Chapter 4 - Reaksi Anna

205 16 2
                                    

Anna terdiam cukup lama. Ia tak tahu harus bereaksi atau menjawab apa dengan semua yang ayahnya utarakan. Anna tahu ayahnya juga tak punya hati untuk mengatakan semuanya itu. Nada bicara ayahnya yang cepat dan terputus-putus membuat Anna bisa menyimpulkan kalau ayahnya tak punya jalan keluar lainnya.

"Mama Rica bilang apa? Apa ia menyuruh Papa supaya aku yang mau menikah dengan Om Fandi?" tanya Anna.

Anna yakin 1000%, ibu tirinya itu langsung menyodorkan namanya alih-alih anak kandungnya sendiri. Ia tentu tak akan mengizinkan anak kesayangannya menikah dengan pria seusia ayahnya. Ia yang anak tiri tentu lebih layak untuk dikorbankan.

Mereka tak pernah punya hubungan yang baik. Sejak masuk ke rumah mereka 12 tahun yang lalu, ibu tirinya itu tak pernah menunjukkan wajah yang ramah di depannya. Ada saja masalah sepele yang kalau bisa membuatnya menunjukkan jarinya ke muka Anna. Untungnya Anna bukan gadis lemah. Ia tahu caranya membela diri. Ia tak mau jadi upik abu yang bodoh dan pasrah diperlakukan semena-mena.

"Mamamu menyuruh Papa mendiskusikan denganmu juga. Ini kan masalah keluarga kita bersama," jawab Rasena mencoba memilih kata yang terdengar paling bijak.

Anna mendengus. Kalau memang masalah keluarga bersama mengapa tidak dibicarakan di rumah. Mengapa harus bicara secara terpisah, bukannya berdiskusi bersama satu meja.

"Berdiskusi atau memintaku secara langsung? Mama Rica pasti nggak mau Diva yang menikah dengan Om Fandi, kan? Makanya ia minta Papa untuk bicara padaku. Dan itu artinya aku harus mau," kata Anna. Nada bicaranya mulai meninggi. Amarah pelan-pelan telah merasuki hati dan pikirannya.

"Diva masih kecil, Anna. Umurnya masih 19 tahun."

"Dan karena aku yang lebih tua, makanya aku yang harus mau menikah dengan laki-laki tua itu?" ucap Anna semakin emosi.

Anna tak percaya teman baik ayahnya yang selama ini ia kenal baik dan ramah mempunyai ide gila seperti itu di kepalanya. Kurang cantik apa istrinya. Meskipun sedikit berisi, tapi sangat ramah dan tidak kelihatan kurang menarik. Cara berhiasnya sangat elegan dan berkelas.

Apalagi Om Fandi tahu usia Anna dan Diva seperti usia anaknya sendiri. Maniak mana yang punya ide segila itu kalau bukan watak seorang predator.

Rasena membuang napasnya kasar. Ia menyayangi anak-anaknya. Meskipun berbeda ibu, Anna dan Diva memperoleh kasih sayang yang sama darinya. Ia tahu ia adalah ayah paling tidak berguna di dunia. Ia seperti keledai yang terperosok ke dalam lubang yang dalam dan gelap. Ia hanya bisa meminta bantuan dari anak sulungnya itu untuk menariknya keluar dari lubang gelap itu. Tapi ia juga yang menjerumuskan anaknya ke dalam lubang gelap itu supaya ia bisa selamat.

Rasena menatap Anna dengan penuh penyesalah,"Maafkan aku, Nak. Sebenarnya Papa tak ingin membebanimu dengan masalahku. Tapi Papa tak punya pilihan lain."

""Bukankah itu tak adil bagiku, Pa? Bagaimana dengan hidupku, masa depanku, mimpi-mimpiku?" ujar Anna terisak meluapkan rasa kecewanya.

Rasena tercekat. Ia tahu kesedihan anak sulungnya itu. Ia memang ayah yang buruk. Seharusnya ia yang membuat anaknya tersenyum bahagia, bukan menangis pilu seperti sekarang ini.

"Kalau aku tak mau?" tanya Anna lagi setelah ayahnya hanya terdiam untuk beberapa lama.

"Yah, terpaksa kita akan mulai dari nol lagi. Anna, Papa sungguh-sungguh tak mau memaksamu. Papa hanya ingin mendengar pendapatmu, itu saja, sungguh. Papa juga tak mau melemparkan anak-anak Papa ke dalam api, dalam hidup seperti neraka," ucap Rasena sendu.

"Papa benar-benar tak jalan lain lagi?" tanya Anna ragu,"aset perusahaan mungkin atau pinjaman lagi yang bisa menutup utang Papa pada Om Fandi, atau apa pun yang kita punya untuk melunasi utang itu?"

CEO'S LADYDonde viven las historias. Descúbrelo ahora