Chapter 11 Part 1

3.4K 181 3
                                    

Alunan musik jazz keluar dari sebuah ponsel memenuhi ruangan, tepat di samping ponsel yang terletak di atas meja terdapat sebuah laptop hitam dalam keadaan terbuka. Seseorang duduk di depan laptop itu menatapnya dengan tajam dan lekat, seolah sedang melihat setumpukan emas yang ada di hadapannya. Orang itu tercenung melihat layar laptopnya yang ternyata sedang menampilkan video larangan umum, terutama anak. Orang itu sangat fokus ke adegan yang sedang dimainkan di depannya, tanpa sadar seseorang yang lain telah berdiri di belakangnya, melipatkan kedua tangannya lalu menghela napas pendek.

"Seleramu payah banget, Yo."

Bagai disambar petir, orang yang duduk di depan laptop itu–yang ternyata Tio–yang tadinya begitu antusias menonton video xxx itu langsung secepat kilat menutup layar laptop dengan kuat dan melototi orang yang ada di belakangnya dengan wajah yang merah serba salah. "Ra, Ra, Raven?" serunya benar-benar salah tingkah. "Ke, ke, kenapa kamu ada di sini?"

Bukannya menjawab, si dia, yang ternyata Raven hanya mencibir seraya membuang muka lalu kembali duduk di tempat biasanya, pintu balkon. Ia tidak terlihat ingin menggubris kesalahtingkahan sahabatnya itu. "Sesama cowok, itu bukan sesuatu yang rahasia, Yo, jadi tenang saja karena aku juga demikian. Tapi tetap saja, seleramu sama cewek sangat payah. Memangnya kamu bisa bernafs—"

"Cerewet!" Masih dengan wajah yang merah karena ketangkap basah menonton ritual dewasa, Tio yang tidak bisa menyanggah hanya bisa memukul lengan sahabatnya itu dengan kesal, yang nyatanya dibalas dengan senyuman yang lebih cibir. Inginnya Raven kemudian memejamkan kedua matanya lalu bersandar ke samping pintu, namun keinginan kecil itu tidak terkabulkan ketika ia mendengar suara Tio lagi.

"Kau nangis?"

Bukannya memejam, kedua mata Raven kali ini malah termelek sangat lebar. Apa ia salah dengar atau hanya firasatnya saja? Kenapa Tio bisa bertanya seperti it—

"Matamu bengkak, Ven. Kau nangis?"

Raven diam. ia tidak menjawab, tidak pula menoleh ke arah sahabatnya yang sudah duduk di sampingnya itu. Ia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia memilih untuk mengganti topik, jurus andalannya. "Daripada kamu buang-buang waktu berkhayal yang tidak-tidak, kenapa kamu tidak mau dekatin saja gebetanmu itu? Dia jauh lebih cantik daripada cewek yang ada di dalam laptopmu, Yo."

"Aku terpaksa, Ven, tidak ada pilihan lain lagi, semua error! Asal kamu tahu saja, kalau bisa, aku pasti bakalan cari yang lebih seksi lagi, bukannya yang hitam negro beg—"

"Iya, iya, aku tahu, aku tahu," sela Raven buru-buru sebelum Tio yang kesal itu melampiaskan perasaannya kepadanya, ia tidak bakalan terima tentunya.

Setelah itu mereka berdua sempat diam sejenak, namun sebelum Tio sempat bertanya-tanya lagi, Raven bersuara lebih dulu, "Jadi, bagaimana dengan gebetanmu? Kok rasanya aku gak pernah melihatmu mendekatinya?"

Jarang-jarang Raven bertanya banyak hal kepadanya, namun justru di saat beginilah giliran Tio yang banyak diam, terutama ketika sahabatnya itu mulai membahas soal gebetannya. Bibirnya terasa keluh bahkan hanya untuk bergerak. "Bukannya aku tak mau, tapi ..."

"Tapi?"

Tio diam. Wajahnya dengan mendadak berubah menjadi merah. Ini tidak boleh dilanjutkan atau bisa-bisa ia akan gila! "Pokoknya aku belum siap, sudah! Dan kau, apa yang kau lakukan di sini? Kau ingin mengerjaiku, begitu?" serunya cepat tanpa jeda sama sekali sambil menunjuk Raven dengan telunjuknya lekat-lekat. Tio gak sudi kalau temannya yang satu ini sengaja datang untuk mengerjainya, sungguh tidak bisa diampuni ini!

Sayangnya, Raven yang agak cerewet tadi sudah kembali menjadi Raven yang sedia kala. Raut wajahnya sudah berubah dingin, tidak ada lagi hawa humor yang keluar dari dirinya. Ia kembali menatap langit malam luar balkon dengan datar. "Aku ... mau menginap."

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang