CHAPTER 50 - Siasat Tama

81 8 2
                                    


Pagi itu sudah jam delapan lewat. Meja yang ada di ujung masih saja kosong. Belum tampak sosok Tama ada di situ. Padahal biasanya ia selalu datang lebih pagi.

"Pak Tama hari ini absen?" tanya Anna pada Wina.

"Tadi pagi Pak Tama mengirim pesan padaku katanya sakit. Tapi, nggak tahu sakit apa," jawab Wina.

Anna manggut-manggut. Musim penghujan seperti ini memang seringkali mendatangkan banyak penyakit. Dari yang ringan seperti batuk pilek, sampai yang mengancam nyawa seperti DBD atau leptospirosis.

"Pak Tama minta kita menyelesaikan laporan hasil uji coba produk. Hari ini semua harus beres," uajar Wina lagi.

Anna segera menyalakan komputernya dan membuka beberapa file berisi proses dan hasil uji coba. Ia kemudian mengetik laporan dengan runtut dan rapi.

"Kalau sudah selesai kamu print dokumen-dokumennya sebanyak tiga kali, ya. Untuk arsip juga jangan lupa!" ingat Wina.

"Ok, Mbak. Siang atau sore nanti semoga sudah selesai. Ini tinggal menunggu hasil laporan milik Danu dan Rasta," jawab Anna.

"Iya, sebentar lagi juga siap. Rasta tuh yang belum mulai apa-apa," jawab Dani dari balik biliknya.

"Pokoknya siang nanti sudah beres. Jadi, hari ini kita bisa kirim file-nya juga ke Pak Tama untuk diperiksa," ucap Wina yang sekarang bertanggung jawab mengawasi kinerja tim-nya saat Tama absen.

Tak ada lagi yang bicara di antara mereka. Semuanya sibuk dengan tugasnya masing-masing. Saat kepala bagian absen bukan jadi suatu alasan untuk berleha-leha dan bersantai. Semua harus tahu apa tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan.

*

*

Tama meringkuk di atas pembaringannya yang besar. Sudah beberapa hari ia tak bisa tidur lelap karena perintah berbahaya yang harus ia lakukan. Dan hari ini akhirnya ia ambruk juga. Kepalanya pusing seakan berputar ke segala arah dan tubuhnya menggigil. Pagi tadi ia sudah minum obat dan memesan bubur, tapi tubuhnya tak membaik juga.

Tama yakin bukan tubuhnya yang memerlukan obat. Tapi batin dan pikirannya. Ia hanya bisa menyesali apa yang sudah dilakukannya. Rasa cemburu sudah menutup logikanya. Ia sampai tak bisa lagi membedakan mana yang harus dan tidak seharusnya ia lakukan.

Sialnya, ada orang, entah siapa, memperalat kelemahannya dan kebodohannya untuk menjadi senjata yang menguntungkan orang itu. Tama tak tahu apa tujuan orang itu memaksanya untuk merayu Anna. Detail apa saja yang harus dilakukannya membuatnya bergidik ngeri.

Ia merasa menjadi laki-laki bejad saat membaca perintah detail apa yang harus dilakukannya. Tama tak bisa menolak, melakukannya pun ia tak tega.

Tama mencintai Anna, ia sadar hal itu. Makanya ia juga tidak mau kalau harus menjebak Anna dan memaksanya melakukan apa yang tidak dia suka. Tidak, Tama bukan laki-laki seperti itu.

Tapi, Tama benar-benar tak punya pilihan lain. Mungkin setelahnya Tama akan memohon ampun pada Anna. Kalau gadis itu masih sudi bertemu dengannya, itu hal pertama yang akan Tama lakukan.

Tama meraih ponselnya. Ia mengetikkan sebuah pesan. Hari ini waktunya. Siap tidak siap Tama harus melakukan perintah itu.

*

*

Anna menerima pesan dari Tama untuk membawakan dokumen yang sudah diprint dan dijilid dalam file holder. Kebetulan rumah Anna searah, rumah di alamat Anna yang lama maksudnya. Kalau rumah Evander jelas berbeda arah.

Anna hanya mengiyakan saja perintah atasannya itu. Tak mungkin juga Anna menolaknya, meskipun dari rumah Tama ke rumah Evander bisa menghabiskan waktu lebih dari dua jam jika ia tidak terjebak macet.

"Sudah belum laporanmu?"" tanya Anna pada Rasta, "Pak Tama minta dikirimkan hardcopynya sore ini. Aku yang bawa ke rumahnya sekalian pulang."

"Iya sebentar lagi. Tinggal kesimpulan. Nanti aku bantu print-kan," ujar Rasta sambil nyengir.

Anak satu ini memang suka mengerjakan sesuatu di saat-saat terakhir. Anna yakin waktu sekolah pun saat mengumpulkan tugas juga begitu. Watak minus seseorang memang susah hilang.

"Print satu kali saja dulu kalau begitu. Kalau Pak Tama, sudah oke dan tidak ada revisi baru print tiga kali," saran Wina.

"Iya, Mbak," jawab Anna.

Namun, menunggu Rasta membuat kesimpulan mengalahkan waktu membuat adonan donat. Menjelasng pukul tiga sore Rasta baru menyelesaikan tugasnya. Membuat Anna buru-buru mencetak hasilnya sambil cemberut karena waktunya sudah sangat mepet.

"Lain kali kerjakan jauh-jauh hari. Pak Tama sudah menyuruh kita sejak tiga hari yang lalu, kau baru buat sekarang," sembur Anna sebal.

Rasta yang dari pagi terkena omelan dari Wina, Danu, dan Anna hanya nyengir bersalah sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

*

*

Senja sudah mulai turun saat Anna naik taksi menuju rumah Tama. Hujan rintik-rintik pun mulai turun. Anna menilik ponselnya lagi dan melihat lokasi rumah Tama yang dibagikan sebelum Anna berangkat.

Senja yang ramai. Kendaraan memenuhi jalan raya membuat laju kendaraan pun tersendat karena terjebak macet. Perut Anna mulai berbunyi karena ia lapar. Siang tadi ia hanya sempat makan sedikit.

Jaraknya kurang lima ratus meter lagi. Anna melihat keluar jendela sambil tetap melihat posisi kendaraan yang ditumpanginya.

"Ada pertigaan di depan belok kiri, Pak!" ujar Anna.

Pengemudi taksi itu menuruti apa yang diminta penumpangnya. Di depan memang ada pertigaan terlihat dari lampu kuning yang berkelap-kelip di atasnya sebagai tanda pengemudi harus berhati-hati saat melewatinya.

Taksi turun dari jalan beraspal ke jalanan berpaving. Rumah Tama terletak di perumahan berupa tanah kavling. Jalan di bagian depan masih berupa tanah kosong tang ditumbuhi rumput tinggi. Semakin masuk ke dalam, baru terlihat beberapa rumah yang belum terlalu banyak.

"Yang sebelah mana, Neng?" tanya sopir taksi.

"Masih lurus, Pak," jawab Anna.

Ia kembali mengecek ponselnya memastikan arahnya tepat. Jalan-jalan di kavling ini belum ada penanda jalannya. Anna harus melihat plat nomor tiap rumah untuk melihat blok dan nomor rumahnya. Rintik hujan membuat matanya kesulitan membaca plat nomor di setiap pagar rumah.

"Jalan di depan belok kanan, Pak," ujar Anna.

Sopir taksi itu membelokkan kendaraannya ke arah yang dituju Anna.

"Blok E nomor 4," gumam Anna sambil membaca plat nomor rumah bercat krem dengan pagarnya yang tinggi.

Perumahan tanah kavling ini memang masih sepi, tapi bangunan yang sudah didirikan hampir semuanya berupa rumah mewah dengan pagar tinggi.

"Depan itu, Pak, rumahnya," seru Anna senang karena memang hanya satu rumah lagi yang ada di sepanjang jalan yang gelap itu.

Dan benar saja, Anna menarik napas lega saat menemukan rumah Tama, Blok E nomor delapan. Seandainya saja Anna tahu apa yang sedang direncanankan Tama untuknya, ia tak akan sebahagia itu menemukan rumah Tama.

Bersambung

CEO'S LADYWhere stories live. Discover now