Brotowali dan Pare

18.2K 1.1K 23
                                    

Mataku tidak ada habisnya menelusuri setiap sudut restoran, mencari siapa yang akan menjadi calon ta'arufku, dan mengkhitbahku nanti setelah lulus SMA. Entahlah kenapa Ayah dan Bunda punya pemikiran untuk menikahkan putrinya ini di usia semuda dan sebelia ini. Aku hampir merasa menyerah, karena Ayah dengan kekehnya tetap pada prinsip dan tujuan awalnya yaitu melihatku menikah muda. Segala alasan sudah kutumpah ruahkan, dan tidak sedikitpun aku memberi jeda disetiap kalimatku, namun nyatanya Ayah menganggap biasa atas pemberontakkanku ini. Dia hanya berujar kalau nanti aku akan tahu yang sebenarnya. Dia juga berujar kalau sebuah ikatan pernikahan tidak akan menghalangi seseorang meraih cita-citanya, itu pun jawaban dari alasanku. Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan? Baiklah, aku akan terima ini jika calonku memang calon imam yang baik.. Tapi, apa aku masih meragukan Ayah yang mencarikanku jodoh?

"Esha, apa yang kamu cari? Minum dan tenanglah. Ayah tau, kamu sedang degdegan, tapi berusahalah untuk rileks."
Kalimat Ayah benar-benar membuatku salah tingkah, aku lupa kalau Ayah sama halnya dengan Bunda, meski tidak belajar dijurusan psikolog, tapi pria itu lebih lihai membaca gerak-gerik seseorang. Dan kenyataannya, aku hidup dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki penerawangan handal, dan aku? Selalu menjadi korban mereka.

"Ayah, Esha sudah rileks. Sejak tadi malah.."
Elakku, meski aku tahu itu tidak berhasil.

"Esha, seseorang akan berubah menjadi ragu jika dihadapkan diantara dua pilihan. Tapi cobalah rasakan, diantara pilihan itu yang membuatmu menjadi air yang mengalir, itulah yang akan menghapus keraguanmu."
Ucap Ayah yang membuatku mengernyitkan alis. Seharusnya dia tahu, otak anaknya ini belum sampai pada bab itu.

"Ayah, apa aku boleh berbicara satu hal kali ini?"
Ucapku.

"Tentu."
Jawabnya dengan mata yang mencoba menelisik raut wajahku.

"Esha tidak meragukan pilihan Ayah, tapi apa Esha tidak berhak menolak perjodohan ini kalau seandainya nanti laki-laki itu bukanlah kriteria Esha?"
Tanyaku. jujur, kalau ditanya kriteriaku seperti apa, ialah seperti pria yang ada didepanku sekarang. Dingin namun menghangatkan. Dibalik sikap tegasnya, dia adalah laki-laki lembut yang penuh kasih sayang meski jarang sekali ia tampakkan.

"Kriteria bukanlah sebuah patokan Esha, kalau kamu berfikir seseorang yang sesuai kriteriamu akan selalu membuatmu bahagia, itu tidak benar. Banyak yang menikah dengan seseorang yang bukan kriterianya sama sekali, tapi akhirnya mereka hidup bahagia. Karena sejatinya ketika prinsipmu adalah hanya ingin menikah dengan orang yang sempurna menurut pandanganmu saja, maka kamu telah menjadi orang yang egois dan munafik. Kamu perlu tahu Esha, dalam masa perjalanan pernikahan kelak, sifat diantara satu sama lain pada sebuah pasangan akan berubah. Sifat mereka akan menyesuaikan pada sifat pasangannya."
Jawab Ayah yang jujur selalu membuatku terperangah takjub, dia pria biasa yang hanya merasakan satu cinta, namun seakan-akan ceritanya jauh Dari kisah cinta biasa itu.

Dan jujur sejak aku dilahirkan sampai berusia tujuh belas tahun sekarang ini, kedua orangtuaku tidak pernah menceritakan jalan cerita cintanya, ataukah usiaku ini belum layak untuk mendengarnya? Lalu kenapa diusiaku saat ini perjodohan sudah harus aku terima?

"Ayah, tolong mengerti Esha kali ini saja. Esha masih ingin menikmati masa muda Esha Yah."
Aku mencoba mengungkapkan apa yang menjadi kekhawatiranku.

"Kamu masih bisa menikmati masa mudamu, dengan suamimu nanti. Sepuasnya, karena sudah halal. Daripada pacaran, ganti-ganti pacar, kamu tahu sendiri dosanya termasuklah zina."
Elak Ayah yang tetap saja kekeh.

"Apa Ayah tidak percaya kalau Esha tidak akan pacaran sebelum menikah? Apa Ayah meragukan Esha? Esha hanya ingin menikah nanti kalau Esha sudah siap."
Jawabku.

"Esha, dengar Ayah.. Sebagaimana sabda Rasulullah, bahwa menikah di usia muda itu lebih membantu menundukkan pandangan dan lebih mudah memelihara kemaluan. Seorang yang menikah di usia muda relatif lebih terjaga dari dosa zina; baik zina mata, zina hati, maupun zina tangan. Di dalam hadist tersebut ada yang namanya Syabab yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi pemuda. Berapakah usianya? Fauzil Adhim dalam buku Indahnya Pernikahan Dini menjelaskan, syabab adalah sesesorang yang telah mencapai masa aqil-baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Asalkan sudah memiliki ba'ah atau kemampuan, maka ia dianjurkan untuk segera menikah. Perempuan yang sudah mengalami haid itu sudah baligh dan diperbolehkan untuk menikah."
Jelas Ayah yang sudah bawa-bawa hadits Rasulullah. Dan akhirnya aku bisa apa? Mengelak hal itu juga?

"Pak Ilham."
Suara bariton membubarkan kegusaranku dan pandnagan Ayah.
Kami menoleh bersamaan ke sumber suara. Dan terlihat laki-laki bertubuh tegap tersenyum simpul kearahku juga Ayah.

"Pak Ayaz."
Ayah segera berdiri dan memeluk laki-laki bernama Ayaz yang kemarin sudah menyuruhku untuk memanggilnya dengan embel-embel Kak.

Ya Allah, apa ini artinya Kak Ayaz adalah laki-laki yang dijodohkan denganku? Sejak tadi tidak ada laki-laki yang menghampiri kami selain Kak Ayaz.

Setelah Ayah melepas pelukannya, Kak Ayaz melihatku dan tersenyum denganku, hampir saja aku lumer salah tingkah mendapatkanku itu, tapi untung saja aku bisa menahannya karena pria yang kupanggil Ayah, yang selalu membuatku takut sedang memperhatikanku.

"Halo Alesha.."

"Hai Kak."
Jawabku.

"Kalian sudah saling mengenal?"
Tanya Ayah, tumben pria itu langsung bertanya.

"Hanya sekilas saja Pak."
Jawab Kak Ayaz begitu supel.

Aku yakin Kak Ayaz lah laki-laki yang dijodohkan denganku. Terbukti dengan pertanyaan Ayah layaknya pemeran orangtua di televisi yang kaget karena putrinya sudah mengenal dengan orang yang dijodohkannya.

"Esha, kamu disini dulu. Ayah sama Pak Ayaz akan pindah tempat. Tunggu saja dia.."
Dia? Jadi bukan Kak Ayaz? Hancur sudah kebahagiaanku. Seperti baru belajar merangkak namun sudah terjatuh.

Ayah berlalu dengan Kak Ayaz.

"Ayah."
Panggilku, dan pria itu menoleh kearahku.

Dia tersenyum kemudian mengangguk, meyakinkanku karena wajahku yang terlihat khawatir dan nervous.

Detik berubah menjadi menit, jariku mengetuk-ngetuk meja dan tidak bosannya menyecap jus jambu biji yang sekarang hanya tinggal ampasnya. Siapa sebenarnya yang akan datang menemuiku? Kenapa sampai sekarang dia tidak datang-datang juga.

"Ya Allah, tolong buatlah laki-laki yang akan dijodohkan denganku hari ini tidak datang menemuiku."
Aku menelungkupkan wajahku ditelapak tangan. Dan mngusap wajah sembari mengamini doaku.

"Kata siapa tidak akan datang?"
Suara itu mengagetkanku. Baru saja aku berdoa, tapi Allah langsung menolak doaku.

Mataku melotot, memperjelas apa yang aku lihat.

"Rayyan?"

"Yaa Pare."
Sahutnya sembari memainkan ponsel ditangannya dengan santai. Pare? Menyebalkan sekali dia memanggilku seperti itu.

"Apa yang lo lakuin disini?"
Tanyaku, tidak mungkin dia bisa datang direstoran, biasanya dia nongkrong di cafe dengan para pacarnya yang berbeda-beda.

"Menemui cewek yang bakal dijodohin dengan gue."
Jawabnya. Ah Ya Allah kenapa bisa kebetulan seperti ini, Rayyan juga sedang menemui calon jodohnya.

"Gue juga.. Gue lagi nunggu cowok yang bakal dijodohin sama gue. Tapi gue yakin, cewek yang lo maksud bukanlah gue. Dan cowok yang gue maksud bukanlah elo.. Sudahlah, pergi dari mejaku."
Usirku, wajah laki-laki itu selalu menyebalkan, apalagi sekarang, dia sama sekali tidak menanggapi omonganku.

"Rayyan, lo denger gue gak sih?"
Sentakku.

"Gue denger, gue gak budek. Gue udah duduk ditempat yang benar. Meja nomer 12.. Tapi seharusnya gue menemui orang lain bukannya lo."
Jawabnya. Gawat, apa benar dia yang akan dijodohkan denganku?

"Siapa orang lain itu?"
Tanyaku penasaran.

"Ammu Ilham."

Ilham? Ilham Nur Syihab? Ayahku? Jadi, Rayyan memang laki-laki yang dijodohkan denganku.

Ya Rabb, kenapa harus dia? Brotowali.

***

Regards

Umi Masrifah

Bintang dibalik Senja (COMPLETE)Where stories live. Discover now