CHAPTER 54 - Setelah Badai

150 8 5
                                    


Anna bangun pagi itu dengan malas. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Kepalanya juga pusing. Semalaman ia tak bisa tidur. Anna baru bisa memejamkan mata saat dini hari.

Ia berbalik dan sisi ranjang yang biasanya ditempati Evander masih kosong. Entah di mana orangnya sekarang, mungkin di ruang kerja, mungkin juga tak pulang.

Anna mengeluh pelan. Apa Evander mau mendengar penjelasannya? Atau ia akan diabaikan? Atau ia akan dihajar seperti Tama? Anna tak tahu dan pikiran-pikiran menyeramkan itu semakin membuatnya bergidik ketakutan.

Anna bangkit dan setelah mencuci wajahnya, ia turun ke bawah. Ia mengambil aspirin yang ada di kotak obat dan meminumnya.

Di kulkas masih cukup banyak makanan yang tinggal dihangatkan, tapi Anna tak selera makan hari itu. Ia kembali ke lantai atas dan duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya.

Pagi yang mendung. Sama dengan suasana hatinya saat ini. Anna tak menengok ke ruang kerja Evander. Takut kalau harus bersirobok dengannya. Ia takut Evander masih dikuasai emosi dan melampiaskannya padanya.

Baru kali ini ia menemui laki-laki yang terlihat begitu menakutkan saat marah. Selama ini Anna tak pernah melihat Evander marah di rumah. Meskipun dalam pekerjaannya mungkin sering membuatnya emosi, tapi Evander tak pernah membawa kemarahannya sampai di rumah. Baru kali ini dan itu semua karena Anna. Bukan, bukan Anna tapi Tama.

Anna menjangkau ponselnya yang ada di atas meja. Ia belum menghubungi kantornya untuk izin hari ini. Evander melarangnya keluar rumah. Dan asumsi Anna, itu termasuk ia tak boleh masuk kerja. Keadaannya hari ini sangat menyedihkan dan bagi Anna lebih baik ia izin tak masuk kerja hari ini.

Anna menekuk kakinya ke atas kursi dan menyandarkan dagunya. Kira-kira apa yang akan terjadi setelah ini. Apa pernikahan ini akan tetap berlanjut seperti sebelumnya ataukah akan berubah karena Evander yang tak lagi percaya padanya setelah peristiwa kemarin.

Anna tak habis pikir bagaimana bisa Tama berbuat kurang ajar seperti itu pada dirinya. Apalagi Anna dengan jelas mendengar suara keras Tama yang menyuruhnya berhenti karena ia adalah atasannya. Hell, bukankah seharusnya Anna yang berteriak seperti itu. Kenapa seolah-olah ia yang memaksa Tama, bukan sebaliknya.

Air mata kembali mengaliri pipi tirusnya. Anna benci mengingat peristiwa kemarin. Ia mengusap bibirnya kuat-kuat. Ia jijik mengingat jejak bibir Tama yang melumat bibirnya.

Anna bangkit dari duduknya. Ia masuk ke kamar mandi dan menyalakan waterfall shower. Dibiarkannya air dingin yang deras mengguyur tubuhnya. Ia biarkan air mata semakin mengalir deras seperti waterfall shower yang mengguyur tubuhnya saat ini.

*

*

Anna masih rebahan di atas ranjangnya. Hanya itu yang ia lakukan setelah dua hari absen bekerja. Pesan dari teman-temannya hanya ia jawab seperlunya. Menjelang siang Wina meneleponnya, tampaknya wanita itu belum cukup puas hanya mendapatkan pesan dari Anna.

"Ya, Mbak," jawab Anna saat ia mengangkat telepon Wina.

"Kau sakit apa, lama sekali?" tanya Wina.

"Hanya flu, Mbak. Tapi, memang dokter menyuruh istirahat beberapa hari," jawab Anna sekenannya.

"Kantor sepi sekali. Hanya aku dan dua cecunguk ini. Selain kau, Pak Tama juga belum masuk sampai sekarang. Kau tahu tidak, Pak Tama sekarang dirawat di rumah sakit," lapor Wina.

"Oh, ya, sakit apa, Mbak?" tanya Anna pura-pura tak paham.

"Pak Tama ditemukan tak berdaya di rumahnya dan berlumuran darah. Dua gigi depannya sampai tanggal. Sepertinya ada yang masuk ke rumahnya untuk merampoknya dan ia jadi sasaran perampok. Sementara ini, Danu yang menjagainya di rumah sakit karena keluarganya yang di Jogja belum datang," jelas Wina dengan suara yang dipelankan.

Anna bergidik ngeri karena ia tahu apa yang terjadi. Seingatnya Evander memukulnya tapi Anna yakin pukulan Evander tak sampai membuat Tama berlumuran darah. Mungkin bibirnya sobek terkena pukulan Evander. Tapi berlebihan sekali kalau Wina bercerita Tama sampai berlumuran darah.

Sudah dua hari ini Evander tidak pulang ke rumah. Entah seharusnya Anna merasa lega atau khawatir. Evander tak mengiriminya pesan. Pun Anna juga segan bertanya. Anna masih takut membayangkan sosok Evander yang menyeramkan.

Seringkali bayangan buruk menghantui pikirannya. Mungkin Evander menginap di Winston Hotel karena ia biasa menginap di sana, tapi dengan siapa. Sendiri atau dengan perempuan-perempuan yang dengan senang hati menghangatkan ranjangnya, menghibur Evander yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Mungkin juga menginap di rumah Om Fandi. Tapi pikiran kalau Evander menginap di Winston lebih mendominasi pikiran Anna. Membuatnya semakin frustrasi dan tersiksa karena pikirannya sendiri.

Malam sudah mulai naik. Anna tak melihat sinar matahari dari kaca jendela kamar yang gordennya belum ia tutup. Lampu kamar juga masih dibiarkannya padam membuat kamarnya gelap.

Anna mendengar pintu kamar terbuka dan membuat tubuhnya membeku di bawah selimut. Ia tak berani membalikkan tubuhnya menghadap pintu.

Anna merasakan bagian kasur di sebelahnya melesak ke dalam, tanda ada yang menempatinya. Lampu meja di sisi kiri ranjang juga dinyalakan. Dadanya berdegup keras.

Semula ia berharap Evander pulang sehingga Anna bisa menjelaskan apa yang terjadi. Tapi saat orangnya ada di sampingnya Anna malah ketakutan tak tahu harus berbuat apa.

Meskipun tak melihat sosoknya, Anna yakin Evander yang ada di sampingnya. Wangi parfumnya, meskipun samar, sangat Anna kenal.

Evander tak bersuara. Anna pun tidak. Anna merasa pelupuk matanya mulai kabur lagi. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya dan siap jatuh kapan saja. Anna menggigit bibir bawahnya kuat-kuat supaya isak tangis tak lolos dari bibirnya.

Alih-alih marah atau menarik tubuhnya kuat-kuat seperti saat di rumah Tama. Anna merasa ada lengan kuat yang memeluk tubuhnya erat-erat dari belakang. Ia juga mendengar bisikan Evander dekat dengan telinganya.

"Come!" bisiknya sambil memeluk tubuh Anna erat.

Anna tak bisa membendung air matanya lagi. Ia berbalik dan menatap wajah Evander sesaat, lalu membenamkan wajahnya dalam dada bidang Evander dan menangis keras di sana.

Evander semakin mengeratkan pelukannya dan mencium puncak kepala Anna. Dalam hati ia mengutuk laki-laki keparat yang membuat istrinya seperti ini.

Masih untung ia tak membuatnya lenyap, bahkan masih sempat meneleponkan ambulans. Permak di wajahnya belum cukup untuk mengganti harga diri istrinya.

Evander tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluk dan mengelus punggung Anna. Membuat istrinya tenang tanpa perlu banyak kata. Sepertinya Anna lebih membutuhkan pelukan daripada kata-katanya.

Butuh waktu beberapa lama bagi Anna untuk menenangkan dirinya. Hatinya sudah mulai merasa lega dan bebannya berkurang banyak. Ia yang menyangka Evander akan mengamuk justru mendapatkan perlakuan mengejutkan. Pelukan hangatnya membuat Anna lebih tenang.

"Aku sudah menghubungi Sabino. Kau tak perlu bekerja lagi di sana," bisik Evander.

Anna meregangkan pelukannya dan menatap Evander yang masih memeluknya pinggangnya.

"Kenapa?" bisiknya parau.

"Apa kau masih ingin bekerja sama lagi dengan laki-laki itu?" tanya balik Evander.

Anna terdiam. Setelah kejadian itu, tentu Anna akan berpikir panjang sebelum satu ruangan lagi dengan Tama. Anna tak yakin ia memiliki profesionalitas yang sangat tinggi sampai melupakan apa yang sudah dilakukan Tama padanya.

"Aku baru dua bulan bekerja? Apa bisa keluar begitu saja?" tanya Anna.

"Sabino sudah mengiyakan. Yah, meski alot, tapi dia akhirnya mengizinkanmu resign. Kau bisa bekerja di tempat lain," ujar Evander.

Anna kembali bergelung dalam lengan Evander dan menyembunyikan wajah bengkaknya di dada suaminya itu. Anna tak tahu sebengkak apa matanya karena selama dua hari ini ia tak pernah bercermin.

"Kau kemana dua hari ini?" tanya Anna begitu menyadari sesuatu.

Bersambung

CEO'S LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang