Chapter 4 Part 5

4.6K 221 0
                                    

Age: 22 tahun

"Sylva sayang, ayo cicipi masakan ini."

Tanpa ada rasa menolak, Sylva langsung mengambil sendok yang tersedia lalu menyantap makanan yang terpampang di hadapannya, sebuah sup jagung. "Enak!" serunya setelah menelan suapan ke-tiga. "Masih tetap nilai sempurna, Ma!"

Wanita dewasa berambut coklat pendek sebahu dan bergelombang itu hanya menyengir lebar mendengar jawaban anaknya. "Tentu saja, Mama kan koki paling hebat sedunia," ucapnya agak berlebihan lalu mengecupi pipi Sylva.

"Ajari Sylva masak sup ini dong, Mama!" Sylva yang hendak menggenggam kedua tangan Mamanya pun ditepis dengan pelan.

"Tidak boleh," ucap Mamanya seraya menyentil hidung kecil Sylva. "Kamu adalah anak koki, jadi kamu harus berkreasi sendiri dan mengalahkan Mama."

Sylva memang sempat cemberutan karena tolakannya, namun itu hanya sejenak dan sekarang sebuah senyuman yang lebar terhias di wajah gadis kecil itu.

"Baiklah, Sylva akan menjadi koki yang hebat dan mengalahkan Mama kelak!"

***

Air mata terus mengalir tanpa bisa dihenti. Sekuat apapun Sylva berusaha menahannya, air mata itu tetap keluar beserta dengan memori-memori tentang mendiang Ibunya. Tidak bisa menahannya, ia hanya bisa berhenti berlari lalu lanjut menangis di balik gedung sekolah.

Ini menyebalkan. Padahal Sylva sudah bertekad untuk menerima kenyataan Ibu tersayangnya itu telah meninggal dunia. Namun tidak bisa dimungkiri, kalau sampai saat ini ia masih diam-diam memikirkan Ibunya, apalagi sejak diadakan lomba memasak ini, ditambah dengan adegan yang baru saja terjadi. Kenangan demi kenangan tentangnya dengan Ibunya itu terpancing dan terus bermunculan bersamaan dengan emosinya. Seluruh kenangan tentang Ibunya yang menjelaskan cara memasak teringat kembali. Ia ingin melupakannya, tapi tetap tidak bisa. Karena itu, ia hanya bisa menangis sekarang, memikirkan betapa malangnya nasib Ibunya itu.

"Berisik."

Sylva yang tenggelam dalam kenangan dan tangisan itu tersentak kaget begitu mendengar suara tersebut. Ia tidak terkejut karena suara tersebut, melainkan terkejut karena menyadari ada seseorang yang berada di sini selain dirinya, menyadari dirinya sedang menangis dengan pilu.

Sosok yang terganggu oleh isakan Sylva pun pelan-pelan bangkit dari rebahannya di bawah pohon rindang itu. Wajahnya, pria itu terlihat sangat kesal. "Siapa yang bera—"

Belum juga ucapan itu selesai diucapkan, dengan sendirinya pria itu terdiam lalu melebarkan kedua matanya menatap Sylva. Sebuah cengiran yang lebar terhias di wajahnya kemudian, sedangkan Sylva hanya menatapnya dengan jijik. "Hai, Va," lanjutnya mengubah intonasi yang kasar tadi menjadi lembut seraya mendekatinya.

"Kenapa menangis? Ada yang mengganggumu?" tanya pria itu lagi semakin melembut. Ia menjulurkan tangannya berniat menyentuh pipinya, namun Sylva sudah menghindar terlebih dulu.

"Jangan mendekat!" seru Sylva keras masih dengan suara yang serak, belum bisa berhenti dari isakannya. Namun bukannya menuruti ucapannya, pria itu justru semakin mendekati dirinya, bahkan kali ini sudah memeluknya erat.

"Kenapa kamu selalu menghindar dariku? Padahal aku mencintaimu setu—"

"Lepaskan Sylva, jerk!"

Sebelum pria itu mendapatkan kesempatan untuk mengecupi Sylva, seseorang dengan kuatnya mendorong pria itu menjauh. Sylva memang terkejut, namun sebuah senyuman yang bahagia melebar di wajahnya.

"Raven!"

"Kamu baik-baik saja?" tanya Raven datar padanya dan Sylva mengangguk dengan cepat. Mendapat jawabannya, Raven pun tidak lagi mau mempedulikannya, melainkan kali ini menatap pria yang sudah berdiri itu dengan geram.

"Jerk?" Pria itu meludah ke rumput liar sebelahnya. "Berani sekali kamu memanggilku seperti itu. Apa jetosanku yang kemarin itu masih belum cukup?"

Raven yang biasanya selalu terpancing emosi, dengan langkanya kali ini tenang-tenang saja, bahkan terkesan cuek. "Aku tidak serius denganmu waktu itu, jadi sebaiknya kamu jangan merasa bangga. Lagipula aku tidak membalasmu sama sekali waktu itu, bahkan membiarkanmu menghajar mataku. Jadi sudah jelas aku hanya main-main denganmu."

Kebalik dengan Raven, pria itu justru terbakar oleh emosi karena terpancing oleh ucapannya yang begitu merendahkan dirinya. "Gak perlu bohong deh. Bilang saja kamu itu memang lemah dan tidak bisa balas menghajarku sama sekali. Tak perlu pura-pura hebat!"

"Tidak, aku tidak pura-pura kok," sahut Raven masih dengan tenangnya. Ia mulai membunyikan buku-buku jarinya kemudian berkuda-kuda. "Atau kita ulangi lagi pertarungan kita?"

"Dasar bre—"

"Sudah, hentikan!" Belum juga pria itu sempat melancarkan sebuah serangan, Sylva sudah terlebih dulu berdiri di depan Raven, menyela di tengah-tengah mereka dengan wajah yang sangat serius. "Ada apa sih dengan kalian berdua? Kenapa setiap ketemu selalu saja bertengkar? Tidak bisakah kalian bertingkah lebih dewasa? Ini terlalu kekanakan!"

Mendengar ucapan Sylva, kedua pria itu serentak menurunkan tangan berhenti berkuda-kuda, lantas saling menatap dengan tatapan yang penuh kebencian. Seolah tidak puas, pria itu mengeluarkan sebuah usul. "Ok, kita tidak akan kelahi, tapi bagaimana dengan sebuah pertandingan?"

Sesuai dugaan, Raven mengerutkan keningnya agak kebingungan. "Pertandingan?" ujarnya dan pria itu mengangguk angguh sekali.

"Pertandingan lomba masak."

*************************************************************************

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang