Chapter 4 Part 2

4.9K 241 1
                                    

Kesal!

Dengan keras Erdi menghentakkan kakinya ketika ia keluar dari kereta tumpangannya lalu melangkah dengan cepat. Ia tidak peduli sudah menabrak beberapa orang yang berpapasan dengannya, ia terlalu kesal!

Raven!

Bocah itu, berani-beraninya! Padahal malam itu, ia sudah bermaksud melanjutkan kembali pelampiasannya itu, tapi siapa sangka, bocah sialan itu muncul pula di sana, tidur di samping Elizia! Erdi masih bisa mengingatnya, bagaimana tatapan mata anak itu ketika menatap dirinya yang membuka pintu itu, tatapan membunuh! Di kegelapan yang pekat itu, bisa terlihat dengan jelas matanya yang melotot lebar dan tajam itu menatap lurus ke arah Erdi. Sebenarnya itu bukan apa-apa dan biasa saja. Tapi yang membuat Erdi kesal setengah mati sekarang adalah kenapa bisa ia tidak melakukan apa-apa, justru keluar dan membiarkan mereka berdua di dalam sana? Seharusnya ia mengusir Raven, tapi ia tidak melakukannya!

Erdi semakin kesal memikirkannya, sampai menggertak-gertak giginya saking tidak bisa menahan kekesalannya. Mungkin saja ia akan menghajar seseorang saat ini juga kalau saja ia belum tiba di kantornya. Begitu melihat bangunan kantor industri tempat kerjanya sudah berdiri di hadapannya, dengan sendirinya kekesalan yang melambung tinggi itu terkunci di dalam hatinya. Dengan langkah yang mantap ia berjalan masuk ke dalamnya.

"Selamat pagi, Pak."

Masing-masing orang yang berpapasan dengan Erdi, langsung dengan sopan menunduk dan memberi salam kepadanya. Erdi juga demikian membalas mereka, tapi dengan kaku. Ia hanya menunduk dan melangkah dengan cepat menuju ruangnya. Ia bergerak dengan cepat. Ia tidak bisa menahan lagi, harus segera tiba di ruangannya!

Begitu tiba di sana, ia langsung menghempaskan dirinya di bangkunya dan melempar tasnya ke lantai. Kesal! Seluruh kekesalannya muncrat kembali lagi. Ia kembali menggigit bibirnya sungguh kesal. Ia tidak mampu berpura-pura terus selama ini. Bisa-bisa ia gila!

Entah berapa lama ia duduk diam menggerutu sendiri melampiaskan kekesalannya, perasaan Erdi akhirnya normal kembali. Barang-barang yang sempat ia serak itu ia susun kembali ke tempatnya lalu mulai mengecek dokumennya. Banyak juga pekerjaan yang harus ia kerjakan hari ini. Setelah selesai memastikan pekerjaannya hari ini, ia pun keluar dari ruang kantornya, menyurvei sekalian mencari data.

2 jam sudah berlalu ketika ia keluar dari ruangannya dan sekarang Erdi hendak kembali lagi untuk mengerjakan dokumennya. Namun di tengah jalan, ia yang melihat sekelompok orang sedang berbincang langsung menyembunyikan diri di balik tembok koridor ketimbang membubarkan mereka. Ia tahu mereka pandai bergosip dan dengan refleksnya pun ia langsung ingin mendengar.

"Hei, hei, kalian tahu gak?" tanya seseorang yang tidak Erdi ketahui wujudnya, tidak pula mengenali suaranya karena saking banyaknya karyawan.

"Apa? Apa?" tanya yang lain antusias.

"Katanya, Pak Sudion pensiun lho!"

DEG.

Sebuah pengumuman yang entah benar atau salah itu telah mengejutkan fisik juga batin Erdi. Mata terbelalak lebar tak mampu menahan luapan keterkejutannya. Apa dia tidak salah mendengar? Pak Sudion pensiun? Apa itu tidak salah?

"Pak Direktur pensiun? Yang bener? Jangan bohong, akh!" sahut seseorang mewakili pertanyaan Erdi. Ia kembali menajamkan pendengarannya untuk mengetahui jawaban yang pasti dan akurat.

