Pencuri Hati 51

Magsimula sa umpisa
                                    

   Kemudian Sandiago memerintahkan Togar untuk mendorong kursi roda Shania segera pergi dari laki-laki tersebut. Shania sempat tak mau melepas tangan laki-laki itu, sampai Togar kesal dan mendorongnya lebih kuat lagi, alhasil tangan Shania terlepas darinya.

   Laki-laki itu memandang kepergian Sandiago, Togar dan Shania terus yang perlahan hilang karena mereka bertiga belok ke arah kanan.

   Ketika Sandiago Togar dan Shania sudah tidak terlihat oleh mata laki-laki didepan lift tadi, Sandiago menghentikan langkahnya, otomatis Togar pun juga berhenti mendorong kursi roda Shania. Sandiago berlutut disamping Shania, lalu dia memandang Shania dengan senyum yang sulit diartikan.

   "Jangan sekali-kali melakukan hal seperti tadi! Jika terulang, saya tidak akan segan-segan menjualmu kebeberapa laki-laki tiap malamnya," ancam Sandiago.

   Setelah itu Sandiago berdiri kembali, dan merapihkan jas warna hitam yang ia kenakan.

   Sandiago melangkahkan kakinya lagi, diikuti Togar yang mendorong kursi roda Shania.

   Sampai di room 848 ketiganya berhenti, lalu menekan tombol bel dua kali. Tidak lama kemudian pintu pun terbuka, Sandiago Togar dan Shania masuk ke dalam room 848.

   Ternyata didalam room 848 sudah ada laki-laki paruh baya yang menunggu ketiganya. Laki-laki tersebut sedang berdiri di balkon room sambil memegang minuman di tangan kanan.

   "Boss, apa kabar?" tanya Sandiago basa-basi pada laki-laki paruh baya tersebut dengan ramah.

   Laki-laki paruh baya itu membalikkan tubuhnya lalu berjalan pelan ke arah Sandiago Togar serta Shania yang duduk di kursi roda.

   "Aku muak dengan basa-basimu Sandiago," ucap laki-laki tersebut tenang.

   "Dari dulu anda gak pernah berubah, boss. Selalu membuat saya jengkel dengan perkataanmu itu. Tapi saya gak peduli seberapa jengkelnya diri ini kala anda berbuat seperti itu, yang penting urusan kita lancar. Siapa yang berani bayar mahal primadona Sandiago dengan harga tinggi. Saya pasti tunduk pada anda," ujar Sandiago menundukan kepalanya didepan laki-laki paruh baya tersebut.

   Shania terus menangis, dia menundukan kepalanya tak mau melihat laki-laki bejat yang ada didepan dia sekarang.

   Karena Shania terus menunduk, laki-laki paruh baya tersebut berlutut didepan Shania, tapi sebelumnya ia memberikan gelas yang berisi minuman pada Sandiago untuk dia pegang.

   Tangan laki-laki itu bergerak pelan, memegang dagu Shania, kemudian mengangkatnya. Saat laki-laki itu melihat paras cantik nan lembut Shania, ia tersenyum. Menatap Shania seakan-akan ingin menelanjanginya.

   "Berapa umurmu?" tanya laki-laki itu.

   Shania hanya diam dan tidak menjawab.

   Melihat Shania menangis, laki-laki itu mengambil sapu tangan dari dalam saku celana, lalu dengan sapu tangan tersebut dia menghapus air mata Shania perlahan.

   "Jangan nangis. Aku gak suka melihat wanita menangis," ucapnya lembut.

   "Lepaskan aku, om. Kumohon!" kata Shania lirih.

   Laki-laki itu tersenyum kecil kala Shania memohon padanya.

   Sandiago dan Togar tanpa diperintah oleh laki-laki paruh baya itu kemudian keluar dari room 848. Setelah kepergian Sandiago dan Togar, laki-laki tersebut masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Shania sendiri duduk di kursi roda.

   Shania tak menyia-nyiakan hal ini, dia berusaha berdiri dengan kakinya walaupun terasa sakit. Dia berusaha jalan dengan tertatih ke arah pintu room 848 untuk segera keluar. Tapi sayang, pintu tidak dapat dibuka. Shania panik, lalu dia menggedor-gedor pintu sambil berteriak minta tolong.

Pencuri HatiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon