CHAPTER 42 - Perhatian Tama

132 12 0
                                    


Hari berlalu begitu cepat. Saat kau melakukan apa yang kau suka atau saat hari-harimu penuh kesibukan, waktu 24 jam nampaknya tak akan cukup.

Sudah hampir dua bulan Anna bekerja dan ia merasakan hari-harinya tak menjemukan. Namun, ada yang tak mengenakkan bagi Anna. Tama tampaknya benar-benar menaruh hati padanya. Setiap ada kesempatan ia selalu ingin dekat dengan Anna. Membuatnya merasa rikuh dan tak enak hati.

Mulanya hanya minta tolong sekalian dibuatkan kopi, lalu mulai menjalar dengan ajakan makan siang bersama. Tidak hanya di kantin, tapi juga mengajaknya makan di luar.

Sampai saat ini Anna sudah sering menolak, tapi laki-laki itu kelihatannya gigih juga. Tak bisa mengajak Anna keluar, malah Tama yang memesan makanan dari luar untuk makan bersama.

"Bantu habisin, dong, Mbak," ajak Anna pada Wina setengah berbisik saat Tama membawakannya nasi dan ayam koloke.

"Lha itu kan buat kamu. Nggak enaklah nanti aku dikira nebeng lagi," jawab Wina.

Wina memang suporter utama kalau soal urusan Anna dengan Tama. Ia malah sering menggoda dan juga memberi Anna semangat untuk semakin dekat dengan Tama.

"Pak Tama itu baik banget, lho. Tampan, sopan, baik, perhatian lagi. Hanya perempuan bodoh yang sampai menolaknya."

Ucapan Wina dua hari yang lalu masih diingat Anna dengan jelas. Anna bukan perempuan bodoh. Ia tak bisa dekat dengan Tama karena ia sudah bersuami. Dan ia akan jadi perempuan idiot kalau sampai menukar Evander dengan Tama.

Kalau hanya urusan dengan Tama, Anna masih bisa mengatasi. Celakanya, Tama adalah idola di kantornya. Banyak wanita di kantor yang naksir dengan Tama. Dan gosip bahwa Tama mulai mendekati Anna membuat dengungan lebah semakin gencar.

Ke mana pun Anna melangkah berpasang-pasang sorot mata mulai mengikutinya. Mata perempuan yang cemburu memang parah. Seolah-olah mata mereka memancarkan sinar laser untuk melumpuhkan Anna.

Sialnya, Anna tak punya alasan untuk membela diri. Ingat, statusnya di sini adalah belum menikah. Ia tak bisa seenak perutnya membuat pengumuman kalau ia sudah menikah kalau tak ingin dapat masalah dengan HRD.

"Duh, yang tiap hari dapat makan gratis dari Pak Tama," sindir Meita saat Anna mencuci tangan di pantry.

Meita memang sejak lama sudah menaruh hati pada Tama. Ia dulu juga seperti itu suka membawakan Tama makanan. Tapi apa yang dilakukannya tetap membuatnya bertepuk sebelah tangan sampai sekarang.

"Bukan aku yang minta," ujar Anna.

Seringkali Anna mendiamkan sindiran Meita. Tapi kadang ia menyahuti juga kalau memang sindirannya sudah keterlaluan.

"Tapi tetap diterima juga, kan?" jawab Meita dengan bibirnya yang sampai miring beberapa senti dari bentuknya semula.

"Kalau Mbak Meita mau, besok aku bagi deh makanan dari Pak Tama. Aku juga sering kok bagi-bagi dengan Mbak Wina, Danu, juga Rasta," ujar Anna yang lama-lama merasa gemas juga.

Anna sudah sering menolak, tapi Tama tetap saja membawakannya makanan. Memang tidak tiap hari, tapi seminggu bisa dua sampai tiga kali.

Meita hanya melengos mendengar ucapan Anna. Ia memang sangat iri melihat Tama yang penuh perhatian pada Anna. Berbeda sekali sikapnya pada Meita yang cenderung formal dan susah diajak ngobrol.

Anna menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari Meita. Cukuplah hari itu ia kena sindir. Hal yang tak perlu ia ladeni karena hanya akan menguras energi dan emosinya.

"Sabtu minggu depan kau berangkat sama siapa?" tanya Wina saat Anna kembali ke tempat duduknya semula.

"Berangkat ke mana?" tanya Anna tak mengerti.

"Makanya kalau dikasih undangan tuh dibuka, Neng. Bukannya malah ditinggalin di laci," gerutu Wina.

Anna baru ingat kalau seminggu yang lalu Shana, sekretaris Pak Sabino, membagi-bagikan undangan dengan cover hitam dan tulisan pena warna emas. Karena kemarin Tama mengajaknya rapat, maka undangan itu Anna masukkan ke laci meja dan undangan itu terlupakan begitu saja.

Anna menarik lacinya dan membacanya. Undangan pesta perayaan ke lima belas tahun.

"Berangkat sama abang driver-lah, Mbak, seperti biasa," jawab Anna.

"Nggak sama Pak Tama? Minta dijemput, dong. Pak Tama pasti mau," ujar Wina.

Minta dijemput Tama? Bisa-bisa dia langsung dikurung tak boleh keluar rumah lagi. Setelah lemburnya yang terakhir, Evander menyuruh Rudi, sopirnya, untuk mengantar dan menunggui Anna sepulang kantor. Untung saja Rudi tidak menggunakan mobil Evander. Laki-laki itu menyuruh Rudi menggunakan mobil perusahaan yang bagi Anna tampilannya memang lebih 'normal' daripada mobil yang dimiliki Evander.

"Kok malah melamun, sih," ujar Wina sambil mencolek lengan Anna.

Anna hanya tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya. Masalah pesta tak terlalu dipikirkannya. Anna sudah tahu ia akan pergi dengan apa dan pakai baju apa.

"Yang lain sudah mulai heboh. Maklum pesta setahun sekali. Pak Sebino sering bikin acara yang seru. Hadiah doorprize-nya juga oke punya, nggak pernah barang murah," jelas Wina.

Anna yang pegawai baru dan belum pernah mengikuti pesta perusahaan apa pun terlihat tertarik mendengarnya. Terlihat dari caranya meninggalkan layar koputer dan berbalik menatap Wina dengan penuh minat.

"Oh, ya, acara apa saja biasanya, Mbak?" tanya Anna ingin tahu.

Pembicaraan mengenai pesta sepertinya lebih seru daripada Wina yang setiap kali mempromosikan Tama padanya.

"Baca temanya kan di undangan ada. Dua tahu lalu temanya Arabian Night, kalau tahun lalu Hollywood Glamour Party. Tahun ini kan Masquerade Party Ball," jelas Wina panjang lebar.

Gemas sekali dia dengan Anna yang kelihatannya santai saja padahal yang lainnya sudah heboh sejak bulan lalu waktu tema acara tahun ini bocor entah dari siapa.

Maklum saja Ed Sabino adalah rumah mode terkenal. Sekalinya menggelar pesta pasti mewah dan meriah. Kapan lagi bisa unjuk diri kalau tidak di pesta-pesta seperti itu.

"Mbak, nggak harus pakai ball gown kan?" tanya Anna was-was. Ia tak terlalu suka ball gown karena membuatnya seperti terperangkap dalam tumpukan kain.

"Nggak lah. Ini pesta juga bukan zaman borjuis kapitalis. Kalau kostum sih bebas asal sesuai tema," ujar Wina.

Anna manggut-manggut mengerti. Meskipun tidak tampil ''wah' paling tidak ia tak salah kostum nantinya.

"Anna, kau pergi sama siapa di pesta minggu depan? Sendiri?" suara tanya Tama menginterupsi pembicaraan Anna dan Wina.

Wina berdahem sambil pura-pura sibuk dengan layar komputernya, padahal telinganya terpasang baik-baik ke arah Tama dan Anna.

"Sepertinya begitu, Pak," jawab Anna gugup.

"Kalau begitu, bareng aku saja. Kebetulan aku juga sendiri," tawar Tama sambil memamerkan senyum lima jarinya.

Anna tersenyum kaku mendengarnya. Ketua timnya itu tampaknya benar-benar ingin mencari perhatiannya.

"Maaf, Pak. Saya berangkat sendiri saja. Nggak enak kalau merepotkan Pak Tama untuk antar jemput saya," tolak Anna halus.

"Ah, kau ini seperti sama siapa saja. Lagipula aku nggak merasa repot kok kalau untuk kamu," desak Tama lagi.

Anna semakin rikuh. Tampaknya Tama persisten sekali ingin menjemputnya. Anna harus punya alasan kuat supaya ia bisa melepaskan diri dari Tama.

Bersambung

CEO'S LADYHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin