CHAPTER 28 - Kompromi

121 12 2
                                    


Saat Anna tiba di rumah sore itu, Bentley hitam sudah terpakir di carport. Anna mengeluh lagi. Tuan Muda Alakai sudah pulang rupanya. Tapi tumben sekali sore begini ia sudah ada di rumah.

Anna memasuki rumah dan benar saja Evander sudah berdiri di ruang tamu. Tangannya terlipat di depan dada dan menatap Anna tajam.

"Dari mana?" tanyanya singkat dengan suara rendahnya yang terdengar seperti ancaman di telinga Anna.

Ugh, seharian ini Anna sudah merasa senang mendengar kisah cinta Fandi dan Kenia. Namun, sekarang ia harus dihempaskan kembali ke alam nyata dan menghadapi suaminya yang Anna yakin tak pernah memiliki rasa cinta sedikit pun padanya.

"Rumah Tante Kenia," jawab Anna singkat.

Ia buru-buru naik ke lantai dua. Malas meladeni Evander, mungkin masih mau melanjutkan petuah marahnya seperti tempo hari.

"Naik apa?" tanya Evander yang mengikuti di belakangnya.

"Taksi online."

"Bukankah aku pernah bilang kau bisa pakai sopirku. Tinggal telepon dan dia pasti datang. Atau kau bisa pakai mobil di garasi," kejar Evander.

"Lama. Lagian mobil-mobilmu terlalu besar," ucap Anna memberi alasan.

Lagi pula Anna biasa mengendarai mobil kecil lima penumpang. Masak iya Anna harus membawa Herrier atau Alphard yang ada di garasi yang dua kali lebih besar dan lebar daripada yang biasa ia bawa.

Mobil-mobil di garasi Evander memang berupa SUV sport yang besar. Ada satu mobil sedan, tapi Anna tak tertaik memakainya. Bukannya tidak tertarik, tapi tak bisa dipakainya sembarangan. Melihat merk-nya saja membuat Anna bergidik. Kalau tergores sedikit saja, meski tanpa sengaja, Anna takut terjadi badai angin ribut di rumah. Anna yang biasa memakai mobil kecil tentu akan kesulitan memperkirakan jarak dan kemudinya.

Anna duduk di atas kasur dengan kasar. Tote bag-nya ia letakkan di sampingnya. Wajahnya sudah ditekuk berkali-kali menandakan hatinya yang sedang kesal.

"Sorry," ucap Evander.

Anna mendogak menatap Evander yang berdiri di depannya dengan wajah penuh tanda tanya.

"Untuk apa?" ucapnya tak mengerti.

"Kemarin sudah marah padamu," lanjut Evander,"seharusnya aku tak perlu begitu."

Kalau saja Evander mau bersabar sedikit kemarin lusa mungkin ia tak perlu membuat perempuan di depannya itu menangis semalaman.

Evander tahu Anna menangis semalaman karena saat dini hari ia kembali ke kamar, istrinya itu tidur masih dengan terisak. Bantal yang ada di sisi luar juga basah dengan air mata. Paginya Anna juga tak menemaninya sarapan seperti biasanya.

Harusnya ia tak perlu sedemikian frontalnya terhadap Anna. Bukankah Anna juga berhak memasuki ruangan mana pun di rumah ini. Bukankah rumah Evander rumah Anna juga.

Evander sadar ia terlalu lama membiarkan trust issue menggerogotinya. Ia sengaja menyendiri tanpa siapa pun karena merasa sulit mempercayai orang lain. Terlebih kejadian demi kejadian tragis yang dialami keluarganya membuatnya mewaspadai orang-orang di sekitarnya, kecuali keluarga Fandi dan Reynard tentunya.

Hari ini Evander merasa tak tenang di kantor sebab sejak tadi pagi sosok Anna tak nampak di kamera CCTV mana pun yang ada di rumahnya. Ia hanya melihat Anna yang keluar rumah. Evander sempat mengira Anna kabur dari rumah karena kejadian tempo hari.

"Kalau perlu apa-apa kau bisa masuk ke ruang kerjaku. Aku juga tak pernah melarangmu untuk diam di sana. Ada buku-buku yang mungkin kausuka. Tapi, komputer yang ada di sana memang aku kunci dengan password karena banyak portofolio kerjaku di dalamnya. Aku tak mau pekerjaanku diakses siapa pun tanpa sepengetahuanku," ucap Evander lagi.

CEO'S LADYWhere stories live. Discover now