f o u r t y f i v e

4.3K 263 36
                                    

Gaun putih mewah membaluti tubuhku dengan anggunnya, dengan riasan cantik di wajah. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Zayn, betapa bahagianya diriku saat ini. Penata busana dan perias wajah merombak ku menjadi ratu semalam, aku rasa diriku benar-benar cantik malam ini.

Aku memperhatikan setiap lekuk di wajahku, semuanya benar-benar sempurna. Riasan ala pengantin dipadukan dengan gaun pernikahan mewah dengan payet membanjiri bagian bawah yang menjutai menimbulkan kesan elegan.

Rambutku disanggul rapih dan menyisakan sedikit bagian rambut di sisinya membuat wajahku semakin nampak menarik. Harum mawar semerbak dari kulit tubuhku, ini akan menjadi malam paling sempurna dalam hidupku.

Pintu terbuka dan menampakan Zayn sudah rapih dengan tuxedo putih lengkap dengan dasi kupu-kupu hitamnya. Senyumnya nampak sangat tenang dan damai, serta terpancar aura kebahagiaan dari wajahnya.

Zayn memeluk tubuhku sembari menciumi setiap inchi dari wajahku. Pelukannya semakin dalam dan itu membuatku tenggelam dalam aroma vanila yang memabukan. Deru nafasnya menerpa kulit punggungku yang terbuka.

Zayn melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan penuh artian yang sangat mendalam. Bahagia dan kesedihan beradu dalam tatapannya, tatapan yang sulit di artikan dan tak kumengerti.

Mataku beralih pada tuxedo putihnya yang sudah ternodai bercak berwarna merah. Cairan itu menyebar ke hampir seluruh permukaan tuxedo nya. Bau amis darah menyeruak di indra penciumanku, tidak ini tidak mungkin.

Aku menoleh ke gaunku, dan terjadi hal yang sama dengan gaun pernikahanku. Bahkan kedua tanganku di lemuri oleh cairan kental merah berbau amis tersebut. Aku menggelengkan kepalaku ketakutan, ini semua tidak boleh terjadi!

-

Keringat membanjiri tubuhku dengan nafas yang tidak beraturan. Semuanya baik-baik saja, Zayn masih terlelap di sampingku. Ia masih memeluk tubuhku, itu semua hanya mimpi. Mengambil ponselku lalu mengecek pukul berapa sekarang. Di situ menampakan masih pukul tiga pagi, dan mimpi buruk sialan itu membangunkanku dari tidurku. Aku mengangkat tangan Zayn perlahan lalu meninggalkannya ke luar tenda.

Suhu udara di luar sangat dingin karena api unggun sudah dimatikan oleh Louis sebelum tidur. Semuanya nampak gelap gulita, tapi aku tetap mendudukan tubuhku di bawah pohon rindang sama seperti pertama aku datang ke tempat ini.

Air mataku kembali membucah saat mengingat telepon dari Niall. Entah hanya perasaanku saja, aku merasa hidupku dikelilingi oleh rasa bersalah dan penyesalan. Jika ada bahagia pun itu hanya selewat saja atau akan berakhir tragis.

Aku merindukan ayahku, ayahku yang selalu bisa membuatku tersenyum. Tapi semua berubah saat ia pergi meninggalkan kami semua, aku kehilangan alasanku untuk hidup. Ibuku dan pamanku selalu menyiksaku dan pernah hampir menjualku kepada tetua kaya raya. Tapi semua itu terhenti saat Niall menyelamatkanku dan membawaku pergi jauh dari kehidupan kelamku.

Aku menghabiskan separuh masa kecilku di keluarga Horan, mereka menerimaku seperti keluarganya sendiri. Aku bahkan merasa hidupku sudah kembali berjalan normal, memiliki keluarga yang lengkap dan saling menyayangi satu sama lain.

Niall mendapat beasiswa untuk berkuliah di Britani Raya, tapi saat itu aku sedang menjalin kasih dengannya. Perasaan berat hati sempat kualami saat itu, tapi aku ingin melihatnya bahagia. Kami menjalin hubungan jarak jauh dan berlangsung selama dua tahun, tanpa ada sehari pun aku bertemu dengannya secara langsung.

Kini giliranku yang mendapat tiket gratis menuju tempat yang dipijak oleh kekasihku. Maura dan Bob menyetujuiku untuk menemui Niall dan tinggal bersamanya disana. Tapi apa yang kudapat? Aku mendapati kekasihku sedang bercumbu dengan wanita lain. Mulai detik itu, jembatan yang sudah ku perbaiki ambruk kembali.

