Chapter 11 Part 2

3.2K 178 9
                                    

TRRAAKK !!

Terdengar suara hentakan dokumen yang terhempas kuat ke meja berlapis kaca. Orang yang berdiri di hadapan pelaku lemparan itu terkejut karena suara tersebut tapi berusaha menutupinya dengan menunduk, sedangkan pelakunya itu sekarang sedang menatap bawahannya dengan murka.

"Tulisan apaan itu? Kertas berisi cakar ayam tidak berguna itu kau sebut dengan dokumen? Jangan bercanda! Ulang semuanya dari awal! Jangan coba-coba untuk pulang sebelum berkas itu selesai, keluar!"

"Ba, baik, Pak," ucap karyawati itu pelan dan rada takut-takut dengan amukan bossnya, sampai tangannya yang terulur untuk memungut kertas-kertas dokumen itu bergetar hebat. Setelah menyelesaikan pemungutan kertasnya dengan cepat, ia segera memohon diri keluar dari ruangan bossnya secepat mungkin. Ia memang sempat ketakutan, tapi begitu tiba di luar, karyawati itu langsung merubah rautnya, bahkan mulutnya sudah mulai berkomat-kamit menjelekkan atasannya. Hal yang biasa terjadi itu tertangkap oleh Erdi.

Setelah insiden semalam di mana cucunya ... anak lelakinya itu melarikan diri, meninggalkan Ibunya menangis semalaman dan dirinya emosi habis-habisan, Erdi benar-benar lesuh hari ini. Meski ia masih penuh dengan amarah tertahan, ia merasa dirinya sangat lemah karena kekurangan tidur juga karena kebanyakan berteriak. Ingin rasanya ia cepat-cepat pulang dan tidur, melupakan segala masalah yang terjadi itu. Sayangnya, bukan lagi marah, Erdi yang sekarang justru merasa sangat takut. Bossnya, lain tak lain adalah Rion, si mempelai pria yang kehilangan mempelai wanitanya, sedang melampiaskan kekesalannya kepada karyawan-karyawannya.

Sudah sekitar 5 jam Erdi duduk di meja kantornya, dan sekiranya sudah ada empat puluhan karyawan yang dipanggil dan dimarahi habis-habisan dan alasannya bermacam-macam, sampai Erdi pun bingung darimana ia bisa mencari masalah sebanyak itu. Dan yang Erdi takutkan, ia masih belum dipanggil. Ia takut ia akan dipanggil beberapa saat la—

Tiba-tiba telepon yang terletak di atas mejanya itu berdering kuat mengagetkannya, juga menakutkannya. Bagaimana tidak, sedangkan itu adalah telepon khusus dari seorang Direktur untuk memanggil bawahannya berbunyi? Mau tidak mau, Erdi harus mengangkatnya dengan hati terberat. "H, halo?"

"Datang ke ruanganku sekarang juga," ucap Rion singkat, jelas, dingin, dan ditutuplah sudah telepon itu. Erdi menghela napas rendah. Ia tidak tahu ia akan dihadapi dengan masalah apa. Meski keberatan, Erdi akhirnya bangkit juga dari kursi kantor berodanya dan melangkah menuju ruangan bossnya yang hanya di sebelahnya.

Erdi membuka pintu setelah mengetuknya pelan. "Anda memanggil saya, P—"

"Singkat kata, mulai hari ini saya memecat Anda, Pak Erdianto."

Erdi membeku. Belum juga ia masuk ke dalam ruangan tersebut, kata-kata yang paling ia takutkan untuk didengar langsung dengan mudah keluar dari mulut bossnya. Tidak, tidak. Ia pasti salah dengar. Ini tidak mungkin. Dengan langkah yang sigap Erdi berjalan ke hadapan bossnya itu. "Boleh Anda ulangi?"

Rion yang tadinya sedang membaca berkas pun menengadah kepalanya sejenak dan melepaskan kacamatanya. "Seperti yang saya katakan tadi, mulai hari ini Anda saya pecat."

Tepat setelah Rion siap berkata, Erdi langsung membanting meja dengan keras dan kuat. Lelucon apa-apaan ini? Seenak saja memecat, Erdi tidak terima! Ia melebarkan matanya melotot tajam bossnya yang sekarang terlihat agak terusik karena bantingan tersebut. "Apa maksud Anda memecat saya dengan mendadak begitu? Apa salah saya?"

"Mudah saja." Rion meletakkan kacamatanya dengan pelan di samping mouse komputernya. "Anda sering telat, sering memarahi karyawan tanpa sebab, sering istirahat lebih dari jam yang ditentuka—"

"Apa itu bisa dijadikan alasan untuk memecatku?!" serunya keras disertai dengan bantingan yang kuat lagi ke meja. Ini benar-benar lelucon! "Saya jauh lebih tua dari Anda, Pak. Sudah tentu gerak saya melambat seiring bertambahnya usia! Lagipula karyawan kita banyak yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun, harusnya Bapak sendiri juga menyadarinya setelah memarahi karyawan sebanyak itu! Kalau Anda memang ingin memecatku, pecat saja langsung! Jangan masuki juga masalah pribadi Anda ke kantor dan memecatku karena anakku menolakmu!"

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang