Jemari yang saling bertaut

14.5K 1K 23
                                    

-Alesha POV-

Langkah gadis itu dengan pongahnya menjauh dari rumahku, setelah meneriakkan kebencian yang sangat padaku juga pada Rayyan, pengakuan laki-laki yang kini masih menggenggam erat jemariku membuat gadis itu mengutuk semua yang telah kulakukan, seakan aku lah biang dari kerusakan keluarganya, seakan aku lah pengatur permainan itu.
Ya Rabbi, saat seperti ini aku berterimakasih Engkau mengirimkan laki-laki yang tak ada bosannya melepas jemariku, mengalirkan setiap energi untuk aku lebih kuat.

"Maafkan aku Sha."
Suara itu akhirnya kudengar.
Aku melihat matanya, pandangannya menyiratkan penyesalan.

"Kenapa meminta maaf?"

"Kenapa waktu aku bertemu Shena dan Kakaknya, aku malah mengaku sebagai saudaramu, kenapa aku tidak jujur kalo memang kita dulu dalam masa perjodohan. Sekarang kebohongan itu akhirnya berimbas sama kamu.. Ini salahku memang."
Ucap laki-laki itu dengan suara lemahnya, tidak setegas ketika menghadapi Shena.

Aku tau waktu itu, aku ingat kejadian itu dengan pasti. Saat Kak Ayaz dan Shena mampir kerumahku, dan ada Rayyan datang kerumahku juga, laki-laki itu mengaku sebagai saudaraku ketika Shena bertanya padanya. Namun, aku sadar, waktu itu aku masih menjaga hati Kak Ayaz, aku tidak mau karena kenyataan jika aku dan Rayyan dijodohkan, membuat Kak Ayaz menjauhiku dan menjaga jarak denganku. Aku mengerti maksud Rayyan waktu itu, dia hanya tidak ingin melihatku kecewa pada sikap dan jawabannya, bagaimanapun juga jika ada dalam posisinya, semua orang akan bimbang.

Aku menggeleng,
"Tidak, Ray, aku mengerti maksud kamu waktu itu tidak menjawab jujur pertanyaan Shena. Aku tau kamu pasti takut aku kecewa dan jadi membencimu. Aku yang salah, seharusnya aku sadar itu sejak dulu, tanpa melibatkan kamu dalam masalah ini."
Balasku, dia masih memandangku penuh keteduhan.

"Aku perlu terlibat dalam masalah ini, karena aku yang akan menjadi tameng saat mereka berteriak menyalahkanmu, aku imammu, yang akan melindungimu, yang akan berteriak balik lebih keras pada mereka jika sudah menyakiti hatimu."
Ucapannya menampar kesadaranku, dia tak sama sekali terlihat sedang bercanda atau pecicilan seperti biasanya. Aku menemukan jiwa seorang suami yang mengayomiku, aku merasakannya sejak dia mulai menggenggam jemariku sampai sekarang. Aku salah, persepsiku dulu salah, aku yang menganggap dia tak bisa bersikap serius, kini bahkan membuatku merinding dan ingin jatuh dalam pelukannya lebih dalam, menjauhkan semua persepsi jelekku dulu padanya, aku ingin mendekapnya bersama semua kebaikan dan rasa kasihnya yang kurasakan setelah pernikahan ini.

"Cukup dengan kamu menggenggam jemariku seperti ini, aku bisa lebih kuat menghadapi mereka."

"Tidak, bukan hanya jemarimu yang kugenggam, tapi juga pundakmu yang kurangkul. Ini belum apa-apa Sha, semua akan berjalan seiring waktu, dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapinya sendirian."
Sejujurnya, setiap ucapan yang diungkapkan laki-laki itu dengan wajah meneduhkan seperti ini, selalu membuatku bergetar, dan seakan darah tak sesempurna mengalirnya.

Seperti ucapannya, kejadian ini belum ada apa-apanya, aku yakin sesuatu akan terjadi lebih dari ini. Tapi kalimatnya lah yang membuatku menjadi semangat.

"Makasih, makasih Ray.. Aku berharap apa yang terjadi nanti, bagaimanapun keadaannya, jangan lepas genggaman jemarimu, karena hanya itu yang bisa membuatku kuat."

"Aku tidak akan melepas jemarimu, kecuali kamu yang meminta."
Aku sedikit terhenyak, apa artinya? Apa maksudnya kecuali aku yang meminta untuk melepas genggaman itu?

Kemudian senyumnya mengembang.

"Lupakan.. Kamu pasti ingat aku harus apa hari ini kan?"
Ucapnya lagi, membuatku mengurungkan niat untuk menagih pertanyaan.

