CHAPTER 60 - Now or Never

81 8 0
                                    


Anna baru pulang menjelang senja. Ia putuskan lebih cepat menuntaskan masalahnya dengan suaminya lebih baik. Ia tak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut atau berlalu begitu saja.

Rumah masih tetap sepi saat Ana memasuki rumah besar yang selama ini hanya mereka huni berdua. Meskipun sebelumnya sudah merasa sepi, tapi Anna merasa rumah ini semakin sepi.

Anna menaiki tangga di lantai dua yang masih gelap. Evander belum pulang kerja tampaknya. Pak Karyo hanya menyalakan lampu di luar rumah dan lantai bawah.

Anna masuk ke ruang kerja Evander. Tempat yang biasanya ia habiskan saat malam sambil menunggui Evander bekerja. Namun, tampaknya hal itu tak akan terjadi lagi. Tidak, setelah apa yang Evander lakukan padanya.

Anna gamang apa yang akan ia lakukan setelah ini. Dulu, sahabat-sahabatnya pernah memperingatkannya tentang bagaimana Evander. Ia menutup mata dan telinganya. Berpura-pura buta dan tuli.

Namun, sekarang ia tak bisa lagi seperti itu. Sakitnya teramat sangat, bahkan sampai sekarang pun hati Anna masih merasakan nyeri yang sama.

Anna menutup pintu ruang kerja Evander dan berlalu menuju kamarnya. Biasanya Evander pulang lebih malam. Ia bisa mandi atau berendam dulu dalam bathtub. Untuk membuat tubuh dan pikirannya lebih rileks.

Anna berendam dalam bathtub besar yang sudah dipenuhinya dengan air hangat dan sabun. Aroma sandalwood yang menenangkan membuat tubuh dan pikirannya lebih rileks. Ia ingin melepaskan sejenak beban hatinya dengan memanjakan tubuhnya.

Air hangat dan aroma yang menenangkan membuat Anna mengantuk. Apa lagi semalaman ia susah tidur. Mungkin semalam ia baru tidur menjelang subuh karena kebanyakan menangis.

Anna hampir saja terbuai. Namun, ia terkejut saat tubuhnya ditarik ke atas dan serta merta ia membuka matanya dan mendapati Evander berjongkok di dekatnya.

"Jangan tidur sambil berendam! Kau bisa tenggelam," tukasnya.

Anna gelagapan dan membetulkan letak tubuhnya di bathtub. Ia tak berani duduk atau menegakkan tubuhnya karena tahu tubuh telanjangnya hanya ditutupi busa sabun dalam bathtub.

"Kau baru sampai?" tanya Evander sambil membuka manset kemejanya dengan matanya yang masih lekat menatap Anna.

Anna hanya mengangguk dan mengalihkan padangannya ke arah lain. Ia tak suka ditatapi Evander saat keadaannya seperti ini dengan suasana hati yang buruk pula.

"Kau mau apa?" tanya Anna panik saat Evander melepas pakaiannya dan melemparkannya di lantai kamar mandi.

"Masuk bersamamu. Aku juga belum mandi," jawabnya sambil mendorong bahu Anna ke depan supaya ia bisa masuk ke dalam bathtub juga.

"Nggak akan muat!" tolak Anna panik.

Mandi bersama seperti ini tak ada dalam rencananya. Anna takut rencananya untuk menginterogasi suaminya berubah menjadi kegiatan lain yang tak bisa ia tolak.

Evander tak menjawab dan ia memosisikan tubuhnya di belakang tubuh Anna yang setengah terduduk. Membuat Anna menyilangkan lengannya di depan dadanya. Laki-laki itu kemudian menarik tubuh Anna dan membuat dadanya sebagai sandaran tubuh Anna.

"Begini lebih baik," ujar Evander yang dirutuki Anna.

"Aku belum memaafkan kelakuanmu," tukas Anna sebal.

Salahnya yang ingin menikmati aromaterapi untuk meredakan stress dan emosinya. Sekarang malah dia yang makin emosi dengan ulah suaminya yang tampaknya tak mau tahu ia sedang marah atau tidak.

"Aku tahu," bisik Evander.

Jari-jarinya menjangkau bahu Anna dan mulai memijitnya pelan.

'Laki-laki ini tahu saja menggunakan kesempatan dalam kesempitan,' keluh Anna dalam hatinya. Namun, Anna tetaplah perempuan biasa. Bahunya yang tegang pun menjadi rileks dan ia tanpa sadar merebahkan punggungnya di dada bidang Evander.

"Kau akan mendengarkan kalau aku menceritakan peristiwa kemarin?" tanya Evander. Jari-jarinya mengusap lengan Anna yang disandarkan di kaki kanannya yang ditekuk.

"Cerita yang sebenarnya atau sebagai alasan?" tanya Anna.

"Tergantung pandanganmu. Aku akan menceritakan yang sebenarnya, tapi kalau kau menganggapnya sebagai alasan, aku bisa apa?" ujar Evander.

Anna terdiam. Ia tak tahu mana yang benar mana yang salah. Mana yang jujur mana yang hanya dusta. Bagaimana ia bisa memberikan penilaian yang objektif kalau ia benar-benar tak tahu apa-apa.

"Aku sering Winston Hotel memang," ucap Evander memulai ceritanya, "Sebagian besar untuk bisnis, lainnya untuk minum. Dengan perempuan juga karena Om Burhandi atau kolega bisnisku memang sengaja menyediakannya untukku."

Hati Anna rasanya remuk mendengar ucapan Evander barusan. Seharian ini ia menguatkan hatinya untuk mendengar pengakuan ini. Tapi, mendengarnya langsung dari bibir Evander membuat hatinya lebih sakit.

"Kamar yang kaulihat kemarin itu pemberian dari Om Burhandi untukku. Aku sering menggunakannya secara pribadi. Perempuan-perempuan yang mereka siapkan memang tidur sekamar denganku."

Evander terdian sejenak. Dilihatnya raut wajah Anna yang lebih keruh daripada sebelumnya. Ia mengusap lembut lengan istrinya sebelum melanjutkan ceritanya.

"Tapi, aku tak pernah menyentuh mereka. Aku akan mengembalikan mereka menjelang pagi. Karena aku tahu, Om Burhandi akan menghukum mereka dengan cara yang paling kejam kalau aku mengembalikan mereka saat itu juga karena artinya mereka tak bisa memuaskanku. Aku tahu semua bisnis kotornya," ucap Evander.

Anna merasakan embusan napas hangat di puncak kepalanya. Ia mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan Evander. Menafsirkan setiap informasi yang diterima otaknya supaya lebih dapat ia pahami.

"Kau tak pernah sekalipun tidur dengan perempuan-perempuan itu?" tanya Anna memastikan.

"Aku memang bukan orang suci, Anna. Aku pernah bercinta dengan mantan-mantanku memang. Tapi aku tak pernah tidur dengan pelacur. I never have sex with hookers. Aku hanya melakukannya dengan orang yang aku cintai," ujar Evander lagi.

"Lalu yang kemarin?" tanya Anna.

"Om Burhan meneleponku karena ada koleganya yang mau bertemu. Aku biasanya menunggu di kamar itu. Sialnya sudah ada yang terlebih dahulu ada di dalam. Perempuan itu tiba-tiba saja memelukku dan celakanya kau melihatnya," jelas Evander.

"Apa Om Burhandi menjebakmu?" tanya Anna.

Tapi kata menjebak rasanya kurang tepat. Karena tidak ada yang tahu kalau Anna menguntit Evander.

"Mungkin, aku tidak tahu. Fantasi seks Om Burhan memang seringkali liar. Tapi, apa maksudnya aku jelas tidak tahu. Aku belum menghubunginya sampai sekarang," ujar Evander.

Anna hanya termangu. Apakah ia bisa yakin begitu saja? Tapi ada terselip ragu dalam batinnya. Mungkin saja semua yang dikatakan Evander ada benarnya juga, tapi mungkin juga tidak.

Tiba-tiba Anna teringat foto-foto yang pernah dikirimkan orang tak dikenal padanya. Ia masih menimbang apa sebaiknya ia tunjukkan foto-foto itu dan akan dilihatnya alasan apa yang bisa diberikan suaminya itu padanya.

"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," ujar Anna sambil menegakkan tubuhnya.

Ia berniat mengambil bathrobe-nya yang digantungkan di atas kepalanya. Meskipun harus melewati kepala Evander tapi ia ulurkan lengannya panjang-panjang menjangkau bathrobe-nya.

"Mau ke mana?" tanya Evander menjangkau pinggangnya membuat Anna terenyak kembali dengan perutnya menempel di dada suaminya.

"Aku mau mengambil ponselku. Lepaskan tanganmu!" ujar Anna setengah berteriak. Posisinya ini membutnya tidak nyaman.

"Itu bisa menunggu nanti," bisik Evander sambil menahan tubuh Anna di atas tubuhnya.

Evander menjangkau kepala Anna dan mencium wajahnya.

"Aku masih marah padamu," desak Anna berusaha melepaskan tubuhnya. Tapi licinnya sabun membuat apa yang dilakukannya sia-sia.

"Evander, lepas!" tolak Anna.

Namun, laki-laki itu tampaknya tak memedulikan penolakan Anna. Ia kembali menjelajahi wajah Anna dan menemukan bibirnya. Evander memagut bibir Anna lembut yang membuat Anna terdiam seketika.

Bersambung

CEO'S LADYWhere stories live. Discover now