CHAPTER 55 - Curiga

68 6 0
                                    


"Kau kemana dua hari ini?" tanya Anna begitu menyadari sesuatu.

Hatinya berdegup kencang menunggu jawaban Evander. Namun, Anna menguatkan hatinya juga kalau yang ada dipikirannya selama ini menjadi kenyataan.

"Apartemen Reynard," jawab Evander singkat.

Evander tak bisa langsung pulang karena emosinya yang tak bisa dibendung. Melihat Anna yang ketakutan saat ia menunjukkan sisi monsternya seperti tempo hari membuat Evander untuk menjaga jarak dari Anna. Ia tak mau membuat Anna semakin ketakutan saat melihatnya.

Evander tinggal di apartemen Reynard yang ada di Imperium Tower selama dua hari. Dan saat merasa lebih tenang ia memutuskan pulang.

"Kau pakai baju Reynard?" tanya Anna lagi.

Seingatnya dua hari lalu, saat malam jahanam itu terjadi, Evander mengenakan kemeja hitam. Saat ini kemeja biru langit yang dipakainya.

"Aku menyimpan beberapa stel pakaian di kantor. Dulu aku sering tidur di kantor atau di apartemen Reynard kalau banyak pekerjaan. Jadi, masih ada beberapa pakaian yang aku tinggal di sana," jelas Evander.

Anna mengembuskan napas lega karena ternyata Evander tidak kelayapan ke Winston atau hotel lain untuk menginap. Selama beberapa hari terakhir banyak pikiran buruk yang meracuni otaknya.

"Kenapa? Kau kelihatannya lega. Kau kira aku tidur di mana?" tanya Evander.

""Mana aku tahu," jawab Anna. Bibirnya mulai cemberut lagi dan membuat Evander tersenyum melihatnya.

"Kau pikir aku tidur di rumah selingkuhanku?" tanya Evander.

Wajahnya mendekati wajah Anna membuat mata Anna memicing karena napas hangat Evander yang menyapu matanya.

"Kau punya selingkuhan?" tanya Anna balik menantang.

"Kau cemburu?" tanya balik Evander.

Anna mendorong tubuh Evander menjauh, tapi Evander malah menarik tubuh Anna semakin dekat padanya.

"Aku suka kalau kau cemburu," ujarnya lagi sambil tertawa kecil.

"Aku tidak cemburu. Minggir, panas!" tukas Anna sambil mendorong tubuh Evander menjauh.

"Oh, ya, bukankah kau suka kalau kita bercinta panas di ranjang," goda Evander.

Ia menggeser tubuhnya dan berbalik menindih tubuh Anna. Lengannya ditumpukan di sisi tubuh Anna.

Anna hanya menatap dengan napas memburu. Ia ingat betapa liarnya dia kalau sudah bercinta di ranjang. Kalau mengingatnya lagi ingin Anna mengguyur kepalanya dengan air es di kulkas, memalukan.

Evander mencium bibir Anna. Ia ingin menghilangkan jejak laki-laki jahanam itu di bibir istrinya. Anna hanya terdiam dan memejamkan matanya, menikmati pagutan mesra suaminya.

"Evan!" lenguh Anna saat tangan Evander mulai menyentuh bagian intim tubuhnya.

Tubuhnya terasa mulai panas. Dan Anna tahu sebentar lagi ia kan kehilangan nalar dan rasa malunya.

*

*

Dia membanting gelasnya ke dinding kamarnya hingga hancur berkeping-keping. Teriakan-teriakan penuh amarah menggema di kamar apartemen yang dihuninya seorang diri.

Ia geram dengan kebodohan Tama yang tak bisa menjalankan perintahnya dengan baik. Laki-laki itu malah babak belur menjadi bulan-bulanan Evander.

Ia sudah merencanakannya dengan sangat matang. Tapi hasilnya sia-sia. Benar-benar percuma hasilnya memutar otak selama ini.

Orang suruhannya yang selalu mengamati dan melaporkan padanya memberitahukan berita buruk padanya tengah malam tadi. Dan ia tak bisa menerima kata kalah dan gagal sekali lagi.

Selama hidupnya ia selalu mendapatkan yang ia inginkan. Tak ada kata nanti atau tidak dalam hidupnya. Semuanya harus sesuai dengan yang ia inginkan. Tak peduli bagaimana pun caranya. Tak pedulu siapa yang harus disingkirkannya. Yang penting ia bisa mendapatkan semua yang ia inginkan.

Ia mengambil gelas lagi dari ini bar dan memenuhinya dengan gin. Ia minum hingga tandas dan membiarkan tubuh dan pikirannya melayang.

Anna. Perempuan itu seperti duri dalam dagingnya. Lintah pengisap darah yang harus disingkirkannya cepat-cepat.

Alkohol yang mulai merasuk ke peredaran darahnya mulai menguasai alam sadarnya. Ia putar musik keras-keras dan mulai menari.

Ia memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan meskipun dengan sempoyongan.

"Cheers to Anna. Sebentar lagi aku akan membuatmu mati."

Dan ia pun tertawa dengan pikirannya sendiri.

*

*

Evander bagun pagi itu dan melihat ranjang di sebelahnya telah kosong. Sudah hampir jam enam pagi. Biasanya ia yang lebih dulu bangun daripada Anna. Namun, hari ini sebaliknya.

Evander turun ke lantai bawah dan melihat Anna ada di dapur. Bau harum masakan tercium sampai ke tangga yang ditapaki Evander.

Ia duduk di kursi tinggi di depan kitchen island yang terbuat dari marmer putih. Anna yang memunggunginya tak tahu kalau Evander sudah ada di situ dan memperhatikannya memasak.

"Oh, aku tidak dengar kau di sini," seru Anna kaget saat ia membalikkan badan untuk meletakkan tumis pokchoy-nya ke dalam mangkuk di atas island. Hampir saja ia menjatuhkan deep wok yang dipegangnya karena keget.

Evander tersenyum. Sejak Anna tinggal di sini ia sering mendapatkan sarapan segar. Bukan dari masakan kemarin yang tinggal dihangatkan. Meskipun seringkali hanya saat sarapan ia bisa makan dengan Anna, tapi itu sudah sangat menyenangkan baginya.

"Kau tak mandi dulu?" tanya Anna karena biasanya jam enam pagi Evander sudah mandi dan bersiap ke kantor.

"Aku baru berangkat jam sepuluh. Aku tidak ke kantor hari ini. Om Burhan memintaku menemuinya di Winston," jelas Evander sambil tangannya memasukkan potongan pisang ke dalam mulutnya dengan garpu kecil.

Raut wajah Anna langsung berubah saat mendengar Winston Hotel milik Om Burhandi. Ingatannya mau tak mau kembali ke beberapa bulan yang lalu. Winston dan perempuan lain adalah dua hal yang sangat dibencinya.

"Kenapa?" tanya Evander menelisik saat melihat wajah Anna yang berubah kesal dalam tempo beberapa detik.

"Kau sering ke Winston?" tanya Anna.

Sebenarnya ia ingin bertanya apa saja yang dilakukan Evander di Winston. Tapi, ia belum mempersiapkan hatinya jika jawaban yang diterimanya adalah jawaban yang paling buruk.

"Tidak terlalu sering sebenarnya. Ada apa?" tanyanya lagi saat ia belum memperoleh jawaban dari Anna.

Anna hanya mengangkat bahunya, lalu melanjutkan kegiatannya memanggang tuna di atas teflon dengan minyak zaitun. Bau harum tuna yang biasanya membuat air liur Anna meleleh menjadi tak istimewa lagi.

"Kau tiba-tiba saja kesal. Kenapa?" tanya Evander lagi.

Evander tampaknya tak puas dengan jawaban Anna yang hanya mengangkat bahunya. Kalau sudah mencurigai sesuatu, Evander akan mencari tahu apa penyebabnya. Pun dengan Anna sekarang yang tiba-tiba berubah suasana hatinya hanya dengan kata Winston.

"Sarapan sudah siap. Kau makan sendirilah. Aku mau mandi," tukas Anna sambil meletakkan tuna panggangnya ke dalam piring di atas island lalu beranjak ke kamar.

Tak dihiarukannya lagi tatapan mata Evander yang penuh tanya dengan kelakuan anehnya pagi itu.

Seharusnya Anna menayakan langsung pada Evander segala hal yang mengganggu pikirannya sejak mereka menikah. Tapi, Anna lebih suka membohongi dirinya sendiri.

Anna tak suka mendengar jawaban jujur yang hanya menyakiti hatinya. Jawaban dusta dipilihnya sebagai jawaban yang menenangkan hatinya meskipun semu.


Bersambung


Maaf telat update. Sibuk di lapak sebelah. Happy reading Guys

CEO'S LADYTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon