Chapter 5 - Rumah yang Panas

153 10 0
                                    

Rumah sangat sepi saat Anna bangun tidur dan turun ke lantai satu. Hari ini ia bolos kuliah. Pikirannya kalut dan ia tak yakin otaknya bisa menyerap isi kuliah hari ini. Kalau ia bosan di rumah, ia bisa pergi jalan-jalan nanti.

Ia bisa keliling kota atau ke puncak untuk membunuh waktu dan membuat kepalanya lebih dingin. Toh ia sering ke mana-mana sendiri. Ia sudah diizinkan mengendarai mobil sendiri selepas SMA, dengan mobil Brio-nya yang sudah setia menemaninya ke mana-mana selama lebih dari 3 tahun ini.

Suasana rumah amat sepi pagi ini. Semalam, Anna mendengar deru mobil meninggalkan rumah. Dari balik jendela kamarnya Anna melihat MPV hitam ayahnya meninggalkan rumah entah ke mana. Mungkin ayahnya masih tidur pagi ini atau mungkin malah belum pulang sejak semalam.

Anna duduk di kursi makan lalu mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai cokelat favoritnya. Ia mengoleskan selai itu dengan ogah-ogahan. Ia malas makan sebenarnya, tapi perutnya berontak minta diisi. Mungkin selembar roti cukup untuk menghentikan protes cacing-cacing dalam perutnya.

"Kaudengar pertengkaran semalam?"

Baru juga menggigit ujung roti tawarnya, Anna mendengar pertanyaan dari Diva yang turun masih dengan baju tidur satinnya. Meskipun masih mengenakan baju tidur, tapi wajahnya sudah terpoles make up. Terlihat dari pipi dan bibirnya yang bersemu merah muda meski tipis.

"Kalau kau mau kawin dengan Om Fandi, Mama dan Papa tak akan ribut seperti semalam," lanjut Diva dan duduk di kursi di seberang Anna.

Jadi, Diva ada di rumah semalam dan mendengar orang tuanya bertengkar hebat. Tapi ia diam di kamar dan sengaja mematikan lampu kamarnya.

"Kenapa harus aku yang kawin? Kau juga anak Papa kan?" sahut Anna sinis.

"Aku masih di bawah umur, mana boleh kawin sama bangkotan seperti itu," sahut Diva.

Anna tertawa mencemooh. Di bawah umur apanya. Diva yang sudah 19 tahun, tidak bisa lagi disebut di bawah umur. Untuk menikah pun ia juga tak perlu dispensasi dari Pengadilan Agama dan catatan sipil.

"Kau bukan anak kecil di bawah umur. Umurmu sekarang sudah dibilang cukup untuk menikah. Jangan sok imut dengan terus mengatakan 'masih di bawah umur'," kecam Anna.

"Bukan berarti aku boleh dipaksa menikah kalau belum ingin," kata Diva membela diri.

"Kaukira aku bisa dipaksa menikah kalau tak mau. Kalau kau tak mau kenapa juga aku harus mau?" ucap Anna santai membuat lawan bicaranya membelalakkan mata karena jengkel.

"Jadi kau mau Mama dan Papa bertengkar tiap hari, begitu?" kata Diva.

"Aku tak mau mendengar mereka bertengkar, tapi aku juga tak mau dijadikan korban supaya mereka tidak bertengkar lagi," sahut Anna.

"Kau egois!"

"Dan kau tidak egois. Kenapa kau menyuruhku kawin, kenapa kau tidak menawarkan dirimu saja?" sela Anna cepat.

"Sudah kubilang aku masih dibawah umur!"

"Kau bukan anak kecil lagi dan bukan di bawah umur. Kau hanya sok memosisikan dirimu seperti itu," seru Anna. Tanpa sadar ia mengacungkan pisau selai ke depan wajah Diva saking jengkelnya.

"Kau mau apa, hah, mau mencelakai anakku!" seru Rica dari atas tangga.

Wanita itu cepat-cepat turun dan memeluk anaknya yang terkejut dan ketakutan melihat pisau selai yang diacungkan Anna padanya.

"Belum cukup kau menuruti perintah ayahmu sampai kau mau mencelakai anakku juga," teriak wanita itu dengan wajah berapi-api.

Dadanya naik turun dan matanya nyalang menatap Anna yang meletakkan pisau selai ke atas meja dan balas menatapnya. Anna tak pernah takut dengan dua perempuan di depannya itu. Selama ini ia memilih menghindar karena tak mau meributkan dan berdebat tentang hal sepele dan murahan. Ia jarang di rumah karena malas meladeni tingkah keduanya yang seringkali membuat darahnya naik ke ubun-ubun.

CEO'S LADYWhere stories live. Discover now