1. Powerless

56.5K 1.2K 35
                                    

Quarter life crisis does exist.

Dalam kasusku, krisis dua puluh lima hadir dalam bentuk kehilangan pekerjaan. Aku tidak pernah menyangka hari ini akan tiba, ketika kantorku sudah tidak sanggup lagi bersaing sehingga terpaksa menutup bisnis. Aku berangkat ke kantor dengan sangat optimis, dan pulang dalam keadaan pesimis.

Satu pertanyaan penting, bagaimana aku bisa menyambung hidup besok?

Pertanyaan itu selalu mengikutiku hingga pulang ke rumah. Aku sudah kepalang janji akan menemui Ibu malam ini, sehingga mau tidak mau pulang ke rumah mereka.

Well, bukan rumah mereka. Tempat tinggal itu hanya berupa paviliun kecil di bagian belakang rumah besar milik majikan orang tuaku.

Aku menatap rumah besar di hadapanku. Waktu kecil, aku pernah bermimpi memiliki rumah sebesar itu. Mimpi itulah yang membuatku bekerja keras agar suatu hari nanti, aku bisa mewujudkannya. Lalu mengajak orang tuaku pindah ke sana agar tidak perlu lagi tinggal di paviliun sempit.

Sekarang, aku terpaksa menelan kenyataan pahit bahwa memiliki rumah sebesar ini selamanya hanya ada di dalam mimpiku. Membeli rumah kecil saja aku tidak mampu.

Aku bahkan tidak yakin bulan depan masih bisa tinggal di kos. Mengingat aku tidak lagi mendapat gaji bulanan.

"Ugh, bete..." Aku menjambak rambutku sendiri.

Setelah satu tarikan napas, aku melangkah masuk. Langkahku terasa berat ketika melintasi pekarangan samping yang membawaku ke paviliun di belakang.

Aku sudah tinggal di sini sejak lahir. Awalnya Ibu yang bekerja di sini. Ibu berangkat dari kampung dengan harapan bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Ibu sempat berpindah-pindah sebelum akhirnya menjadi pembantu di rumah ini. Setelah menikah, Ayah ikut ke Jakarta karena keluarga ini butuh sopir. Selama dua puluh lima tahun, orang tuaku mengabdi pada keluarga ini.

Sejak kecil, Ayah menekankan agar aku rajin belajar. "Kamu enggak mau tinggal di paviliun pemberian orang dan kerja jadi pembantu, kan? Jadi, kamu harus belajar."

Orang tuaku tidak lulus SMP. Mereka hanya bisa baca tulis. Namun mereka bekerja keras, menabung sedikit demi sedikit, rela hidup hemat untuk memastikan aku bisa mendapat pendidikan yang layak. Akhirnya aku bisa lulus kuliah, dan satu-satunya di keluarga besarku yang meraih gelar sarjana. Pencapaian itu membuat orang tuaku sangat bangga padaku.

Lalu saat aku mendapat pekerjaan sebagai copywriter. Aku ingat saat membawa orang tuaku melihat gedung tempatku bekerja. Mereka tidak bisa menutupi perasaan bangga dan takjub karena aku, anak satu-satunya, bisa bekerja di gedung setinggi itu.

Namun itu dulu, satu tahun yang lalu.

Sekarang aku pulang seperti seorang pecundang. Kebanggaan yang dulu mereka miliki, berubah menjadi kekecewaan.

Aku mengetuk pintu paviliun. Suara Ibu yang hangat terdengar dari dalam. Saat membuka pintu, aku disambut oleh perasaan familiar.

"Kamu sudah datang, Din. Sudah makan?" tanya Ibu sambil menata meja makan.

Perutku langsung berbunyi begitu melihat makanan di meja. Seketika aku lapar.

Aku segera mencuci tangan dan membantu Ibu menata meja makan.

"Ayah belum pulang, Bu?" tanyaku.

"Belum, masih di jalan. Macet."

Sebagai sopir, Ayah harus siap sedia selama dua puluh empat jam. Apalagi Ayah harus mengantar jemput Nyonya Besar pemilik rumah. Setiap hari, ada saja aktivitas yang mengharuskannya pergi pagi pulang malam. Padahal dia tidak bekerja. Hanya arisan dan menghamburkan uang.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now