Sinka tidak mengeluarkan suara sedikit pun, begitu juga dengan Rona yang hanya diam membisu sambil menyetir mobil. Diam sepanjang jalan adalah pilihan keduanya.

   Dan ternyata Rona membawa Sinka ke tempat favorite dia, dimana Rona bisa melihat mentari senja diatas gedung. Tempat Rona pertama kali menyatakan cintanya ke Sinka. Saat itu masih pukul 3 sore, jadi belum waktunya mentari senja tenggelam.

   Sinka nggak bergerak sedikit pun, dia tetap diam duduk didalam mobil. Sedangkan Rona melihat ke arah Sinka, memperhatikan dia dengan seksama.

   "Kamu masih inget tempat ini?" tanya Rona sambil melepas seatbealtnya.

   Tidak ada jawaban dari Sinka atas pertanyaan Rona, seakan Sinka nggak peduli dengan Rona yang ada disampingnya. Sadar akan sikap diam Sinka, Rona menggenggam tangan Sinka erat. Mungkin rasa kesal Sinka masih bersarang di hati, ia nggak mau disentuh Rona, tangan yang digenggam olehnya ditarik secepat mungkin.

   "Salahku apa? Tiba-tiba kamu mendiamkanku seperti ini! Telepon dan pesan singkatku gak pernah kamu bales, dan kamu selalu menghindar jika ketemu denganku di kampus," Rona memegang dagu Sinka, mengarahkan wajahnya untuk melihat dia, tapi lagi-lagi Sinka menepis tangan Rona kasar.

   Haaahh... Helaan nafas berat keluar dari Rona karena penolakan yang Sinka buat kepadanya.

   "Sinka, aku bingung sama kamu! Apa yang sudah kuperbuat sampai kamu mendiamkanku seperti ini?! Mau kamu apa?"

   "Aku mau pulang!" akhirnya Sinka berkata dengan sinis ke Rona.

   "Ok! Kalau kamu mau pulang. Kita akan pulang. Tapi kita pulang ke rumah Tuhan! Sekarang!" Rona memasang seatbealtnya kembali, lalu dia menyalakan mesin mobil. Sebelum dia menginjak kopling dan memasukan gigi satu, Rona menatap tajam ke arah Sinka yang duduk disampingnya.

   "Kamu gila, Rona!? Matikan mesin mobilnya!" suruh Sinka yang terlihat panik.

   Sama seperti Sinka yang nggak peduli dengan ucapan Rona. Rona pun nggak peduli dengan ucapan Sinka, dia terus menginjak dan memainkan pedal gas mobil, hingga suara knalpot mobil yang dikeluarkan begitu nyaring terdengar.

   "Rona, cukup! Aku benci kamu!" saat ini Sinka sudah meneteskan air mata, Sinka menangis, mungkin dia takut dengan tindakan bodoh yang Rona lakukan.

   Plak!

   Satu tamparan mendarat di pipi kiri Rona, Sinka menampar keras pipi Rona dengan tangannya. Rona terkejut, dia sampai menatap tajam ke Sinka.

   "Mau kamu tampar aku sampai ratusan kali seperti tadi, aku gak peduli. Kamu mau pulangkan? Aku akan antarkan kamu pulang. Tapi bukan ke rumah melainkan ke sana," Rona menunjuk ke atas dengan jari telunjuk kanannya, "aku turuti semua keinginanmu, karena aku sangat mencintaimu, jadi semua yang kamu mau! Akan kukabulkan."

   "Kamu gila!"

   "Ya, aku gila karenamu. Karena aku gak tau salahku dimana, tapi kamu mendiamkan dan menganggapku gak ada, padahal sudah jelas-jelas aku ada dihadapanmu. Berulang kali menanyakan letak kesalahanku dimana? Jika memang aku salah, aku minta maaf."

   Rona menatap Sinka kembali, dan dia masih menangis. Sinka juga menatap Rona dengan mata yang berlinang air mata.

   Sinka tercengang melihat Rona tiba-tiba saja mengeluarkan darah di hidungnya.

   "Kamu kenapa?" Sinka memegang pipi Rona, ibu jarinya bergerak ke arah darah yang keluar dari hidung dia, "darah!"

   Saat Sinka ingin mencari tissue yang ada didalam mobil, Rona memegang tangannya, menggenggam erat tangan itu.

Pencuri HatiWhere stories live. Discover now