CHAPTER 61 - Saatnya Konfirmasi

151 13 2
                                    


Anna mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang ada di depan cermin besar kamar mandi. Bibirnya cemberut karena apa yang dilakukannya di dalam bathtub bersama suaminya hampir satu jam yang lalu.

Sia-sia ia menguarkan aura kemarahannya sejak kemarin kalau akhirnya ia menyerah juga. Anna juga mengutuki kelemahannya yang membuatnya kembali bertekuk lutut di bawah suaminya.

Evander malah dengan santainya melenggang ke dalam walk in closet setelah menuntaskan hasratnya dan membersihkan tubuhnya.

Anna membanting hairdryer yang tidak bersalah itu ke tempatnya dan berjalan cepat ke dalam walk in closet untuk mengganti pakaiannya.

Kalau akhirnya begini, rencananya untuk memaksa Evander lebih jujur dan terbuka padanya tentu akan gagal. Laki-laki itu akan berpikir kalau Anna dapat dengan mudah dikuasainya kembali.

"Kau tadi mau menunjukkan apa padaku?" tanya Evander pada Anna yang baru masuk ke kamar. Laki-laki itu duduk di ranjang dengan bersandar pada headboard.

Anna mengambil ponselnya yang diletakkannya di atas bedside table. Ia membuka galeri fotonya dan menunjukkan foto-foto Evander padanya.

Evander menerima ponsel Anna dan dahinya berkerut memandangi foto-foto dirinya dengan perempuan yang berbeda dalam ponsel itu.

Dalam hatinya ia memuji sekaligus mengutuk paparazi yang dengan cekatan mengambil foto dengan berbagai pose bahkan dalam waktu singkat.

"Sejak kapan kau mendapatkan foto-foto ini?" tanya Evander.

"Cukup lama. Sebulan aku tinggal di sini kalau tidak salah," jawab Anna.

"Dan kau baru menunjukkannya padaku sekarang?" tanya Evander lagi.

Anna hanya mengangkat bahunya. Baru sekarang ia menyadari kebodohannya. Kenapa tidak dari dulu ia tunjukkan foto-foto sialan yang selalu meracuni pikirannya pada Evander.

"Sini!" ujar Evander sambil menepuk ranjang di sebelahnya, menyuruh Anna mendekat padanya.

Anna duduk di sebelah Evander, tapi suaminya itu menarik tangannya supaya lebih mendekat padanya.

"Yang ini foto-foto lama, sebelum aku bertemu denganmu. Yang ini di lounge Winston Hotel. Perempuan itu tiba-tiba saja duduk di pangkuanku, lalu menciumku. Hanya beberapa detik, tapi yang mengambil foto ini hebat sekali bisa mendapatkan momen yang tepat untuk mengambil foto."

Evander menggeser kembali layar ponsel Anna. Keningnya mengernyit saat beberapa foto vulgar terpampang di sana.

"Yang ini waktu di Singapore. Kolegaku yang menyiapkannya. Biasanya memang begitu saat makan malam mereka juga menyiapkan hiburan. Kadang yang biasa, kadang juga yang luar biasa seperti ini. Well, gambarnya memang akan membuatmu marah, tapi penari streaptease itu melakukannya pada semua orang yang ada di ruangan itu. Waktu aku kembali ke kamar hotel, perempuan berambut pirang tiba-tiba memelukku di lorong, tapi ia cepat-cepat minta maaf karena ternyata salah orang," jelas Evander sambil menunjukkan foto-foto itu satu per satu pada Anna.

Anna menatap wajah Evander yang terlihat serius. Ia mencoba mencari dusta di wajah atau suaranya. Dan nampaknya Anna tak menemukan sesuatu yang salah.

Evander menatap sebuah foto cukup lama. Air mukanya berubah keruh dan membuat Anna waspada melihatnya.

Anna melirik foto dalam ponsel. Sepasang muda-mudi tengah duduk di tepi pantai. Evander, pemuda dalam foto itu telanjang dada duduk di belakang gadis muda berambut panjang dikepang dan memeluknya.

"Mengapa diam?" tanya Anna.

"Ini... Maura," ucap Evander. Ia menutup ponsel Anna dan mengembalikannya pada pemiliknya.

"Tante Kenia tadi menyinggung sedikit tentang Maura. Katanya sebaiknya kausendiri yang mengatakannya padaku. Beliau merasa tidak berhak mengatakannya," ucap Anna saat Evander masih saja diam.

Evander menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Bercerita tentang Maura membuka luka lamanya kembali. Luka yang mulai mengering sejak Anna hadir dalam hidupnya.

"My ex," ucap Evander kemudian,"tapi dia sudah lama tiada. Sudah lima tahun yang lalu, overdosis di apartemennya. Banyak orang-orang terdekatku yang pergi dengan cara mengenaskan. Kakakku, orang tuaku, dan yang terakhir Maura. Aku tak mau kehilangan kau juga. Makanya kemarin aku memaksamu untuk pulang. Karena saat kaujauh dariku, aku takut kau tak kembali."

Anna beringsut mendekati Evander, lalu memeluk suaminya itu. Laki-laki yang selalu kelihatan tegar dan kokoh bagai batu karang itu, ternyata menyimpan banyak luka di hatinya.

"Maura sedang mengandung saat dia pergi. Aku baru tahu dari hasil otopsinya. Aku juga tak pernah tahu kalau Maura menggunakan heroin. Mungkin karena aku kurang memperhatikannya atau karena aku yang tak pernah tahu," ucap Evander sendu.

"Sorry, aku tak bermaksud membuka luka lamamu," ujar Anna sambil mengusap punggung tangan Evander.

"It's okay. Kau berhak tahu. Bagaimana pun juga kau istriku. Kau orang terdekatku saat ini. Tapi, aku lebih suka kalau menceritakan apa pun padaku. Aku tak ingin kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tak ingin kejadian lama terulang kembali."

Anna mengangguk. Evander benar. Kalau saja Anna berani mengomunikasikan masalah ini lebih awal, tentu kecurigaannya tak bertambah semakin besar.

"Oh, ya, menurutmu banyak foto yang diambil hanya dalam waktu beberapa detik. Apakah mereka sengaja merencanakannya?" tanya Anna yang seperti teringat sesuatu.

Evander tercenung. Hal itu sudah sejak lama dicurigainya. Sejak ia menemukan pesan dalam ponsel Tama, ia sudah merasa ada yang tidak beres.

Melihat foto-foto yang dikirimkan pada Anna, pengirimnya jelas menginginkan Anna meninggalkan dirinya. Sedangkan dalam kasus Tama, Evander yakin kalau ia tak berpikir waras, ia akan menuduh Anna mengkhianatinya. Kesimpulannya hanya satu, orang tak dikenal itu menginginkan mereka berdua berpisah.

"Mungkin juga, aku belum tahu. Kita tidak tahu siapa yang merencanakannya. Kalau memang benar ada dalangnya, kita harus waspada. Siapa tahu ada kejadian seperti ini lagi, kan?"

Betul juga, pikir Anna. Ia harus waspada. Mereka tak tahu siapa yang memasang umpan supaya mereka bertengkar dan curiga-mencurigai.

"Mobilmu ke mana? Bukannya kamu mau ambil mobilmu di rumah?" tanya Evander tiba-tiba.

"Sudah dijual. Kata Diva karena lama tidak dipakai," ucap Anna kesal.

"Beli saja kalau begitu. Pilih yang kamu suka," saran Evander.

"Kau yang belikan?" tantang Anna sekalian ganti rugi untuknya.

Evander menatap Anna yang tersenyum ke arahnya. Kalau untuk istrinya ini apa sih yang ia tak bisa.

"Boleh, pilih saja yang kamu mau."

"Okay," ucap Anna tersenyum senang lalu tangannya mulai membuka ponselnya mencari mobil yang sesuai untuknya.

Bersambung

CEO'S LADYWo Geschichten leben. Entdecke jetzt