65. Decision

6.6K 746 28
                                    

Nadiem

"Kamu di sini. Aku nyariin sejak tadi." Aku menarik napas lega saat akhirnya menemukan Dinda.

Jay membuatku lupa waktu. Rasanya menyenangkan, di tengah acara yang membosankan seperti ini, bisa bertemu sosok yang familiar. Bertemu dengan Jay mengingatkanku pada apa yang sedang kuperjuangkan. Jay juga membawaku bertemu beberapa rekan bisnisnya, membuka peluangku untuk bertemu rekanan baru.

Ternyata acara ini tidak semembosankan yang aku kira. Aku tidak menyukai acara ini. Orang tuaku suka mengadakan acara yang sama. Ada saja alasannya mengadakan pesta, karena itu salah satu cara menjalin hubungan dengan rekanan bisnis. Sejak remaja, aku sudah dibawa ikut serta dalam acara serupa. Orang tuaku memamerkanku ke rekan bisnisnya. Semua pencapaian dan prestasiku disampaikan dengan bangga. Namun, aku tidak merasakan kebanggaan itu karena semua pujian itu hanya untuk memuaskan ego orang tuaku.

Pak Joseph, ayah Jay, salah satu rekan bisnis Papa. Beliau juga terjun ke politik, tapi berada di belakang layar. Itu alasanku mendekatinya. Terlebih, aku berteman dengan Jay. Dia bisa membuat jalanku lebih mudah.

Meski selama aku bicara dengan Pak Joseph, Papa menatapku dengan rahang terkatup menahan marah. Dia tidak suka aku mendekati salah satu rekanan penting. Sampai akhirnya Papa menyelak dan teelibat dalam pembicaraan, mengakui Global Persada sangat penting baginya.

Aku muak. Dan tersadar, Dinda tidak lagi di dekatku. Perasaan bersalah mengusikku. Mengapa aku begitu bodoh? Aku begitu fokus pada masalah bisnis sampai-sampai mengabaikan Dinda.

Setelah mencari ke mana-mana, aku menemukan Dinsa di sudut dekat toilet. Wajahnua pucat. Dia tampak begitu gelisah.

Aku semakin merasa bersalah. Dinda belum familiar dengan acara ini. Tidak ada yang dikenalnya selain aku, tapi aku malah mengabaikannya.

"Kamu dari mana?" Tanyaku.

Dinda menunjuk handphone di tangannya. "Ibu menelepon aku."

"Ibu baik-baik saja?" Rasa panik turut menguasaiku.

"Ibu ... sakit."

Dalam penerangan seadanya, aku melihat ada ragu di wajah Dinda. Atau itu hanya perasaanku saja?

"Mas, kamu keberatan kalau kita pulang sekarang?"

Aku membuka jas dan melampirkannya ke pundak Dinda. Gaun yang dipakainya tidak cocok dengan angin malam.

"Kita pulang sekarang." Kalau Jay dan Pak Joseph tidak menahanku, aku sudah membawa Dinda pulang sejak berjam-jam yang lalu.

Pak Joseph masih mengobrol dengan Papa. Toh aku sudah berpamitan padanya. Yang penting, aku sudah mengantongi janji bertemu dengannya.

"Kalau kamu masih mau di sini..."

"Urusanku sudah selesai." Aku memotong. Lalu, aku membawa Dinda keluar dari area pesta. "Aku sudah membuat janji temu dengan beberapa orang penting di sini selama beberapa hari ke depan, jadi tugasku sudah selesai."

"Bebanmu pasti akan lebih ringan kalau aku punya kemampuan untuk membantu." Dinda berbisik pekan tapi aku bisa mendengar nada putus asa di balik suaranya.

"Setiap orang sudah punya fungsi dan perannya masing-masing. Fungsiku ya business to business. Lobi sana sini. Dan kamu?" Aku meraih wajahnya agar Dinda menatapku. "Peran kamu sebagai penghubung ke customer. Kamu yang memastikan setiap bisnis yang aku rencanakan, sampai ke tangan customer."

Dinda tersenyum tipis. "Tetap saja aku tidak membantu."

Di satu sisi, aku mengerti mengapa Dinda begitu mudah insecure. Pertama, dia tidak percaya diri dengan tubuhnya. Bukan sekali dua kali aku mendengar dia menyebut dirinya gemuk dan menyalahkan keadaan. Butuh waktu sampai akhirnya Dinda bisa menerima keadaannya. Dinda hanya perlu melihat dari sudut pandangku dan menyadari betapa cantik, betapa mwnggairahkannya dia.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now