CHAPTER 31 - Chiara Odelia Noir

116 12 0
                                    


Anna turun dari dalam mobil yang mengantarnya siang itu. Tangannya menenteng beberapa paper bag yang sebagian besar isinya buku-buku. Hari ini karena sudah tak tahan dengan bosan yang menumpuk, membuat Anna jalan-jalan ke mall meski tak lebih dari dua jam.

Putar-putar sendiri di dalam mall ternyata jauh lebih membosankan. Ia hanya mampir ke toko buku, lalu memutuskan pulang. Lebih baik duduk di rumah dan membaca. Satu buku besar paling tidak bisa untuk membunuh rasa bosannya dalam sehari.

Saat memasuki ruang tamu, Anna dikejutkan dengan kehadiran seorang perempuan muda yang kira-kira usianya tak jauh beda dengannya duduk dengan anggunnya di salah satu kursi tamu.

Saat melihat kedatangan Anna, perempuan itu tersenyum dan menghampirinya.

"Hai, Anna!" sapa perempuan itu dengan suara lembutnya yang mendayu.

Perempuan itu bahkan memeluk Anna yang hanya berdiri seperti patung. Siapa perempuan ini? Batin Anna dalam hati. Jangan bilang dia salah satu perempuan Evander yang datang mau menge-klaim tempatnya di sini.

"Oh, ya, hai!" balas Anna kikuk pada perempuan sok akrab yang tiba-tiba memeluknya itu.

Perempuan tadi melepaskan pelukannya dan menatap wajah Anna yang mulai tampak bersiap siaga.

""Oh, maaf, aku belum memperkenalkan diri. Chiara Odelia Noir. Putri Alviando Noir. Keluarga kami dan keluarga Alakai sudah saling mengenal sejak lama," ujar perempuan tadi sambil tersenyum manis.

Wajah Anna berangsur-angsur rileks mendengar nama itu. Evander pernah memperkenalkannya pada Alviando Noir saat pernikahan mereka di Bali. Waktu itu Alviando penah berkata kalau anaknya sedang sakit di New York. Jadi, tak bisa ikut hadir.

"Salam kenal," ucap Anna sambil membalas senyumnya.

Chiara Noir nampaknya jenis orang yang mudah akrab dengan siapa saja. Raut mukanya ceria meski terlihat sedikit pucat. Dan wajah cantik berbentuk hati yang membuatnya seperti gadis kecil yang manis.

"Lama menunggu?" tanya Anna sambil mengajak Chiara kembali duduk.

"Tiga puluh menit," sahutnya yakin.

Sejak Chiara datang, ia tak henti-hentinya melirik jam tangannya yang berhiaskan mirah di tepiannya. Dan Chiara tahu kalau ia sudah menunggu tuan rumah datang sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Oh, ya, kau mau minum apa, Chiara?" tanya Anna lagi.

Anna baru sadar kalau siang begini tak ada asisten rumah tangga yang masih tinggal. Jadi, tak akan ada yang membantunya untuk menjamu tamunya.

"Tidak perlu repot-repot. Aku sudah bawa sendiri," sahut Chiara sambil menunjukkan botol infuse water dari dalam tasnya.

Anna hanya manggut-manggut. Tamu yang satu ini sungguh di luar kebiasaan. Bisa-bisanya membawa minum sendiri saat bertamu.

"Maaf, ya, aku tidak bisa datang waktu kalian menikah. Sedang sibuk sekali waktu itu. Banyak pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan," ucapnya lagi dengan wajah memohon.

Anna mengerutkan keningnya bukankah ayahnya dulu bilang kalau ia sedang sakit, bahkan ibunya sampai menungguinya di New York.

"Tidak apa-apa. Hanya pesta kecil. Eh, maaf, kalau tidak salah ayahmu bilang kalau waktu itu kau sedang sakit," ujar Anna.

Mimik wajah Chiara langsung berubah mendengar ucapan Anna. Namun sedetik kemudian senyum lebarnya kembali menghias wajah cantiknya.

"Memang akhirnya aku sakit karena banyaknya pekerjaan yang harus aku handle," ucapnya lagi.

Anna hanya tersenyum mendengarnya. Ia harus belajar menutup mulutnya yang seolah ingin tahu apa saja yang tamunya alami di New York. Melihat perubahan wajah Chiara barusan meskipun hanya beberapa detik membuatnya merinding entah kenapa.

Chiara terlihat sedang mencari sesuatu dalam tasnya. Ia lalu mengeluarkan kotak berukuran sedang dengan pita merah di atasnya.

"Happy wedding, maaf hadiahnya sedikit terlambat," ujarnya sambil mengulurkan kotak itu pada Anna.

Anna menerima kotak itu. Ia meletakkannya di pangkuannya. Tidak sopan kalau membuka hadiah langsung di hadapan yang memberi.

"Buka saja. Kamu pasti suka," ucap Chiara dengan mata berbinar.

Anna yang rencananya akan menyimpan hadiah itu, ragu-ragu membukanya. Merasa tak enak hati pada pemberinya khawatir kalau reaksinya setelah membuka hadiah jauh dari ekspektasi pemberinya.

Mata Anna terbelalak kaget dan ia menatap Chiara tak percaya. Dalam kotak beludru merah yang Anna angkat dari kotak pembungkusnya terdapat satu set perhiasan. Anna tahu harganya pasti mahal karena tak mungkin seorang Chiara Noir memberinya barang imitasi.

"Ini, ini, terlalu indah," ucap Anna terperangah.

Anna punya berset-set perhiasan di kamar atas. Tapi, itu semua pemberian Evander setelah menjadi suaminya. Ia tak pernah mendapatkan hadiah begitu mewah dari orang lain.

Melihat rekasi Anna yang terlihat seperti terkejut, kagum, dan tak percaya membuat Chiara tersenyum senang. Ia bahkan sempat bertepuk tangan melihat reaksi Anna yang ternyata sangat jauh melampaui ekspektasinya.

Tak salah pilih memang. Ia memesan satu set perhiasan kalung, anting, dan gelang dari salah satu jewelry langganannya di New York. Chiara merasa perhiasan adalah hadiah yang sangat pantas. Perempuan mana yang tak suka dengan perhiasan.

"Cocok kan hadiahnya? Sengaja aku pesan khusus. Untuk istri abangku tentu aku akan pilihkan yang terbaik," ucap Chiara.

"Abang?" tanya Anna tak mengerti.

"Evander sudah seperti kakakku sendiri. Kami sudah saling kenal sejak kecil. Makanya aku sangat menyesal karena tidak datang pada saat Evan menikah," jelas Chiara.

Anna mengangguk mengerti. Evander ini beruntung sekali. Di mana-mana ia dianggap sebagai keluarga. Di keluarga Om Fandi, keluarga Noir, dan mungkin juga di keluarga pamannya yang Anna lupa siapa namanya.

"Ah, sayang sekali aku sebenarnya masih ingin ngobrol banyak denganmu. Tapi, sebentar lagi sudah waktunya minum obat. Aku masih belum terlalu sehat. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, hmm?" ucap Chiara.

"Kau boleh mampir kapan saja. Aku biasanya ada di rumah. Jarang pergi ke mana-mana," balas Anna.

"Tentu saja. Aku akan sering-sering ke sini. Atau kita juga bisa keluar berdua. Senang sekali memiliki teman, oh, bukan, memiliki saudari sepertimu," kata Chiara sambil tersenyum senang.

Anna juga membalas senyuman itu. Sepertinya ia bisa berteman baik dengan Chiara. Kalau ia bisa punya teman lagi tentu sangat menyenangkan. Apalagi tadi Chiara menyebutnya sebagai saudari. Sesuatu yang tak bisa didapatkannya selama ini. Saudarinya lebih menganggapnya sebagai musuh dan saingan.

Anna mengantarkan Chiara sampai di depan pintu. Di tepi jalan sudah ada luxury car merah yang menunggu. Anna melihat kepergian Chiara sampai mobilnya berbelok di ujung jalan.

Bersambung

CEO'S LADYWhere stories live. Discover now