Kehidupanku kembali berantakan tanpa arah, sampai aku bertemu dengan wanita paruh baya yang mau mengangkatku menjadi anaknya. Ia banyak menasihatiku dan memberiku masukan yang membuat ku kembali tersadar, aku tidak boleh selemah itu.

Emma memperlakukanku dengan penuh kasih sayang, ia benar-benar memperhatikanku sama seperti kepada anak sematawayangnya yang masih sangat kecil. Aku tidak bisa membantah dan melawannya, aku banyak berhutang budi padanya.

Dan sekarang lihat lah, hidupku memang menyedihkan. Kembali kepada Niall, ia membuatku dirasuki oleh perasaan bersalah dan bersalah, walau ia tetap mengelak bahwa itu semua salahku.

Aku menyesal telah salah menilainya, tapi itu semua ku nilai sesuai dengan yang ku dapatkan. Sekarang perasaanku berkecamuk, semua berpadu menjadi kelabu. Aku tidak tahan dengan kehidupanku. Beruntung hingga detik ini aku masih memiliki tujuanku untuk tetap hidup disini. Zayn dan Emma, hanya mereka alasanku untuk masih menetap di dunia yang penuh penderitaan ini.

Sorotan lampu senter membuatku menoleh ke sumber cahaya tersebut, itu Zayn. Aku menghapus air mataku dengan kedua punggung tanganku lalu menghampirinya dengan memasang senyum palsuku.

"Mengapa kau bangun di pagi buta seperti ini?"

Aku mencoba mencari alasan yang tepat untuk berdusta, tapi terlambat saat Zayn menyentuh mataku dan berkata, "Kau menangis? Ada apa?"

"Aku baru saja mau kembali ke tenda, aku masih mengantuk, Z. Ayo tidur lagi."

Zayn menahan pergelangan tanganku dan memberiku tatapan mengintimidasi. "Katakan, mengapa kau menangis?" Aku tidak bisa membagi penderitaanku padanya, ia sudah cukup menderita dengan kehidupan pribadinya.

"Tidak ada, aku hanya kelilipan. Orang mana yang menangis di pagi buta, tidak ada kerjaan."

Zayn menarik tanganku kasar kembali kedalam tenda lalu dengan tanpa sengaja, ia menjatuhkan tubuhku di atas matras tempat kami tertidur. Ia berjongkok di hadapan ku dengan tatapan tajam dan mendalam mencari kebohongan yang sedang kusembunyikan darinya.

"Tidak mau bercerita? Baik lah. Jangan bicara padaku sebelum kau katakan sejujurnya kepadaku."

Zayn meninggalkanku ke luar tenda lalu pergi entah kemana dengan lampu senternya. Apa lagi ini? Aku tidak bisa berbagi kepedihan lagi kepadanya! Semua sudah cukup, aku tidak mau membuatnya terbebani dengan pikiranku. Air mataku kembali lolos dari balik bulu mataku.

Tak lama, Zayn kembali kedalam tenda lalu mengambil bantalnya dan pergi lagi tanpa menengok kearahku. "Zayn..," ia memberhentikan langkahnya lalu menengok kearahku. "Sudah mau bicara?" Aku menggelengkan kepalaku.

Aku menarik tangannya agar ia tetap di dalam tenda untuk tidur dan biar aku yang di luar. "Jangan bicara padaku sebelum kau mau memberitahuku, dan tidak perlu mengurusiku, urusi pikiranmu dan air matamu saja." Aku menatapnya dalam diam, pipiku kembali dibanjiri oleh cairan bening yang berasal dari mataku.

Maafkan aku, Zayn.

-

Fanfict ini bakal selesai kurang lebih di chapter 50, udah gitu gue kayaknya bakal semi hiatus baru lanjutin sequel Runaway sama Make Out, cerita baru? Kayaknya butuh beberapa waktu, tapi bakal diusahain lagi dan ganti pemeran ceweknya.

Gue kasih tau dari awal, cerita ini bakal sad ending. Karena gue gamau readers kecewa pas di akhir, lebih baik gue kasih tau duluan. Bonchapt? Kita liat nanti. Sequel? But, buat itu gue gabisa.

Mungkin nih mungkin, gue bakal buat season 2 tapi masih dalam buku ini. Tapi gaakan langsung dalam beberapa hari ini selesai langsung ada season 2, ada waktunya.

So, ikutin aja alur ceritanya...

-

30' vomments please :)

Harlot | z.mWhere stories live. Discover now