Chapter 7 Part 4

3.6K 202 7
                                    

Raven tidak bisa berhenti menghentakkan sepatunya. Tatapan matanya juga terus mengarah keluar gedung bioskop, seolah mencari sosok seseorang lalu kembali menoleh ke arah toilet yang berdiri di sampingnya. Ia berkeluh kesah sedaritadi, sangat tidak bisa tenang.

Lama banget sih! batin Raven sungguh kesal. Sudah 10 menit ia berdiri di sana menunggu Sylva yang masuk ke dalam toilet setelah film yang super membosankan itu berakhir, yang berarti sudah selama itu ia ketinggalan jauh dari sosok Ibunya! Inginnya ia terus membuntuti mereka berdua itu dengan ketat, namun nyatanya pasangannya itu malahan minta ke WC, dan sampai sekarang tidak keluar-keluar juga. Sungguh frustasi!

Untungnya sebelum Raven mengamuk jadi-jadian, Sylva sudah selesai. "Maaf lam—"

"Terlalu lama!" Setelah bentakan yang keras itu, tanpa memberi Sylva kesempatan bahkan hanya untuk terkejut saja, Raven sudah keburu menariknya lalu berlari keluar dari gedung tersebut seperti akan ada banjir bah.

Sylva yang terlambat untuk sekadar terkejut itu hanya bisa berteriak kebingungan. "Hei, kita mau ke mana, Ven?!"

Raven tidak menghiraukannya. Ia terus berlari secepat mungkin sembarang arah, ke tempat yang kemungkinan akan mereka lewati. Namun sayang sekali tidak ada. Ia benar-benar sudah kehilangan jejak.

"Raven!!"

Kali ini Raven berhenti. Dengan wajah yang datar dan tenang ia menoleh ke arah Sylva, yang keadaannya sekarang sangat berbeda total dengan Raven, berkeringat dan ngos-ngosan kecapean. "Apa?" tanyanya pelan.

"Kenapa lari-lari sih? Emangnya kita mau ke mana?" tanya Sylva setelah menstabilkan napasnya. Ia sungguh kebingungan dengan Raven hari ini. Tidak ada angin tidak ada badai, tiba-tiba ia mengajaknya nonton, setelah itu diajak marathon malam, di tengah-tengah mall lagi. Benar deh, apa dia makan salah obat?

Raven kehabisan akal. Ia tidak tahu harus menjawab apa, karena kalau ia menggeleng, ia tahu Sylva pasti memaksanya untuk menjawab. Ia harus mengganti topik. Ia menoleh ke kanan dan melihat sebuah restoran. Iya, betul, makan.

"Aku lapar. Ayo makan." Hanya sepatah dua kata begitu, Raven pun menariknya lagi memasuki restoran mini itu. Inginnya Sylva mengatakan kalau ia tidak suka makanan padang begitu. Tapi tahu Raven itu cuek, mau tidak mau ia pasrahkan diri ditarik masuk. Sudah nasibnya menyukai pria dingin sepertinya.

***

Elizia deg-degan. Ia tidak bisa berhenti mengganti posisi duduk saking tidak tenangnya. Ia merasa takut campur kagum. Ini pertama kalinya ia berada di tempat seperti ini, restoran bintang lima.

"Tenangkan dirimu, Eliz."

Elizia menengadahkan kepalanya menatap pria yang duduk di hadapannya sekarang. Rion yang berbusana casual tapi berkelas itu tersenyum penuh seri padanya. Ia membalasnya dengan senyuman yang kaku.

"Ini pertama kalinya kamu makan di sini, ya?" tanyanya lagi dan Elizia mengangguk dengan kikuk.

"Aku sekalipun tidak pernah bermimpi akan duduk di sini, Ri," jawabnya malu-malu. Terdengar gelak tawa kecil Rion setelah itu.

"Kamu akan sering duduk di sini, Liz," ucapnya pelan. Elizia yang mendengarnya ingin sekali bertanya maksud dari ucapannya itu yang tidak ia mengerti, tapi sayangnya ia tidak jadi karena makanan pesanan mereka sudah tiba.

Setelah pelayan menyusun makanan pesanan mereka dengan gesit dan teratur lalu memohon diri untuk pergi, mereka berdua pun mulai untuk makan, menunda percakapan mereka. Tapi baru saja Elizia hendak memotong steak dengan pisau yang ada di tangannya, tiba-tiba Rion menahan tangan Elizia. "Ada apa?" tanyanya wajar.

Bukannya menjawab, Rion yang matanya tertuju erat ke makanan Elizia mulai menggunakan garpunya lalu menyapu sedikit demi sedikit susunan wortel yang ada di samping makanan sebagai penghias dan berhenti setelah sapuannya yang keempat kali. Terlihat sebuah benda hitam di sudutnya. Seekor lalat.

Kening Rion berkerut. "Kenapa bisa ada lalat di dalam makanan ini? Apa benar ini restoran bintang lima? Aku tidak bisa percaya. Pelayan!" Rion terus memanggil pelayan berkali-kali, tapi tidak ada respon. Kesal dengan pelayanan yang sungguh berkelas rendah ini, Rion pun bangkit dari tempat duduknya dan berlalu pergi. Ia memutuskan untuk memanggil mereka sendiri.

Elizia menatap kepergian Rion dalam diam. Setelah kehilangan sosok Rion, Elizia kembali menatap ke piringnya, ke lalat tersebut dan mengamatinya. Lalat itu sudah mati, dengan tubuh yang masih utuh tiada darah, terbaring di sudut piringnya. Wajah Elizia datar tidak berekspresi. Tanpa bersuara, ia menggunakan pisaunya dan mendorong jasad lalat itu mendekat.

Wajah Elizia masih datar. Matanya yang menatap lekat lalat itu tidak berkedip sama sekali. Bahkan sepertinya ia tidak bernapas. Dengan napas yang tertahan dengan sendirinya, Elizia mengambil garpu yang tadinya terletak di samping piring lalu menusuk kepala lalat itu dengan kuat. Setelah kepala lalat itu tertancap dan diam di tempat, Elizia menggunakan pisaunya, memotong tubuh lalat itu satu persatu, sampai berlapis-lapis.

Tak sampai 5 detik berikutnya, Elizia menyelesaikan aksinya dengan meletakkan garpu dan pisaunya ke tempat semulanya di samping piring. Ia masih terdiam, tatapan tertuju ke lalat. Di dalam kesendirian masih belum ada tanda-tanda kehadiran Rion, tanpa sadar tangan Elizia mulai bergerak lagi. Dengan perlahan ia mengambil salah satu potongan tubuh lalat itu lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, menggigitnya, menelannya.

Elizia mengulang perbuatannya sampai lalat itu benar-benar habis ia telan semuanya. Ketika ia selesai menghapus bekas potongan-potongan kaki juga sayap dari piringnya itu dengan serbet, Elizia baru mendengar suara langkah, yang kemudian disertai dengan suara bentakan.

"Akan kubuktikan ucapanku itu, ayo kemari." Elizia yang sudah menoleh ke belakang itu melihat Rion yang terbakar emosi menarik-narik seorang koki mendekat. Ia mengambil piring tersebut ketika ia sudah berdiri di samping Elizia, lalu menunjukkan ke depan koki itu. "Lihat. Lihat apa yang ada di sini, lihat!"

Koki itu terdiam cukup lama dengan wajah yang terlipat-lipat, kebingungan. "Ada apa dengan hidangan ini, Tuan?" tanyanya keheranan, tapi semakin membuat Rion mengamuk.

"Kamu buta apa? Memangnya kamu tidak bisa melihat apa yang ada di sini? Ada lalat!" sembur Rion keras sambil menunjuk bagian yang ia temukan lalat tadinya. Dan aneh baginya, koki itu semakin kebingungan.

"Tapi tidak ada apa-apa di sana, Tuan!"

"Apa katam—"

Rion terdiam. Begitu ia kehilangan sosok hitam kehijauan yang terbaring di sudut piring itu, ia juga kehilangan kata-katanya. Kedua matanya terbelalak lebar, sangat lebar. Ada apa ini?

"Ke mana perginya lalat itu?" tanyanya dengan refleks mengarahkan tatapannya ke Elizia, satu-satunya saksi mata di sini.

Elizia terdiam cukup lama, dengan wajah yang datar, kebingungan, keheranan.

"Aku tidak tahu."

*********************************************************************************

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang