Cemburunya Rayyan

15.6K 1K 46
                                    

Alesha POV

"Bunda, Rayyan mana?"
Aku celingukan mencari seseorang yang sejak tadi pagi sudah tidak terlihat batang hidungnya. Kemana dia?

"Sekarang hanya Rayyan aja ya yang dicariin? nggak nyari Ayah kamu juga?"
Goda Bunda yang sibuk menyiapkan sarapan diatas meja, perempuan itu begitu bersemangat, begitupun aku yang membantunya. Bagaimanapun juga anggota keluarga sudah bertambah satu lagi, dan tidak mungkin Bunda menyiapkannya sendiri, lagian aku sekarang sudah menjadi seperti Bunda, seorang istri yang menjamu suaminya dipagi hari.

"Maksudnya sama Ayah juga.."
Ralatku, Bunda cekikikan mendengar ucapanku, entah kenapa rona wajahnya terlihat sangat bahagia pagi ini, dia terlihat begitu senang jika aku dan Rayyan bersatu seperti ini.

"Rayyan aja juga nggak apa-apa sayang, kan dia memang suamimu."

Suami? Bayangan insiden tadi malam membuatku berjengkit, fikiranku kembali tertuju pada kejadian itu, laki-laki itu.

Aah, kenapa sekarang aku seperti ini, menjadi tergila-gila pada laki-laki yang beberapa bulan lalu masih ku benci. Ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh beberapa orang, yang lebih memilih langsung menikah daripada pacaran, karena rasanya jatuh cinta pada ikatan itu seakan mendapat mutiara tanpa perlu susah payah membuka cangkang kerang lagi. Awalnya ini terasa begitu cepat, namun aku baru tau, secepat waktu itu, secepat itu pula aku jatuh cinta, dan aku bersyukur, aku mencintainya pada hubungan yang sudah benar.

"Bunda, Ayah juga orangtua ku,"

"Iya, Bunda juga tau."
Sela Bunda, sekarang baru aku tau kebiasaan barunya, menggodaku karena Rayyan.
"Mereka sedang minum kopi diteras."
Jawabnya kemudian.

Oh diteras.

"Rumi,"
Suara itu terdengar, jenis suara lembut yang meskipun mulai parau karena faktor umur. Mbah Uti terlihat sedang bersiap-siap, meski umurnya sudah tidak muda lagi, bahkan sudah mempunyai cucu yang sudah menikah, tapi dia bukanlah wanita yang hanya berpangku tangan pada anak dan cucunya, dengan kesehatan yang terkadang memburuk, wanita itu masih sering mengerjakan pekerjaan rumah sendiri jika Bunda sudah berangkat bekerja.

"Iya Bun, mau kemana pagi-pagi gini?"
Tanya Bunda heran.

"Kerumahnya Pamanmu, Paman Habsy, tiba-tiba dia menyuruh Bunda kesana, entah ada apa, dia tidak memberitahunya."
Jawab Mbah Uti.

"Kalo gitu sebentar Bun, kita makan aja dulu. Nanti aku antar."
Ucap Bunda.

"Jangan, jangan, biar Alesha aja yang ngantar, sekalian nanti sama Rayyan mampir ke kampus untuk minta formulir pendaftaran kuliah. Lagian Bunda sama Ayah kan harus berangkat kerja. Iya kan Uti? Nggak apa-apa kan kalo Alesha yang ngantar?"

Wanita itu malah tersenyum. Dan berjalan mendekat kearahku dan Bunda.

"Uti memang sudah tua ya, sampek-sampek kalian mengkhawatirkan Uti seperti ini."

"Bunda, bukan karena itu, kita hanya nggak mau Bunda sendirian kesana. Dan biasanya kan gitu, Bunda nggak akan mau kalo nggak sama Rumi."

"Iya-iya, Bunda bersyukur punya kalian, anak dan cucu yang begitu perhatian... Yasudah, kita sarapan sekarang ya, Pamanmu nanti kelamaan nunggu."
Ucap Uti ke Bunda.

"Baik, sebentar Uti.. Biar Alesha panggil Ayah dan Rayyan dulu."

***

"Mbah Kyai, maaf.. Aku harus ke kampus sebentar sama Rayyan, nggak apa-apa kan kalo Uti disini dulu dengan Mbah Kyai?"
Tanyaku ketika beberapa waktu lalu sudah ada dipesantren ini. Waktu dijalan, Uti menyuruh Rayyan untuk putar balik, tidak kearah rumah Mbah Kyai tapi kearah pondok pesantren miliknya, katanya Mbah Kyai lah yang meminta untuk bertemu disana, namun tidak biasanya pria itu mengajak bertemu langsung di pesantren, sesibuk apapun, pasti beliau tetap mengajak bertemu dirumahnya sendiri. Namun kalau tidak begini, mungkin aku masih tetap tidak akan tau pondok yang menjadi kenangan Ayah dan Bunda, aah rasanya aku begitu bahagia bisa masuk ke pondok ini, dalam cerita Bunda, tempat dan tatanannya masih tidak berubah sampai sekarang, apalagi lampu-lampu disisi jalan, dan tumbuhan yang membentuk pagar.

Bintang dibalik Senja (COMPLETE)Where stories live. Discover now