Aah sudahlah, mana mungkin juga aku meminta melepas genggamannya, kalau jemarinya bertautan dengan jemariku saja membuatku ketagihan karena sudah merasukkan sedikit demi sedikit kehangatan lewat celah jemari kecil ini.
Duhai fikiranku, kenapa aku menjadi kurang waras hanya karena genggaman jemari laki-laki itu, kenapa aku terlalu lebay mengartikannya. Apa ini yang dinamakan jatuh hati? Atau menggilai? Seperti aku menggilai bintang senja? Aah Rayyan, laki-laki itu memang sudah mirip sekali dengan bintang senja.

Kesadaranku tiba-tiba kembali pada tempatnya, saat cubitan kecil mendarat dilenganku. Lelaki itu melihatku dengan bersungut-sungut.

"Kamu mikir apa sih?"
Ucapnya. Aku menggeleng cepat, tidak mungkin aku menjawab pertanyaannya, mikir apa? Mikir kamu, Rayyan. Ah, aku tau betul, rasa GR-nya nanti akan muncul dari peradaban, dan bisa gawat.
"Sudahlah, masalah yang sudah terjadi jangan difikirkan,"
Tambahnya. Aku menghembuskan nafas lega, Alhamdulillah laki-laki itu tidak sepeka yang aku kira, dan tidak semengerikan Ayah, seperti halnya yang pernah diceritakan Bunda.
"Bagaimanapun juga, aku tetap bintang senjamu."

Uuh, ini tidak baik.

"Iya, oke, mmm, kamu tidak lupa harus apa kan hari ini?"
Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Laki-laki didepanku terlihat mendengus sebal.

"Itu yang aku tanyakan tadi... Yasudah baiklah, aku pergi dulu, Ayah pasti sudah menunggu."
Ucapnya.
"Assalamualaikum."

"Walaikumussalam."
Benda hangat meluncur dengan lembut dipuncak kepalaku, tinggiku yang hanya setelinganya membuat Rayyan dengan mudah mencuri kecupan singkat itu.

"Jaga dirimu. Kalo ada apa-apa langsung hubungi aku."
Dan sudah seperti anak kecil, setelah kecupan itu, dia mengusap-usap puncak kepalaku yang masih tertutup oleh kerudung. Serasa anak manis yang ditinggal kerja oleh orangtuanya.

"Oke Ray.. Kamu hati-hati ya. Jangan ngebut pokoknya. Meskipun Ayah sudah menunggu."
Dia tersenyum membalas kekhawatiranku. Langkahnya membawanya menjauh dariku. Dan tanpa kusadari mobil sudah membawanya menghilang dari pandanganku.

Namun sebelum aku melangkah kembali kedalam rumah, terlihat seorang gadis berdiri diantara pagar rumah. Gadis dengan tubuh ramping, cantik, dan rambut yang terurai panjang, dia bukan makhluk halus, kakinya napak ditanah kok. Tapi sejak kapan gadis itu ada disana? Sejak Rayyan meninggalkan rumah? Atau Shena kembali lagi? Tapi tidak mungkin, ciri-ciri tubuhnya tidak sama.

"Siapa ya?"
Aku mencoba menyapanya.

Tapi tiba-tiba gadis itu melangkahkan kakinya mendekat kearahku, lebih dekat, dan semakin dekat.

"Tidak kenal denganku?"
Suaranya lembut namun aku merasakan ada yang berat dari ucapannya.

Kusipitkan mata, mencoba menerka wajah gadis yang ada didepanku, mencocokkan wajahnya dengan wajah orang yang ku kenal dalam memori otakku. Namun aku masih belum menemukannya.

"Kenal tidak?"
Tanyanya lagi.
Apa gadis itu tidak punya rasa sabar? Sudah menyuruhku mengingat, tidak sabar lagi nunggunya.

Aku kembali mengkorek-korek ingatanku, dan aku menemukannya, wajah sekilas yang kutemui di SMA dulu, saat gadis itu sedang, sedang, ah iya, sedang mencoba mencium Rayyan disamping ruang olahraga.
Tuhkan, aku kembali mengingat masa itu, Rayyan dulu benar-benar menyebalkan, mojok dengan gadis yang sekarang sedang ada didepanku. Untung waktu itu aku dengan sengaja melempar bola basket yang berada didekatku, dan kejadian itu akhirnya tidak terjadi, tapi naasnya tatapan tajam kudapatkan dari laki-laki itu, saat itu aku merasa sedang menginjak ekor ular king cobra, dan semburan bisanya pun mengenaiku. Oh ya Rabb, Rayyan, masa seperti apakah itu.

"Aku ingat."
Ucapku. Gadis itu tersenyum miring. Memperlihatkan kesombongannya. Sombong atas apa?

***

Hai haii, selamat malam.
Marhaban ya ramadhan🙏🙏
Btw, chapter pembuka puasa nih wkwk, buat sahur nanti ya, Ada si babang Rayyan, sama si eneng Alesha. Wueww.

Regards💕

Umi Masrifah

Bintang dibalik Senja (COMPLETE)Where stories live. Discover now