Chapter 19 Part 1

2.6K 144 3
                                    

Raven dilarikan ke ruang ICU.

Petugas medis bergerak cepat. Segalanya sangat buru-buru. Pasien mereka–Raven– sebelum tiba sudah berada di keadaan kritis, belum lagi sekarang darahnya masih lanjut mengalir dari luka di kepalanya, sehingga mau tidak mau mereka harus berlari secepat mungkin mendorong Raven menuju ruang tersebut.

Singkat kata, Raven sudah berada di ruang ICU sekarang, meninggalkan Elizia sendirian di luar, menunggu, menunggu dengan perasaan yang penuh ketakutan. Bersamaan dengan aliran darah dari kepala Raven yang tiada berhenti, aliran air mata Elizia juga tidak bisa berhenti sama sekali. Parahnya, dari awal yang hanya tetesan-tetesan yang mengalir karena tidak bisa ditahan, sekarang sudah menjadi isakan yang sangat memilukan. Tubuh Elizia terus bergemetar. Ia takut.

Sewaktu ia menemani Raven di dalam ambulans, Elizia merasa sangat cemas. Tubuh Raven tidak berhenti bergetar, ngos-ngosan, tubuhnya panas demam, anehnya tangan di dalam genggaman Elizia terasa sangat dingin. Keadaan Raven sekarang sangat parah, melebihi hari itu dimana ia dipukul oleh Ayahnya persis di balik kepalanya juga. Tunggu. Tempat yang terkena pukul itu sama. Jangan-jangan ... lukanya terbuka? Elizia yang menyadarinya seketika itu membungkam mulutnya sendiri.

I, ini gawat!

Air mata Elizia merembes keluar lagi meski sudah sempat berhenti tadi. Ia bangkit dari tempat duduknya. Tidak bisa lagi ia duduk tenang untuk menangis. Ia mulai mondar-mandir dengan ekspresi yang sangat cemas, air mata yang terus mengalir. Bagaimana ini? Raven, dia sangat khawatir dengannya. Keadaannya sangat kritis. Ia takut Raven bisa kehabisan darah gara-gara lukanya terbuka. Kemungkinan ini sangat besar dan ... Elizia takut.

"Di mana Raven?!"

Elizia terperanjat. Secepat kilat ia menoleh ketika menangkap suara yang terdengar semakin jelas mendekatinya. Ia benar. Orang yang barusan bersuara sedang berlari mendekatinya, orang yang ia kenali dengan nama Sylva. Tak jauh di belakangnya, Elizia juga bisa melihat sahabat Raven berlari mengekorinya, pria yang berbaik hati di taman hiburan waktu itu untuk selalu membantunya. Hanya mereka berdua yang tiba dan tetap saja, Elizia kaget.

"K, kenapa kalian bisa tiba di sini?" Elizia menatap mereka berdua yang terlihat cemas itu dengan wajah yang kebingungan. Seingatnya ia tidak memberitahu soal ini kepada siapapun, setidaknya sampai sekarang. Tapi kenapa bisa mereka berdua tiba di sini bahkan sebelum hasil pemeriksaan Raven keluar?

Sylva yang tadinya terlihat panik mendadak merubah ekspresinya dan ia sudah terlihat tenang dengan wajahnya yang datar. Kini ia terlihat penuh wibawa seorang putri yang terhormat. Badan yang sempat lemas ia tegakkan seperti biasanya, lalu salah satu tangannya terangkat. Terlihat sebuah ponsel merek nokia yang sudah lumayan ketinggalan zaman tapi cukup canggih karena sudah bisa internetan dan kamera. Elizia yakin itu adalah ponsel Raven yang ia belikan untuknya tak jauh hari. Alis Elizia berkerut melihatnya. "Kenapa ponsel Raven ada p—"

"Seorang polisi menyerahkan ponsel ini padaku. Katanya ia menemukan ponsel ini di TKP perselidikan mereka. Ia juga yang memberitahu kalau pemilik ponsel ini dilarikan ke rumah sakit ini," jawab Sylva menjelaskannya dengan pelan lalu menurunkan tangannya kembali beserta ponsel Raven yang ia simpan kembali dalam tas tangannya. Elizia terus memandangnya sewaktu Sylva bergerak.

Memang ia sudah cukup menjelaskan kenapa mereka bisa tiba di sini, hanya saja masih ada yang aneh. Elizia menyeka air matanya. Kemunculan orang lain di sini mengurung niatnya untuk bersedih lebih lama, malu.

"Kenapa pihak polisi hanya menelepon kalian berdua saja?" tanyanya kemudian setelah cukup tenang dari keadaannya yang sebelumnya. Itu sangat aneh memang hanya menelepon mereka berdua. Atau Raven mengganti nama mereka di kontaknya? Elizia tidak tahu.

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang