CHAPTER 59 - Tak Bisa Hanya Diam

74 8 0
                                    


Lalu lintas yang macet dan disertai hujan adalah dua hal yang dibenci pengendara. Seperti halnya Evander saat ini.

Evander mengumpat kesal sambil memukul setir mobilnya dan menekan klakson sekancang-kencangnya. Namun, deretan kendaraan di depannya tak juga bergerak maju.

Ia harus cepat-cepat menjelaskan semuanya pada Anna. Sekeluar dari lobi Winston Hotel tadi, Evander sudah tidak menemukan sosok Anna.

Ia khawatir Anna celaka di jalan karena mengemudi dengan suasana hati yang tidak semestinya. Hari ini setahu Evander, Anna akan mengambil mobilnya kembali dari rumah lamanya.

Evander berharap Anna pulang ke rumah. Ia harus menjelaskan semuanya pada Anna di rumah.

Evander menerima telepon. Nama Om Fandi tertera pada layar ponselnya. Ia tak punya waktu untuk menerima telepon itu. tapi, mengingat kalau Om-nya itu mungkin ada hal penting, Evander pun menerima panngilan itu.

"Anna di sini dengan Tante Kenia. Sebaiknya kau kemari."

Evander mengembuskan napas lega saat tahu Anna dalam kondisi selamat, meski hanya raganya. Evander tahu hatinya seperti apa.

Evander membelokkan mobilnya cepat menuju arah berlawanan. Tak dihiraukannya mobil lain yang berdecit mengerem mendadak di belakangnya. Tujuannya satu, ke rumah Fandi secepatnya.

Namun, sial kedua sisi jalan raya itu pun sama macetnya. Membuat Evander kembali melampiaskan kejengkelennya dengan menekan klakson kuat-kuat. Persetan dengan pengemudi lain yang mungkin sudah menyumpahinya.

Karena macet, Evander harus menghabiskan waktu dua kali lebih lama daripada saat-saat normal. Sampai di rumah Fandi, ia langsung meloncat turun dari mobilnya dan bergegas masuk ke teras rumah yang gerbangnya tak terkunci.

"Anna di mana?" tanyanya pada Fandi.

"Di ruang kerja. Om perlu bicara sebentar denganmu," ujar Fandi sambil menarik satu kursi makan untuknya duduk.

Namun, Evander tak menghiraukan ajakan Fandi. Ia berlalu ke bagian belakang rumah menuju ruang kerja Om dan Tantenya itu.

Evander membuka pintu ruang kerja itu dengan cepat dan melihat Anna duduk di atas sofa sambil memeluk cushion. Air mata masih mengalir meski istrinya itu berulang kali menyekanya kasar.

"Kita pulang. Kita selesaikan semua di rumah," ujar Evander sambil menarik lengan Anna.

"Aku tidak mau!" teriak Anna keras. Ia menyentakkan lengannya meskipun tenaganya tak cukup kuat menandingi tenaga Evander.

Evander tetap tak menyurutkan cekalan tangannya. Setengah menarik paksa Anna dari atas sofa, ia menarik lengan Anna dan mengajaknya pulang.

"Lepas!" terak Anna semakin keras. Tangannya yang bebas memukul lengan Evander yang mencengkeram lengannya.

"Van, lepas!" ujar Kenia yang sudah ada di ruangan itu dan melihat Anna dan Evander saling mempertahankan dirinya masing-masing.

"Kami akan selesaikan masalah kami di rumah, Tante," ucap Evander.

"Tapi, bukan begitu caranya. Evan, lepas!" ucap Kenia tegas.

Evander memilih mengalah dan melepaskan cekalan tangannya. Apalagi Fandi ada di situ dan tengah menatapnya tajam.

"Om, ingin bicara denganmu sebentar. Anna bisa di sini dulu dengan tantemu. Kita bicara di depan," ajak Fandi tegas yang mau tak mau harus dituruti Evander.

Evander menatap Anna yang masih tergugu dan tak mau menatapnya. Evander tahu ia tak bisa memaksa Anna dalam keadaan seperti ini. Dengan langkah gontai, Evander pun keluar dari ruang kerja dan melangkah mengikuti Fandi.

CEO'S LADYWhere stories live. Discover now