70. Konfrontasi

6.1K 802 10
                                    

Nadiem

Aku refleks mempererat genggamanku di tangan Dinda saat melihat siapa yang menunggu di apartemen.

Mama. Berani-beraninya dia datang ke apartemenku setelah semua yang dilakukannya.

"Remind me to change the door code. Aku enggak mau dia sembarangan masuk ke tempat tinggal kita." Aku menggeram pelan dan hanya Dinda yang mendengarnya.

Mama melirik Dinda sekilas. Tidak ada perasaan bersalah di wajahnya.

"Sebelum Mama menebar racun lagi, sebaiknya Mama pergi dari sini. Lain kali Mama ingin mengunjungiku, Mama harus meminta izinku dan Dinda."

Mama mendengkus. "Kamu mengusir Mama?"

"Ya."

Tatapan Mama menuju nyalang saat melihat Dinda.

"Mama cuma mau kamu berpikir jernih, Nadiem. Kamu sudah melewati banyak hal, Mama enggak mau kamu malah melepas semua kemudahan ini demi hidup bersama dia." Mama menunjuk Dinda.

Amarahku memuncak. "Dinda istriku. Aku yang memilih Dinda untuk menjadi istriku, dengan sadar dan tanpa paksaan."

Mama melemparkan tangannya ke udara. Dia mengembuskan napas frustrasi. "Mama enggak habis pikir sama kamu."

She doesn't have too.

"Sebaiknya Mama mencabut laporan terhadap Bu Ratri, sebelum aku membuat Mama menyesal," desisku.

"Mama melakukannya untukmu."

Aku menggeleng. "Mama melakukannya untuk diri Mama sendiri."

"Nadiem..."

"Sampai kapan pun, Mama akan selalu kalah dari Bu Ratri." Aku memotong.

Tatapan Mama begitu membara saat menatapku. Aku baru saja menusuknya dengan pisau yang paling ditakutinya.

"Hati Mama sudah buta oleh harta. Ego Mama terlalu besar untuk mengakui kegagalan Mama sebagai seorang Ibu," lanjutku.

Aku bisa melihat luka di wajah Mama. Ada sedikit harapan di hatiku bahwa Mama masih mempunyai hati, tapi semuanya sudah terlambat.

"Mama terlambat selama tiga puluh tahun lebih." Aku menambahkan.

"Mama enggak nyangka kamu lebih memilih dia ketimbang ibumu sendiri." Mama menyusut air matanya.

"Mama yang mendorongku mengambil keputusan ini."

Aku menatap Dinda, meminta pengertiannya. Saat Dinda mengangguk, dengan berat hati, aku melepaskan tangannya dan menghampiri Mama. Mama terisak saat berada dj pelukanku. Seumur hidup mengenalnya, baru kali ini aku merasakan air mata tulus di balik tangis Mama.

Mungkin, jauh di dalam hatinya, Mama masih memiliki perasaan yang membuatnya sadar bahwa tindakannya adalah sebuah kesalahan besar.

Dari sudut mata, aku melihat Dinda menghilang ke dalam kamar. Aku ingin menyusulnya, tapi Mama memelukku dengan erat. Untuk saat ini, Mama membutuhkanku.

***

Pak Ghani menatapku dan Dinda berganti-gantian. Aku berusaha menahan gelisah, tidak ingin menambah beban pikiran Dinda.

Mama pergi dari apartemenku tanpa janji untuk mencabut laporannya. Aku hanya bertahan pada harapan semu bahwa kebenaran akhirnya berpihak pada Ibu.

"Saya menemukan kejanggalan di laporan tersebut. Saya sudah mengajukan peninjauan ulang. Jika semuanya sesuai harapan, kita bisa mengalahkan tuntutan tersebut," ujar Pak Ghani.

Di sampingku, Dinda menarik napas lega.

"Ada inkonsistensi pada pengakuan penuntut, dalam hal ini ibumu. Saya akan bermain di sana, dan saya yakin kita bisa membuktikan kejanggalan tersebut," lanjut Pak Ghani.

Dinda tidak bisa menahan tangisnya. Selama beberapa waktu belakangan, dia menampakkan dirinya begitu tegar. Namun malam ini, di hadapan Pak Ghani, Dinda meruntuhkan benteng yang dibangunnya.

Aku memeluk Dinda, membuat Dinda makin tersedu di pelukanku.

"Terima kasih, Pak," ucapku.

"Perjalanan kita masih panjang, tapi saya optimis."

Kepercayaan diri Pak Ghani menular kepadaku. Namun, yang membuatku percaya bahwa tuntutan ini akan gagal karena Ibu mengajarkanku kebenaran akan selalu menang. Sekalipun jalan untuk mendapatkannya harus berliku.

Dalam hati, aku berharap Mama melunak dan mengakui kesalahannya. Aku siap untuk memperbaiki hubungan dengan Mama, jika dia tulus menyadari kesalahan tersebut dan mau berubah. Aku tidak berharap Mama menerima Dinda dalam waktu dekat, semua butuh waktu.

Sepeninggal Pak Ghani, aku membawa Dinda ke kamar.

"Din, kamu harus menemani Ibu." Aku berkata tegas. "Aku tidak bisa menemanimu pulang karena ada banyak hal yang harus kuselesaikan di sini."

Dinda menatapku dengan mata bulatnya yang berkaca-kaca.

"Aku harus mengambil keputusan berat untuk melepaskan beberapa karyawan. Kamu termasuk salah satu yang akan dilepas, karena posisimu bisa disederhanakan. Aku tahu, ini bukan yang kamu mau, tapi di saat sekarang, ini yang terbaik." Aku menahan pundaknya, sementara aku bicara hati-hati.

Dinda pernah kehilangan pekerjaan, aku tidak ingin menimbulkan luka yang sama untuk kali kedua.

"Tapi prosesnya masih lama, paling cepat tiga bulan ke depan. Posisimu sekarang serba salah, tapi aku sarankan kamu mengundurkan diri, sehingga bisa menemani Ibu," lanjutku.

Aku tidak segera mendapat jawaban. Keterdiaman Dinda membuatku khawatir. Aku telah menimbang keputusan ini, dan memberitahu Dinda soal rencana perusahaan terlebih dahulu juga melanggar aturan. Namun, aku terpaksa mengabaikannya karena tidak ingin ada rahasia di antara aku dan Dinda.

Harapanku, Dinda bisa berpikir jernih dan menerima usulan ini. Aku tidak ingin Dinda berpikir aku menelantarkannya.

"Aku akan mengusahakan untuk bolak balik ke Kudus, aku hanya ingin kamu tahu, aku ada untukmu. Selalu, Sayang," ujarku lagi.

Dinda menarik napas panjang. "Kamu benar. Aku juga tidak bisa bekerja dengan tenang selama pikiranku ada bersama Ibu."

"Kamu dengar penjelasan Pak Ghani. Kita bisa menang, meski butuh waktu."

Dinda mengangguk. "Aku akan mengirimkan surat pengunduran diri. Dengan aku sering absen, seharusnya tim aku dan pihak HR mengerti."

Aku mengangguk. "Aku akan membereskan semua masalah ini dengan cepat, jadi aku bisa menjemputmu."

Untuk kali pertama, Dinda mengangguk.

Malam itu, aku memeluk Dinda tanpa melepasnya. Aku ingin membekukan waktu, agar selamanya bisa memeluk Dinda.

Namun, saat pagi tiba, aku terpaksa melepasnya. Dinda hanya pergi untuk sementara, berjuang bersama Ibu. Dan aku di sini, berjuang untuk keluargaku.

"Aku akan menjemputmu begitu semuanya selesai," janjiku.

Dinda mengangguk. "Aku tunggu."

Aku menciumnya. Dinda masih berada di pelukanku, tapi aku sudah merindukannya. Aku menahan rindu itu sendiri, karena ini adalah hal terbaik.

Dengan berat hati, aku melepas Dinda pergi. Dalam hati, aku berjanji akan menjemputnya.

Aku menghela napas panjang. Saatnya memulai perangku sendiri.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now