Chapter 9 Part 1

3.6K 189 8
                                    


Elizia menatap jemarinya. Tepat di jari manis tangan kanannya itu kini dikelilingi sebuah cincin emas yang cantik dan mempesona. Senyuman Elizia kembali terhias lagi di wajahnya untuk kesekian kalinya hari ini. Sempat melamun melihat cincinnya, Elizia buru-buru menyadarkan diri lalu kembali bertugas membuat sarapan.

Elizia sangat gembira pagi ini. Sampai saat ini ia masih belum bisa percaya dengan kejadian yang semalam itu. Seorang pejabat melamarnya. Seorang pejabat! Oh, bagaimana Elizia bisa percaya semudah itu? Ini benar-benar sebuah mimpi indah yang telah menjadi kenyataan! Ia ingin cepat-cepat memberitahukan berita yang membahagiakan ini, secepatnya!

Setelah waktu yang ia tunggu dengan tidak sabaran itu telah tiba, Elizia segera melesat ke kamar Raven. Belum juga ia mengetuk dengan sopan seperti biasanya, ia sudah masuk dengan lincah. "Raven!" serunya begitu tiba di samping ranjang singlenya.

Raven bergeming. Tidak ada tanda-tanda Raven pura-pura tidur, tapi masa bodoh dengannya. Elizia yang saking gembiranya itu dengan cepat menyibak selimut dan langsung memeluk Raven dengan erat, mengejutkannya.

"Hei, apa-apaan ini?!" pekik Raven benar-benar terkejut setengah mati. "Kenapa kau memelukku?" lanjutnya lagi setelah berhasil menjauhkan diri dari Ibunya.

"Mama dilamar, Ven!" Elizia menguncang-guncang lengan Raven saking senangnya. "Mama dilamar oleh pejabat itu, Paman itu! Mama akan menikah lalu jadi Nyonya, Ven!"

Nyonya.

Raven mengerutkan keningnya. Ternyata menjadi seorang Nyonyalah yang membuat Ibunya begitu bahagia. Tentu saja. Dengan menjadi Nyonya, ia tidak perlu lagi cuci piring, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Ia hanya perlu duduk santai, ikut arisan, lalu hanya bersuara dan seluruhnya akan disiapkan. Ya, hanya hal itu yang didambakan oleh semua orang, terutama perempuan.

Mendapati anaknya yang hanya diam saja, Elizia mulai merasa aneh. "Raven?" panggilnya tak lama diam. "Kamu kenapa?"

Raven menengadahkan kepalanya sejenak lalu kembali menunduk sembari menggeleng. "Tidak ada apa-apa," jawabnya. Hanya itu yang keluar dari mulutnya lalu ia kembali berbaring ke kasurnya. Kali ini giliran Elizia yang mengerutkan keningnya.

"Hei, sudah waktunya sekolah, kenapa tidur lagi? Ayo b—"

"Mataku sedang kabur berat, aku bolos saja," ucapnya pelan lalu membenamkan diri ke dalam selimutnya.

Mendapatkan reaksi anaknya, Elizia hanya bisa mendesah lalu keluar, tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. Ia melangkah kembali ke dalam dapur dengan lesu. Ia tidak ada niat untuk membuat sarapan lagi. Kesenangan yang berlebihan itu sudah menghilang entah ke mana.

Elizia mendesah lagi dan kali ini lebih panjang. Ia mengira begitu mengabarinya, reaksi Raven pastinya akan senang atau setidaknya menyelamatinya. Tapi kenapa bisa ia bertingkah seperti tidak mendengarnya sama sekali? Apa dia tidak mendengarnya? Itu tidak mungkin, sebab Elizia sudah histeris begitu saat menyampaikannya. Atau jangan-jangan dia sudah tahu? Bagaimana dia bisa tahu kalau begitu? Elizia benar-benar tidak mengerti.

"Pagi."

Terkejut oleh suara sapaan yang begitu mendadaknya, Elizia hampir saja menjatuhkan piring yang digenggamnya. Buru-buru ia menoleh ke belakang setelah berhasil menangkap piring tersebut. "A, ayah?" serunya panik. "Se, selamat pagi," lanjutnya bersapa dengan kaku, belum sempat menenangi dirinya.

Erdi yang menatapnya dengan bingung hanya duduk di kursi lalu membuka tudung saji menatap sarapannya, seperti biasa. "Air," ucapnya tak lama kemudian lalu dengan cekatan diberikan oleh Elizia kepadanya apa yang ia minta itu.

Erdi meminum air itu dengan pelan dan Elizia menatapnya. Elizia belum memberitahukan berita itu kepadanya. Raven tidak memberi reaksi, bagaimana dengan Ayahnya? Ia penasaran. "Ayah."

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang