Chapter 6 Part 1

3.9K 228 2
                                    

Raven duduk diam di kursi halaman rumahnya, dengan tatapan menuju ke tanaman-tanaman hiasnya yang melilit penuh di pagar. Di sebuah meja yang tepat berada di sampingnya, terlihat sebuah watering can yang masih ada sisa beberapa liter air di dalamnya. Ia tidak punya minat lagi untuk menyirami air tersebut hingga habis, hanya duduk diam memandang Morning Glory birunya.

"Raven," ucap seseorang menyadarkannya dari lamunan. Ia menoleh dan mendapati Elizia berdiri di sana, dengan tubuh berbalutan sweater ungu dan rok lebar panjang, seperti biasanya. Ia tersenyum tipis padanya. "Ayo berangkat."

Setelah ajakan yang singkat itu, Elizia pun melangkah pergi terlebih dahulu tanpa menunggu Raven lagi. Sebab di dalam benaknya, ia pasti akan ikut dan hal itu terbukti. Tanpa bersuara Raven sudah dengan setianya mengekori Ibunya, tidak seperti biasanya yang cuek atau tidak peduli.

Memang, hari ini tentu berbeda dari biasa dan Raven jadi penurut. Dengan melihat Ibunya mengenakan sweater ungu yang sangat jarang dipakainya, Raven sudah tahu akan ke mana mereka pergi pagi ini. Ia bahkan sudah memetik satu tangkai Morning Glory kesayangannya untuk di bawa serta.

Neneknya menyukai Morning Glory.

***

Erdi berdiri membelakangi Elizia dan Raven, di depan makam istrinya, Rosalina. Tepat di hadapan makam tersebut, terbaring satu tangkai Morning Glory, sebuket bunga melati dan sebuket mawar merah kuncup. Masing-masing dari mereka telah mempersembahkan bunga, dan Erdi mulai memimpin doa.

Tak membutuhkan waktu yang lama, mereka sudah selesai dengan prosesinya. Pada saat seperti ini, Elizia dengan sendirinya akan mengajak anaknya pergi, meninggalkan ayahnya sendirian. Ia memang butuh waktu untuk sendiri.

Tanpa ingin mempedulikan adakah kehadiran keluarganya atau tidak, Erdi mulai menitikkan air matanya. Lagi. Tahun ini, aliran matanya tidak bisa ia tahan lagi, sungguh menyesakkan.

"Ros," gumamnya tak lama kemudian dengan suara yang sangat serak, "maafkan aku."

Lagi. Setiap tahun setelah siap ziarah, Erdi selalu saja menangis dan selalu saja kata itu, hanya satu-satunya kata itu yang terucap keluar dari bibirnya kemudian ia tenggelam lagi ke dalam kesedihannya dengan isakan yang sangat kuat. Sudah tahun ke-15 sejak ia mulai berkunjung ke makam istrinya, tapi tetap saja, tabiatnya sudah tidak bisa diubah lagi. Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya.

Sebab, dialah yang membunuh istrinya.

****************************************************************************

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang