Chapter 18 Part 1

Start from the beginning
                                    

"Ada apa?" tanya Raven dengan tiba-tiba sambil memeluk Elizia dari belakang. Peluk-memeluk sudah menjadi rutinitas yang selalu mereka berdua lakukan, dengan tanpa sadar. Tak kunjung menerima jawabannya, Raven pun memutuskan untuk mengetahuinya langsung. Ada beberapa buku dan notes kecil yang berserakan di hadapan Elizia sekarang, disertai kalkulator kecil di sampingnya. Raven mengerutkan keningnya. "Sedang menghitung apa?"

Elizia kembali menghela napas untuk kesekian kalinya hari ini. Ia tidak ada mood untuk bermesra-mesraan dengannya sekarang. Sungguh tidak ada. "Ini biaya-biaya yang harus dikeluarkan bulan ini, Ven," jawabnya pelan. Ia menoleh dan menatap Raven dengan lurus. "Banyak angka minus, Ven. Rumah ini tidak punya uang lagi."

Perlahan Raven melepaskan pelukannya. Mendengar apa yang telah diucapkan Elizia, Raven pun mulai kehilangan keinginan untuk peluk-memeluk Ibunya. "Apa benar-benar tidak ada sisa lagi?" tanyanya pelan setelah cukup lama terdiam.

Elizia menggeleng sekali. Wajahnya sudah menyiratkan eskpresi yang sangat sedih. Ia bisa mendengar Raven menghela napas seperti dirinya. Ya, keadaan ini sangat aneh, jarang terjadi dan mereka tidak terbiasa. Erdi, orang yang biasanya menjadi tulang punggung rumah ini menghilang dengan tidak jelas dan tanpa sebab, membingungkan kedua orang itu yang sama sekali tidak pernah berhubungan dengan yang namanya bekerja.

"Apa aku bekerja saja?"

Raven terkesiap. Apa yang dia dengarkan tadi? Elizia ... menawarkan diri untuk bekerja?

"Tidak!" seru Raven cepat bahkan sebelum otaknya sempat berpikir apa-apa. Ia mencengkram kedua pundak Ibunya dengan kuat. "Sampai matipun aku tidak akan memperbolehkanmu bekerja di luar, sangat berbahaya!"

Raven terlihat sangat serius waktu mengucapkannya. Tentu saja. Ia masih bisa mengingat dengan jelas, bagaimana hari pertama Elizia mencoba untuk bekerja di luar sebagai penjaga toko ponsel. Bukannya bekerja dengan normal, atau mungkin terjadi peristiwa pencopetan atau penculikan, Elizia justru hampir diperkosa, oleh bossnya sendiri lagi! Raven yang diam-diam membuntuti Ibunya di hari pertama itu langsung menghajar habis-habisan pria brengsek itu, mengakibatkan dirinya disekap dalam tempat pertahanan anak nakal selama 5 hari. Pokoknya tidak ada lagi kali keduanya Elizia bekerja di luar. Lebih baik ia kehilangan nyawa daripada kehilangan Elizia!

Elizia mengerutkan keningnya, merasa Raven khawatir berlebihan, dan Raven tahu maksud kerutannya. Kalau saja dia tahu betapa Raven takut akan keselamatan dirinya, Raven ragu ia masih berani untuk menawarkan diri. Sebelum ia berkata apa-apa, Raven lekas bersuara.

"Biar aku saja yang kerja. Biar aku yang menjadi tulang punggung rumah ini!"

Kerutan di wajah Elizia semakin dalam, heran. "Kamu masih sekolah, Raven. Sebaiknya kamu fokus ke pendid—"

"Aku lebih baik berhenti sekolah daripada menyusahkanmu." Raven menatap Elizia dengan lekat. Garis-garis wajahnya sangat lurus nan tegas, menunjukkan keseriusannya. "Aku adalah laki-laki. Bekerja adalah salah satu kewajibanku sebagai laki-laki. Aku tidak akan membiarkan seorang wanita untuk bekerja menggantikan laki-laki, apalagi kamu."

Elizia terdiam. Ia tidak lagi berkomentar apa-apa, lebih tepatnya kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu. Ia tidak pernah tahu anak lelakinya yang dulu masih mungil di dalam dekapannya itu sudah menjadi pria yang begitu dewasa, begitu jantan, begitu gagah. Tanpa berkata apa-apa, Elizia pun tersenyum lebar lalu memeluk Raven dengan erat.

Ia tidak akan pernah berhenti mencintainya.

***

Pagi jam 8.

Sudah hampir satu jam berlalu sejak dimulainya pelajaran di sekolah, dan tampak Raven terduduk diam di sofa rumahnya berpakaian rapi, bukan seragam, melainkan t-shirt dan celana panjang. Ia benar-benar serius dengan ucapannya. Ia tidak pergi ke sekolah pagi ini, dan tidak akan untuk seterusnya. Ia akan pergi mencari pekerjaan.

Rage in Cage (Complete)Where stories live. Discover now