CHAPTER 48 - Memata-Matai

126 10 2
                                    


Anna menimbang-nimbang dalam hati. Apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia ingin penjelasan, tapi ia juga takut penjelasan yang ia dapatkan justru menambah luka hatinya. Anna belum siap mendengar alasan paling buruk terucap dari bibir Evander.

Sejak sampai di rumah, ia bolak-balik melihat layar ponselnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Selisih waktu Jakarta dan Singapura hanya satu jam. Sekarang belum terlalu larut kalau hanya sekadar menelepon dan menanyakan kabar.

Sejak berangkat kemarin, Evander memang belum meneleponnya. Lupa jelas tidak mungkin. Sibuk? Kemarin ia memang terlihat sibuk, meski dalam benak Anna kesibukan Evander yang lain jelas tak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Rasa sakit dan curiga terus meracuni pikiran Anna. Membuatnya tak bisa berpikir jernih dan tentu saja sangat mengganggu hari-harinya. Anna teringat apa yang pernah diucapkan Om Burhandi beberapa bulan yang lalu. Status suami bagi laki-laki hanya berlaku di rumah, di luar rumah laki-laki tetaplah laki-laki yang membutuhkan waktu bersenang-senang.

Anna geram kalau mengingat hal itu. Coba saja kalau perempuan yang punya pendapat seperti itu, pasti sudah jadi bulan-bulanan publik.

Anna masih sibuk mengutuki sana-sini. Mengutuk Evander yang tak menghubunginya, tapi malah bersenang-senang dengan perempuan lain. Mengutuki dirinya sendiri yang tak punya keberanian hanya untuk sekadar bertanya, apalagi memprotes kelakuan suaminya.

Yang ia bisa sekarang hanya menangis meratapi dirinya dan hatinya. Evander bersikap baik padanya, tapi juga pada perempuan lain di luar sana.

Anna menelungkupkan tubuhnya dan menumpahkan semua lewat air matanya. Namun, sesaat kemudian ponselnya berbunyi. Dan peneleponnya adalah orang yang membuatnya patah hati hari ini.

'Sudah tidur?' tanya Evander dari seberang sana.

Anna mencebik dalam hati. Kalau ia sudah tidur tak mungkin telepon itu akan diangkatnya. Anna selalu mengalihkan setelan ponselnya ke mode sunyi saat tidur.

'Belum,' jawab Anna singkat.

'How's today?' tanya Evander lagi.

'Seperti biasa,' jawab Anna lagi. Ia malas menjawab lebih panjang karena ia sedang jengkel dengan peneleponnya.

'Nggak ada yang membuatmu jengkel lagi?' tanya Evander sambil terdengar tawanya.

Ada, kamu. Gerutu Anna dalam hati. Biasanya saat malam menjelang, di ruang kerja Evander atau di kamar, Anna sering bercerita tentang apa saja yang dialaminya di kantor. Tentang Meita yang selalu menyindirnya, tentang Danu yang mulutnya selalu bicara tanpa kontrol. Namun, Anna tak pernah bercerita tentang Tama, karena menurut Anna itu tak penting. Lagipula buat apa Anna bercerita tentang siapa saja yang naksir dirinya. Ia ingat Evander akan mengampelas mulut Tama dengan planer karena ketahuan mencium tangannya.

'Kamu sendiri sedang apa?' tanya Anna mencoba memancing kejujuran suaminya.

Dalam hatinya ia berharap suaminya tak sedang memeluk perempuan lain di ranjangnya malam ini.

'Baru pulang. Hari ini ketemu klien sampai malam,' jawab Evander, 'besok malam aku sudah kembali. Kau mau dibawakan apa?'

'Tak usah bawa apa-apa. Barang-barangku di rumah sudah menumpuk dan jarang aku pakai,' ucap Anna.

Pulang saja lebih cepat. Itu lebih baik biar tak dekat-dekat lagi dengan makhluk-makhluk pemikat sukma.

'Ok, sampai jumpa besok kalau begitu. Sleep tight!' ucap Evander sebelum menutup teleponnya.

Anna melemparkan ponselnya sembarangan di atas ranjang. Telepon dari Evander tadi tak juga melunakkan hatinya. Ia masih merasa kesal.

*

CEO'S LADYМесто, где живут истории. Откройте их для себя