Chapter 4 Part 1

5.3K 258 2
                                    

Elizia membuka matanya dengan pelan. Bingung sejenak dan ia langsung tersontak bangun. Ia mengamati dirinya, masih berpakaian lengkap, tidak ada luka baru. Dengan cepat ia menoleh ke sampingnya ketika menyadari ada seseorang di sana, dan ia langsung menghela napas. Lega. Dia Raven. Orang yang tertidur di sampingnya itu Raven. Ternyata memang benar, ia tidak bermimpi semalam. Ia benar-benar bisa tenang sekarang.

Elizia merangkak mendekati Raven lalu menggoyangkan lengannya pelan. "Raven," panggil pelan. "Ayo bangun, sudah pagi."

Seperti biasanya, Raven yang masih ngantuk itu pasti akan mengerang lalu membalikkan tubuhnya. "5 menit lagi," gumamnya pelan.

Tahu ia bakalan tidur lama kalau tidak segera dibangunkan, Elizia mulai menggoyangkan badannya kuat. "Ayo bangun, anak bandel!" candanya sambil tersenyum lebar, menyenangkan. Raven pun bangun tak lama kemudian.

"Argh! Aku bilang 5 me—"

Seruan Raven yang kesal itu mendadak berhenti, lantas wajahnya yang terlipat karena ngantuk itu langsung tersentak kaget dengan kedua mata yang melebar. Namun itu hanya sekilas dan tak lama kemudian ia kembali berwajah dingin lagi, atau lebih tepatnya sebal seraya memalingkan wajahnya ke tempat lain. Elizia merasa aneh padanya.

"Kenapa, Ra—"

"Hobimu sangat buruk."

Setelah ucapannya yang singkat itu, masih dengan wajah yang sebal–cemberutan-dan sedikit memerah Raven segera bangun dan keluar dari kamar tersebut. Untuk sesaat Elizia masih tidak mengerti sama sekali, sampai ia berdiri menghadap cermin, melihat pantulan dirinya. Dalam sedetik kemudian wajahnya sudah memerah padam, dilanjutkan dengan pekikan tertahan.

Ia lupa. Ia benar-benar lupa. Ia sedang mengenakan baju tidur yang sangat tipis, sehingga terlihat sangat jelas olehnya pusarnya itu, celana dalamnya dan juga kedua da— KYA!

Secepat kilat Elizia berlari ke dalam kamar mandinya, segera menghilangkan sosok yang memalukan itu dari dirinya.

***

Masih dengan jantung yang agak berdebar saking malu, Elizia terus salah tingkah di hadapan Raven, dan ia sendiri merasa aneh. Padahal Raven adalah anaknya sendiri, kenapa pula ia bisa merasa semalu ini? Apa karena dia laki-laki?

Dengan tubuh yang membelakanginya, Elizia diam-diam melirik Raven. Anaknya itu tetap seperti biasa, dengan pakaian olahraganya, berwajah datar sambil makan roti panggang. Melihat wajahnya itu memberi kesan kalau kejadian tadi itu hanyalah angin berlalu belaka, tidak ada istimewanya. Sial, Elizia merasa kesal karena hanya dia sendiri yang menanggung malu, sedangkan tersangka lainnya itu tenang-tenang saja.

Mungkin saja Elizia akan terus merasa kesal campur malu kalau saja ia tidak mendengar suara gesekan kursi yang lumayan mengagetkannya. Ia segera menoleh dan mendapati Erdi sudah duduk di sana. Tanpa bisa dicegah ia merasa takut melihat Ayahnya, tapi entah kenapa yang muncul di wajahnya adalah senyuman yang hangat.

"Selamat pagi, Ayah," ucapnya seraya meletakkan sepiring roti panggang di hadapannya. "Sarapan hari ini roti panggang."

Biasanya Erdi selalu mengangguk setiap Elizia memberitahukan menu sarapan pagi. Tapi anehnya, kali ini ia tidak melakukannya. Ia juga tidak langsung memakannya sebagai gantinya. Ia hanya menatap Raven melalui sudut matanya, tatapan yang sangat tajam serasa ingin membunuh. Sedangkan Raven hanya menikmati makannya saja, tidak ingin menggubrisnya.

"Ada apa?" tanya Elizia yang menyadari kejanggalan pagi ini.

Erdi tidak menjawab, justru ia mengambil dua potong roti panggang lalu bangkit dari kursinya, berjalan pergi. "Aku berangkat." Hanya itu yang keluar dari mulutnya dan sosoknya pun berlalu pergi. Elizia semakin kebingungan menyadari suasana yang dingin ini.

"Ada apa dengan Kakekmu?" tanyanya lagi kali ini kepada Raven. Ia juga terlihat sangat cuek dengan meminum susunya cepat.

"Biarkan saja." Raven mengelapi bibirnya yang berbekas susu itu dengan punggung tangannya lalu bangkit berdiri seraya menenteng ranselnya dengan sebelah pundak. "Aku berangkat," lanjutnya pelan lalu ikut berlalu juga.

Elizia benar-benar kebingungan. Tapi ia tidak ingin terlalu peduli lagi, sebab mereka berdua selalu dingin dan cuek. Jadi, daripada stress memikirkan mereka, Elizia memutuskan untuk tidak menghiraukannya saja lalu masuk ke kamarnya. Ia harus bersiap-siap sekarang.

**********************************************************************************************

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang