20 ■ vingt.

12.9K 1.3K 23
                                    

Joanne mengigit bibir bawahnya, tatapannya tajamnya memudar kepada pria yang ada di hadapannya. Harvey sendiri membeku di tempatnya, tubuhnya kaku dan kedua matanya melebar kepada Joanne. Perempuan itu tampak mengigit bibirnya di antara kedua giginya.

"Joanne.."

"Maaf." Joanne berbisik.

Joanne terdengar seperti tengah berbicara kepada dirinya sendiri. Perempuan itu menelan ludahnya dengan susah payah. Sadar bahwa ia baru saja menampar Harvey, Joanne melakukannya tanpa bisa ia cegah. Ia sudah memperingatkan pria itu.

Menarik dirinya mundur dari hadapan Harvey, kali ini sejauh yang ia bisa, meski saat ini Harvey tidak bergerak dari tempatnya, pria itu hendak kembali mengambil langkah pertama dari posisinya berdiri.

"Joanne."

"Berhenti di sana, Harvey."

Joanne menghela nafas, memejam matanya.

"Tinggalkan aku sendiri, Harvey..."

Harvey membeku di tempatnya, langkah tidak lagi beranjak. Permintaan Joanne selalu berpengaruh besar kepadanya mungkinlah itu alasannya kenapa Harvey tidak pernah menang dari Joanne.

Menang dalam artian Harvey selalu membiarkan Joanne menanggung segalanya. Bahkan delapan tahun berlalu, Joanne masih menjaga jarak di antara mereka. Jarak itu terasa begitu nyata.

"Sampai kapan kamu baru akan mengerti bahwa kisah kita sudah selesai, Harvey. Sudah selesai dalam artian tidak akan ada lanjutan apa pun dari ending itu."

Harvey menarik nafas dalam, memejamkan matanya. Hendak berkata-kata namun Joanne mendahuluinya.

"Kumohon, H. Kali ini, pergilah."

Kali ini tatapan Joanne tidak lagi tajam seperti sebelumnya, kali ini tatapannya melemah.

Dan itu membuat Harvey sadar bahwa lagi-lagi, dirinya kalah. Ia memberikan kemenangan untuk kesekian kalinya kepada Joanne.

Dengan tatapan seperti itu, segala penjelasan berakhir tertahan. Harvey menghela nafasnya, mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda bagi Joanne.

"Aku pergi."

Ucapan Harvey membuat Joanne tertegun, tidak menyangka bahwa pria itu akan mengalah kepadanya lagi. Harvey tidak marah. Bahkan setelah ia menampar Harvey. Itu adalah tindakan refleks yang terdengar bodoh.

Saat Joanne menengadahkan kepalanya, ia mendapati Harvey sudah berdiri di hadapannya. Jarak mereka hanya setengah meter dan Joanne bisa melihat pria itu bahkan menatapnya dengan tatapan lembut yang membuat Joanne merasa bersalah berkali lipat dari sebelumnya.

Joanne menelan ludahnya dengan susah payah saat merasakan pedih pada ujung tenggorokannya. Harvey menarik senyum di bibirnya, membuat Joanne merasa lebih buruk lagi.

"Aku akan pergi, J."

Tidak ada kemarahan di dalam suara pria itu, hanya ada kelembutan dan pengertian kepada Joanne. Seakan Harvey bisa tahu apa yang ada di dalam diri Joanne.

Joanne tidak bisa berkata-kata atas reaksi yang Harvey berikan kepadanya. Yang bisa ia lakukan pada akhirnya ialah menelan ludahnya dan mengatupkan kedua bibirnya.

Joanne menahan nafasnya saat ia melihat senyum di bibir Harvey kian melebar tanpa menampakkan deretan giginya yang rapi.

Lalu Harvey kembali berkata, "Seperti yang kamu mau, aku pergi sekarang. Jadi jangan tunjukan raut wajah seperti itu kepada orang-orang di luar sana, okay?"

Joanne tidak tahu seperti apa raut wajahnya sekarang. Yang pasti rasanya ia seperti terjepit dan buntu tanpa ada celah. Joanne sendiri tahu bahwa penyebab dari semua itu adalah Harvey. Dan Joanne tidak yakin bahwa Harvey tahu akan hal itu.

Joanne tidak berkata apa pun, hingga ia merasakan sebuah tangan besar yang mendarat di atas puncak kepalanya. Mengacak rambutnya yang hari ini terurai karena ia tidak sempat merapikannya.

Sekali lagi, ini menghancurkan hati Joanne. Ia ingat sensasi seperti ini, di saat Harvey mencoba untuk menenangkannya. Delapan tahun lalu mau pun sekarang, pria itu masih ingat bagaimana cara terbaik untuk membuat Joanne merasa lebih baik.

Namun kali ini tampaknya cara itu tidak lagi berjalan lancar. Karena pada saat Harvey menjauhkan tangannya dari puncak kepala Joanne, pria itu berbisik pelan kepadanya.

"Maaf, J."

Satu hal yang tidak pernah bisa Joanne katakan kepada Harvey, tidak delapan lalu dan juga tidak untuk saat ini. Pria itu kembali meminta maaf.

Harvey tidak bersalah pada kenyataannya.

Ini bukan salah Harvey. Namun pria itu selalu meminta maaf untuk hal yang tidak Harvey lakukan.

Joanne mengigit kuat bibir bawahnya, menahan gejolak menyakitkan di dalam rongga dadanya. Menarik nafas dalam namun tidak mengatakan apa pun, Joanne hanya menatap Harvey. Kata-katanya telah mati di bibirnya.

Harvey sendiri seakan tahu bahwa Joanne tidak akan menanggapinya, hal terakhir yang Joanne lihat adalah Harvey tersenyum, matanya menyipit dan menampakan deretan gigi rapinya.

Sial, kenapa kamu malah tersenyum? Brengsek.

Dan kemudian si brengsek itu membalik tubuhnya, melakukan apa yang Joanne minta, pergi dari ruangannya. Meninggalkan suara debaman pintu di ruangannya tanpa menoleh.

Joanne masih berdiri di tempatnya, tanpa sadar bahwa tangannya bergetar.

"...Sampai kapan kamu akan terus melarikan diri?"

Sampai kapan?

Joanne juga bertanya kepada dirinya sendiri.

Sampai Harvey berhenti mengejarnya.

Sampai saat Harvey tidak lagi menatapnya lembut.

Sampai saat Harvey berhenti bersikap lembut kepadanya.

Sampai Harvey akhirnya menginjak ke hadapan altar bersama dengan perempuan lain yang akan pria itu cintai dan Joanne ada di sana, datang sebagai tamu.

Maka pada saat itu juga, Joanne akan berhenti melarikan dirinya lagi. Menghadapi dan juga mengakui kenyataan bahwa dirinya juga sangat lelah dan sakit karena terus melarikan diri.

Joanne sudah bersiap untuk saat itu, saat ia kembali bertemu dengan Harvey hingga pria itu memintanya untuk mulai merancang gaun pengantin serta saat pria itu mengenakan cincin di jari manisnya.

Harvey akan menikah dan Joanne harus menelan asam kenyataan. Kenyataan bahwa, ia tidak akan pernah bersama dengan Harvey.

Bukan karena ia tidak ingin, namun Joanne selalu bertemu dengan Harvey di waktu yang tidak tepat. Harvey mungkin tidak merasakan hal yang sama.

Hanya Joanne yang tahu, karena sampai di dalam mimpi Joanne pun.

H dan J tidak pernah bisa bersama.[]

■ 030217 ■

BLUESDonde viven las historias. Descúbrelo ahora