54 ■ cinquante-quatre.

5.7K 698 21
                                    

"Maaf," kata seorang pria kepada supir taksi yang menghentikan mobilnya di depan hotel. Ia baru saja menghentikan perempuan yang hendak menaiki taksi itu.

Seorang perempuan berambut panjang dengan setelan casual khas kantoran yang tadinya hendak pergi menggunakan taksi itu kini menatap kesal pada pria yang berdiri tidak jauh darinya, karena pria itu taksi yang seharusnya ia naiki kini meninggalkannya.

"Ayo kembali," kata pria itu kepada perempuan yang tengah menatap tajam kepadanya.

"Tidak, aku tidak mau," jawab perempuan itu.

"Dia membutuhkan seorang ayah."

"Aku tidak peduli."

"Dengar..."

"Kamu berbohong."

Suara lembut itu kini terdengar melirih dan tatapan matanya menyipit seakan ia kesakitan dengan apa yang baru saja terjadi. Kepalanya terangkat tinggi-tinggi untuk menatap wajah pria yang jauh lebih tinggi darinya itu.

"Demi kebaikanmu."

Perempuan berambut panjang itu tertawa dan perempuan itu terdengar frustasi saat mulai mengacak rambutnya yang terurai.

"Demi kebaikanku? Ini egois."

"Cobalah untuk berpikir jernih."

"Apa pedulimu, Harvey?"

"Jauh lebih dari apa yang kamu tahu."

"Aku tidak peduli, pergi."

"Aku tidak akan kemana pun sampai kamu ikut dengan aku, Regina."

***

Joanne menunggu di ruang keluarga yang ada di lantai bawah rumahnya. Jam dinding tepat menunjukan pukul delapan malam pada saat Joanne mendengar suara mesin mobil di halaman.

Joanne masih duduk di sana hingga terdengar suara pintu depan yang terbuka, perempuan itu menarik nafas dalam

Ezra menyadari kehadirannya namun pria itu hanya mengabaikannya seakan Joanne tidak ada dan Joanne tahu bahwa kakaknya itu sedang tidak ingin berurusan dengannya namun kali ini, Joanne ingin berbicara kepada Ezra. Sehingga Joanne memanggil nama kakak laki-lakinya itu.

"Ezra."

Sedetik setelah Joanne memanggil nama itu, langkah Ezra terhenti bersamaan dengan gerakan kepala memutar kepada Joanne yang sudah berdiri dari tempat duduknya di sofa ruang keluarga.

Joanne menatap pada Ezra yang membalas dengan tatapan datar seperti biasa, ekspresinya terjaga hingga Joanne kembali bersuara.

"Kita perlu bicara," kata Joanne.

Ezra tidak membalas mengatakan apa pun, hanya langsung mengarahkan langkahnya ke sofa yang ada di ruang keluarga dan duduk di atas sana.

"Apa?" tanya Ezra pada akhirnya, menatap pada Joanne yang ikut duduk di sana.

Joanne enggan mengatakan apa pun namun ia tidak bisa menahan rasa penasarannya sehingga akhirnya Joanne bertanya dan meminta penjelasan kepada Ezra dengan cara terbaik yang ia bisa katakan kepada kakaknya itu.

Ezra tidak menunjukan reaksi berlebihan selain kedua alisnya yang terangkat dan bahunya yang tampak rileks saat Joanne menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya.

Hingga Ezra tampak melepaskan kancing pada lengan kemejanya sambil berkata, "Investor terbesar di perusahaan keluarga Regina Rastandi adalah dari keluarga Diyosa dan salah satunya juga adalah Harvey yang juga ikut menyumbangkan sedikit dana di sana."

"Bagaimana kamu mengetahuinya?" tanya Joanne.

"Joanne, aku juga bekerja di bidang seperti itu. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya?"

Itu adalah untuk pertama kalinya setelah pertengkaran mereka Ezra melembutkan nada suaranya kepada Joanne.

"Alasan lain juga bahwa keluarga kita ikut menjadi investor untuk perusahaan keluarga teman kamu itu," jelas Ezra singkat.

"Tapi, pertunangannya sudah batal." Joanne mencicit pelan.

"Memang, kita semua tahu itu tapi itu bukan berarti bahwa Harvey tidak memperhatikan Regina."

"Bagaimana kamu tahu?"

"Itu sudah menjadi rahasia umum, Joanne."

Joanne menggeleng tidak percaya.

"Kamu tidak pernah mengatakan apa pun kepadaku."

Ezra menujukkan raut wajah tidak setujunya, keningnya mengerut lalu tampak menghela nafas sambil menggeleng dengan tatapan datar.

"Kamu mencintainya, maka itu sama saja dengan percuma jika aku mengatakannya. Karena kamu tidak akan pernah mendengarkan aku."

Joanne terdiam dan pada saat bersamaan ia melihat Ezra melepaskan dua kancing teratas kemejanya lalu menatap kembali kepada Joanne.

Lalu pria itu berkata, "Bukankah itu semua sudah cukup untuk membuktikan kepada kamu?"

"..."

"Bagaimana jika dia berbohong?"

"..."

"Aku mengenal Harvey sejak dulu dan mudah untuk mengetahui seperti apa dia, karena Harvey tidak akan tega untuk membiarkan keluarga Rastandi hancur dan kehilangan segalanya hanya karena sebuah perjodohan yang batal."

"..."

Lalu Ezra bertanya, "Apa dia menyakitimu? Apa yang telah dia lakukan kepadamu?"

Joanne bergeming hanya menunduk, menatap pada jari-jari kakinya. Hingga akhirnya Ezra menarik nafas dalam.

Dalam kepalanya Joanne memikirkan banyak hal, Joanne juga seharusnya tahu akan hal itu bahwa Harvey tidak akan setega itu membiarkan keluarga Regina hancur. Namun pria itu juga tidak mengatakan apa pun kepada Joanne, bukankah Joanne juga berhak tahu?

Joanne tidak mengatakan apa pun hingga Joanne melihat Ezra berdiri dari tempat duduknya. Jarak mereka tidak terlalu jauh hingga Joanne merasakab berat di puncak kepalanya dan mendapati Ezra mengulurkan tangannya dan menyentuh di sana.

"Aku tahu, tidak perlu mengatakannya lagi."

Mungkin Joanne sudah salah, telinganya mungkin bermasalah karena ia baru saja mendengar Ezra menghiburnya dengan cara yang paling tidak masuk akal. Joanne bukan anak kecil namun ia menyukai sentuhan dari kakak laki-lakinya, membuatnya sadar bahwa perang saudara antara keduanya membuat Joanne lelah.

Joanne tidak bergeming, namun punggung tangannya naik mengusap pada kelopak matanya yang mulai terasa basah dan panas. Joanne benci menangis. Terutama di depan orang lain.

Namun tidak, ia tidak bisa menahannya.

Ezra menepuk pelan puncak kepala Joanne dengan kaku namun hangat. Ekspresinya mengeras saat melihat bahu Joanne bergetar, tanda sadar giginya mengatup rapat.

"Seharusnya kamu mendengarkan aku sebelumnya, maka akhirnya pasti tidak akan menjadi seperti ini."

■ 240317 ■

BLUESWhere stories live. Discover now