36 ■ trente-six.

8.7K 989 16
                                    

Hal terburuk yang pernah Harvey lihat adalah Joanne yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan itu menatap tajam kepadanya atau mungkin kepada semua orang yang ada di sini.

Seorang perempuan yang wajahnya tampak familier bagi Harvey dan Ara yang berdiri tidak jauh di sebelah perempuan itu. Sementara Joanne, berdiri sendiri di sana dengan tatapan bencinya pada ketiga orang di hadapannya, termasuk Harvey.

"Aku yakin kalian sudah saling mengenal."

Ara yang pertama kali memecahkan keheningan, menatap pada Joanne yang berdiri di hadapan sana dengan rambut yang terurai setengah basah. Kedua mata bengkaknya membalas menatap pada Ara.

"Dia mencari kamu, J," kata Ara lagi, kali ini melembut. "Dia ingin menjelaskan sesuatu kepada kamu."

Joanne membalas dengan bertanya kepada Ara tanpa mengindahkan ucapan temannya yang barusan. "Elisa yang menelefon kamu?"

Itu terdengar penuh prasangkan dan membuat Elisa mengecutkan wajahnya melirik pada Ara yang langsung menggeleng atas pertanyaan Joanne.

Perempuan itu menarik nafas dalam sebelum berkata, "Well, lain kali jika kamu memang ingin bersembunyi dari aku. Maka carilah tempat yang lebih baik dimana aku atau tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, J. Jangan bodoh."

***

Joanne menatap pada Harvey yang tersisa di sana, sepeninggalan Ara dan Elisa keadaan benar-benar dingin. Dua temannya itu sengaja melakukannya dan Ara yang menjadi otak pertamanya sehingga Elisa hanya bisa mengekor dengan tatapan cemas pada Joanne.

Meski banyak pertanyaan yang ingin Elisa tanyakan kepada Joanne dan juga Elisa tahu bahwa Joanne bisa meledak kapan saja. Berharap siapa pun pria yang kini ada di lantai bawah rumahnya itu, pria yang berdiri di hadapan Joanne akan bisa mengatasinya.

Dan di keadaan lainnya di waktu yang sama. Joanne tidak memulai apa pun tanpa Harvey mengatakannya, maka Harvey memutuskan bahwa dirinyalah yang akan berkata-kata untuk pertama kali.

"Ayo kembali, J."

"..."

"J."

"..."

"Joanne."

"..."

Hening.

Hingga akhirnya Harvey menarik nafas dalam kemudian berkata dengan nada yang lebih dalam dari pada sebelumnya kepada Joanne.

"Dengarkan aku, J."

Joanne yang sedari tadi mengunci rapat mulut akhirnya menyerah. Menghela nafas panjang, tenggorokannya terasa berat dan matanya yang bengkak membuat Joanne merasa sangat lelah saat ia harus bersuara.

"Aku mendengar kamu. Aku sedang mendengarkan kamu, H. Selalu," Joanne membalas dengan nada gusar dan suara pelan kepada Harvey. "Bisakah kita selesaikan ini? Di sini? Dengan cepat, please. Setelah itu pergi dari sini, H."

Kali ini Joanne melirih. Harvey mengangguk kepada perempuan itu. Joanne tahu bahwa Harvey tidak mengerti. Pria itu tidak sepenuhnya mengerti.

"Aku ingin..."

"Tidak, maksud aku... kenapa kita tidak sendiri sendiri saja? Aku dengan jalan hidup aku dan kamu dengan jalan hidup kamu sendiri. Bukankah itu sudah kita lakukan selama delapan tahun lamanya?"

Harvey hanya menatap Joanne yang semakin gusar.

"Dengan kamu memberikan penjelasan sekarang, apa gunanya, Harvey?"

"..."

"Aku bisa menyelesaikan masalah aku sendiri. Tanpa siapa pun tanpa terkecuali kamu. Aku dan kamu berteman dan itu akhir dari cerita."

"Ini masalah perasaan, J."

"Cobalah, kumohon, Harvey."

Dan yang benar saja, Joanne menangis. Kalimat terakhir gadis itu mulai terdengar seperti sebuah isakan di telinga Harvey.

Hal itu membuat Harvey tertegun saat melihat Joanne yang kesulitan menahan air matanya hingga perempuan itu menghapusnya dengan kasar menggunakan punggung tangannya.

Dari keadaan mata Joanne yang bengkak, Harvey tahu bahwa perempuan itu baru saja menangis namun meski begitu hingga saat ini Harvey tidak pernah melihat Joanne menangis sebelumnya. Tidak secara langsung di depan matanya.

Karena bahkan saat mereka berpisah, Joanne tersenyum begitu cerah.

Di pikiran Harvey saat itu adalah perpisahan itu terasa seperti sebuah pemanis di bibir Joanne, karena perempuan itu mengatakannya dengan sangat lancar dan jelas delapan tahun yang lalu.

Pemandangan Joanne menangis membuat Harvey ingin mendekat. Pria itu melangkah dengan perlahan namun pasti.

Dengan gerakan perlahan pula Harvey hendak menggapai Joanne dan pada saat perempuan itu tidak melawan dan Harvey menunduk sedikit pada puncak kepala Joanne. Perempuan itu baru selesai mandi dengan wangi shampoo yang tercium dari perempuan itu.

"Aku telah mencoba untuk hal itu. Selama delapan tahun hingga akhirnya aku berakhir dengan berpaling dari jalan yang ada di hadapan aku dengan berbalik kembali untuk mengejar kamu."

"..."

"Aku bodoh, seharusnya aku mengejar kamu sejak dulu dan juga seharusnya aku mengerti lebih cepat bahwa pada saat kamu menyuruh aku untuk berhenti dan jangan mengejar kamu, kalimat itu mempunyai arti yang sebaliknya."

"..."

"Kamu mungkin hanya akan membenci aku. Tapi aku tahu bahwa kamu tidak akan cukup kuat untuk berhenti mencintai aku, Joanne."

Ucapan Harvey menyentak Joanne, membuat perempuan itu mengangkat kepalanya kepada Harvey. Matanya mungkin berkaca-kaca dan pasti itu tampak mengerikan sekarang karena ia terlalu banyak menangis.

"Maaf karena aku sudah membuat kamu menangis."

"Bodoh, kamu...," ucapan Joanne terhenti, perempuan itu tidak bisa melanjutkannya.

Terlebih saat ia menatap pada wajah Harvey. Benci karena di saat seperti ini Harvey masih begitu lembut dan perhatian kepadanya.

"Aku sangat tahu. Karena itulah satu-satunya alasan yang membuat kamu hanya bisa terus melarikan diri dari aku."

"..."

"Aku tahu segalanya tentang kamu, J. Tapi kamu tidak. Maka biarkan aku beritahu kamu satu hal," kata Harvey.

Sambil mendorong anak rambut yang menutupi wajah Joanne ke belakang telinganya.

"Kamu perlu mengerti bahwa, percuma saja jika kamu terus melarikan diri lagi dan lagi. Karena pada akhirnya kamu hanya akan selalu menemukan jalan buntu, yaitu aku."[]

■ 190217 ■

BLUESWhere stories live. Discover now