Chapter 11 Part 2

Start from the beginning
                                    

Setelah dia berkata dengan sopan namun tegas, Rion pun tidak lagi menggubris kehadiran Erdi di hadapannya dan lanjut membaca berkas yang tadi. Ruangan menjadi sunyi, sebab tidak hanya Rion, bahkan Erdi pun diam saking kosongnya pikiran dia. Ia membeku di tempat untuk waktu yang sangat lama, sampai mendadak ia bergerak dengan cepat keluar dari ruangan bossnya itu tanpa bersuara lagi.

Erdi menghampiri meja kantornya dan tanpa banyak cincong lagi, ia langsung mengeluarkan sebuah kotak dan mengemasi seluruh barangnya ke dalam kotak tersebut. Semua berkas, dokumen, alat tulis, dan lain-lain sebagainya ia kemasi semua hingga tidak bersisa dan langsung juga dengan langkah yang lebar berjalan keluar kantornya itu. Banyak karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya pada meliriknya dengan tatapan yang penasaran, tapi Erdi masa bodoh. Mau lihat kek, mau ngejek kek, mau marah kek, terserah, karena mulai hari ini ia tidak berhubungan lagi dengan perusahaan sialan ini!

Sekitar 5 menit ia melangkah dengan cepat, Erdi sudah keluar dari perusahaannya. Sebelum bus yang biasa ia tumpangi tiba di halte, dengan wajah yang penuh murka Erdi menghempas sekotak penuh barang-barang miliknya itu telak ke dalam tong sampah samping halte, menarik perhatian seluruh orang yang berada di sana. Sekali lagi, Erdi tentu masa bodoh dengan mereka. Ia ingin memperlihatkan kepada semua orang.

Ia sudah pengangguran.

***

Jam 12 siang.

Elizia menatap pintu depan rumahnya dengan lesu. Tidak ada. Tidak ada sosoknya. Anaknya, Raven, dia masih belum pulang. Elizia menatap pantulan kecil dirinya di kaca jendela, matanya sembab, memerah, kantung mata juga bertambah. Sejak Raven keluar hingga sekarang, air matanya baru saja berhenti. Ternyata ini yang menyebabkan matanya terasa sangat sakit dan perih. Ia kelelahan menangis. Namun selelah apapun, ia masih merasa sedih dan khawatir terhadap Rave—

Aku mencintainya.

Elizia membeku. Pikirannya kosong. Setiap mengingat Raven, ia mengingat lagi dirinya yang mengatakan kalimat itu lalu menciu— Elizia menyentuh bibirnya. Kenapa? Kenapa bisa Raven berkata seperti itu? Kenapa ia bisa merasakan seperti itu? Mereka itu anak dan Ibu, tapi Raven ... Kenapa? Yang lebih anehnya lagi, kenapa begitu mengetahui anaknya mencintainya dan menciumnya, kenapa Elizia merasa ... senang?

Air mata yang baru sejenak berhenti kembali mengalir lagi. Tidak. Ini tidak boleh. Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Mereka satu keluarga. Dalam keluarga tidak ada yang boleh mencintai, terutama anak dan Ibu. Tidak. Hal seperti itu benar-benar tidak boleh terjadi! Maka dengan sendirinya, ia kembali menangis lagi untuk ke delapan belas kalinya hari ini.

Entah berapa lama berlalu, dengan mata yang memerah Elizia berdiri di hadapan cermin dalam kamarnya. Dia meraih sesuatu dan menempelkan ke tubuhnya, T-shirt couple dan melihat pantulan dirinya di cermin. Baju itu terlihat pas di badannya, bertulisan 'I Love Him' dan bertanda panah ke arah kanannya, arah pasangannya, arah Raven. Sial, air matanya mengalir lagi tanpa ia sadari. Pikirannya penuh dengan sosok putranya. Padahal baru sehari ia kabur, tapi kenapa rasa khawatirnya bisa sedahsyat ini? Elizia tidak mengerti.

BRRAKKK!!

Jantung Elizia berdetak keras seiring dengan terkejutnya ia mendengar suara bantingan pintu tersebut. Air matanya berhenti mengalir, lantas wajahnya terlihat sangat syok. Tanpa banyak pikir, Elizia langsung mengeluarkan dirinya dari kamar menuju ke luar. Ia pasti tidak akan salah. Pasti dia, Elizia tidak mungkin salah!

"Raven!"

Sekali lagi kedua mata Elizia terbelalak lebar, namun jantungnya serasa berhenti berdetak. Tidak ada. Orang yang ditunggu-tunggu tidak ada. Raven belum pulang, melainkan ...

Rage in Cage (Complete)Where stories live. Discover now