63. What Should I Do?

5.2K 690 23
                                    

"Capek banget, Din." Nadiem meringkuk dan menjadikan pahaku sebagai bantal. "Tiduran sebentar ya. Habis ini aku mandi."

Hampir tengah malam ketika Nadiem akhirnya sampai di apartemen. Raut wajahnya begitu lelah. Kalau tidak dipaksakan, dia bisa tertidur di foyer karena tidak bisa memaksakan kakinya untuk berjalan.

Aku membantu melepaskan jas dan sepatunya. Nadiem tidak menolak. Sambil terus memejamkan mata, dia membiarkanku melepas pakaiannya satu per satu.

Melihat keadaannya, aku menyimpan kegelisahanku sendiri. aku tidak ingin Nadiem tahu ibunya datang ke apartemen ini. Hal tersebut hanya menambah beban pikirannya.

"Din..." panggilnya.

"Ya?"

Nadiem membuka matanya. "Kamu baik-baik saja?"

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Kenapa nanya gitu?" Aku balik bertanya.

Nadiem terus menatapku dengan wajah lelahnya. "Aku tahu apa yang terjadi tadi. Teman-temanmu itu, mereka selalu mengganggumu?"

Aku menggeleng. "Mereka temannya Arlan, aku jarang berurusan sama mereka. Malah enggak pernah. Aku juga enggak tahu kenapa mereka kesal banget sama aku."

"Mereka takut sama kamu, makanya sengaja mengintimidasimu."

Jawaban Nadiem membuatku terkesiap. "Apanya yang perlu ditakutin?"

"Temanmu, Tami, menemuiku. Tadinya dia mau mengajak kamu, tapi kamu keburu pulang."

"Tami?"

Begitu jam pulang tiba, aku langsung angkat kaki dari kantor. Aku tidak ingin mendengar omongan negatif lainnya. Sebisa mungkin, aku meminimalisir interaksi dengan teman kerjaku. Jadi, aku tidak tahu kalau Tami menghampiri Nadiem.

"Mereka punya grup arisan. Bukan arisan uang, tapi mereka menunjuk satu orang yang perlu didekati oleh salah satu di antara mereka. Kamu termasuk di dalamnya, makanya Arlan ngotot pengin pacaran sama kamu. Dia enggak mau kalah," jelas Nadiem.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Penjelasan Nadiem terasa begitu sulit untuk dimengerti.

"Tami jadi korban bulan ini. Bimo mendekatinya, tapi Tami tidak sengaja melihat chat mereka di handphoneBimo. Dia ingin mengadu ke HRD, tapi di kelompok itu ada Zia. Makanya dia menemuiku." Nadiem megulurkan tangan dan menyentuh wajahku. "Jangan pernah menyalahkan dirimu. Ini salah mereka. Arlan terutama, karena ini ide dia dan Dena."

"Apa yang akan terjadi kalau dulu aku luluh di hadapan Arlan?"

Nadiem refleks tersenyum. "Itu enggak mungkin terjadi. Kamu terlalu pintar buat dia."

"Dulu aku menyukainya."

Mata Nadiem menyipit saat menatapku. "Hei, kamu malah bilang menyukai laki-laki lain di depan suamimu sendiri?"

Aku tertawa tipis. "Dulu, Mas."

Di luar dugaan, Nadiem bangkit duduk. Dia menarikku hingga aku tersudut di sofa. Nadiem berada di atasku, dia menahan kedua tanganku di sisi kepala, membuatku tidak berdaya saat berada di bawah kendalinya.

"Untung aku enggak menyerah buat dapetin kamu. Aku enggak rela cecunguk itu yang mendapatkanmu."

Biasanya, semua kegelisahan itu hilang saat bersama Nadiem. Kali ini, aku sengaja menghitung mundur waktu sampai semua gelisah itu lenyap. Namun bukan itu yang terjadi. Saat aku menatap ke kedalaman mata Nadiem, semua ucapan ibunya kembali terngiang di benakku.

Aku mencintai Nadiem. Apakah cintaku justru menghambatnya?

Aku tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa kehadiranku hanya menambah beban pikiran Nadiem. Juga masalah Arlan, yang semuanya berasal dariku. Nadiem memang melarangku untuk tidak menyalahkan diri sendiri, tapi ini jelas kesalahanku. Kalau dulu aku tidak memaksakan diri untuk bersama Arlan, dia tidak akan menyimpan dendam kepadaku. Dia tidak akan bertindak selancang ini.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now