"Tentu saja, mana mungkin aku bohong. Aku punya antena tertinggi di sini!" jawabnya lagi dengan suara yang tinggi menyombongkan diri.

"Serius dong! Kalau memang benar Pak Direktur mau pensiun, siapa yang akan menggantikan posisinya?"

Setelah pertanyaan itu, mendadak keadaan menjadi diam dan sunyi. Bisa terbayang si penyebar gosip itu sedang berpikir, Erdi hanya tersenyum di saat itu. Sebab di dalam benaknya, ia sudah punya jawabannya, dan itu adalah di—

"Aku ingat! Penggantinya nanti adalah sepupunya yang baru saja lulus S2 dari Amerika itu!"

Sekali lagi jantung Erdi berdetak sangat keras. Ia kembali terkejut lagi oleh jawaban tersebut, dan kali ini tidak hanya terkejut, ada rasa kesal. Kekesalan yang sangat mendalam, sangat geram.

Sepupu? Dia akan memberikan ahli perusahaan ini kepada sepupunya? Sepupunya yang baru lulus S2? Ia dengan ikhlasnya memberikan perusahaan ini kepada orang baru, sedangkan ia melupakan Erdi yang selalu diperlakukan seperti budak ini setiap hari dan paling parahnya di hari Jumat? Erdi yang selalu direndahkan meski berpangkat manajer ini ditelantarkan? Apa-apaan ini?

Hampir saja Erdi hendak keluar dari tempat persembunyiannya lalu membentaki mereka kalau saja ia tidak mendengar sebuah suara, sebuah pertanyaan,

"Lalu bagaimana dengan Pak Erdi? Bukannya dia yang paling dekat dengan Pak Sudion?"

Entah siapa orang yang bertanya itu, tapi di dalam benak Erdi, ia sangat berterima kasih padanya. Karena menurut pandangan orang itu, Erdi memiliki kemampuan untuk menggantikan posisi Pa—

"Kalau dia sih, tidak mungkin."

DEG.

Detakan jantung kali ini adalah detakan yang paling keras dan paling kuat. Kedua matanya juga terbelalak sangat lebar. Apa yang mereka ucapkan itu? Erdi tidak bisa mempercayainya.

"Kenapa tidak?" tanya orang itu kembali.

Terdengar suara kekehan yang pelan. "Kamu itu orang baru makanya kamu tidak tahu. Sebenarnya, Pak Erdi itu orangnya sangat menyebalkan!"

DEG.

"Dia sangat sok jago. Mentang-mentang dia manajer, tapi pandainya hanya mengatur dan kata-katain orang lain. Pak Direktur saja pernah bilang kalau beliau juga kurang suka dengan tingkahnya yang sok muda itu. Sepertinya dia itu tidak tahu kalau dirinya dipertahankan lama hanya karena faktor usianya."

"Apa benar separah itu?"

"Tentu saja. Kami semua sangat ingin dia dipecat, sedini mungkin."

"Atau setidaknya mengundurkan diri sendiri deh."

"Dan selain itu, dia itu orangnya ...."

Erdi bergerak. Ia tidak ingin mendengar lagi. Meski memakan banyak waktu, ia memilih untuk mengambil jalan putar untuk kembali ke dalam ruangannya. Inilah sebabnya, kenapa Erdi tidak pernah bisa hidup tenang. Padahal ia sudah mengabdikan jiwa raganya kepada perusahaan ini, tapi balasannya? Setiap hari ia harus mendengar cemooh-cemooh orang lain tentang dirinya. Tidak hanya itu, atasannya juga tidak menghargai usahanya, malahan berusaha untuk selalu mempermalukannya dan mengerjainya dengan segala tindakan yang aneh dan konyol. Namun menurut gosip, memang ia tidak perlu mengabdi lagi kepada Direktur sinting itu, tapi ia harus mulai mengabdi kepada seseorang yang masih hijau darinya, yang parahnya lagi, itu adalah sepupunya. Mereka sekeluarga, berarti sikap mereka pun nantinya tidak akan berbeda jauh. Diam-diam Erdi membuang napas.

Menyebalkan.

*********************************************************************************

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang