dia terlalu kotor untuk diperhatikan.

Perasaannya masih sebal akan reaksi pria itu kemarin. Pergi begitu saja setelah memecahkan cangkir di dalam kedai. Dia memang teman Martha dan membayar, jelas dia orang kaya. Akan tetapi, bukan uang dan kekayaan yang menjadi fokus di sini. Setidaknya ada norma kesopanan yang seharusnya menjadi tolak ukur. Dia tidak akan berharap atau meminta pria itu membersihkan pecahan cangkir atau mengepel lantai misalnya, tetapi minta maaf bukan hal yang sulit dilakukan.

Saat pria itu menoleh, Angel langsung membeku. Sial, dugaanya salah. Angel berdeham pelan lalu buru-buru melangkah pergi meninggalkan pria itu.

"Angel!"

Suara serak pria itu tetap membuat Angel berjingkat. Sesaat menghentikan aksi acuh tak acuh yang dilakukannya. Angel kemudian memandangi pria itu. "Ada yang bisa saya bantu, Sir?"

"Apa di sini ada pumpkin muffins?"

Angel terdiam di tempat. Bibirnya terkatup rapat. Dia urung untuk menjawab. Dua orang paling dibencinya sedang membahas pumpkin muffins pagi ini, benar-benar kebetulan yang menyebalkan. Bukannya kebetulan selalu menyebalkan?

Better Than Almost AnythingWhere stories live. Discover now